Memahami Pertandingan Behind Closed Door

Cerita

by PanditFootball

Memahami Pertandingan Behind Closed Door

Behind closed door, dalam konteks sepakbola, berarti pertandingan yang tak dihadiri penonton. Stadion harus kosong. Tak ada riuh teriakan. Alasannya bermacam-macam, bisa karena sebuah klub terkena sanksi, alasan keamanan, pandemi, atau mungkin alasan taktikal.

Namun, dengan izin dan kebijakan federasi, pertandingan behind close door tertentu bisa dihadiri penonton, misalnya anak-anak, perempuan, dan media.

Dalam konteks pra-musim, kita bisa mengira jika sebuah tim mengadakan pertandingan tanpa dihadiri penonton, alasan utamanya adalah alasan taktikal. Namun, tidak sedikit kompetisi pra-musim juga dihadiri penonton. Bagi tim-tim besar Eropa, misalnya, laga pra-musim yang digelar di luar Eropa jadi ajang untuk merekatkan hubungan dengan fans atau urusan komersial.

Sanksi

Pertandingan Dutch Cup 2011 antara Ajax Amsterdam melawan AZ Alkmaar harus dihentikan pada menit ke-36. Penjaga gawang AZ Alkmaar, Esteban Alvarado, diberi kartu merah oleh wasit setelah menendang seorang suporter yang masuk ke lapangan - yang mencoba menendang Alvarado dengan tendangan kungfu.

Para pemain AZ Alkmaar melakukan protes dan mereka kembali ke ruang ganti sebagai bentuk protes terhadap keputusan wasit. Asosiasi Sepakbola Belanda (KNVB) memutuskan untuk melanjutkan pertandingan itu tanpa suporter.

Ajax mengajukan banding kepada KNVB, agar pertandingan ulang itu boleh dihadiri anak-anak dan perempuan. KNVB akhirnya memutuskan untuk menganulir kartu merah yang diterima Alvarado, dan pertandingan diulang dari menit awal - yang berakhir dengan kemenangan AZ Alkmaar atas Ajax dengan skor 3-2.

Di Indonesia, suporter Arema FC, Aremania pernah dilarang datang ke stadion selama sisa laga kandang pada Liga 1 2018, sebagai dampak kericuhan yang terjadi saat Arema menghadapi Persebaya Surabaya, 6 Oktober 2018. Selain itu, manajemen Arema juga dikenai denda sebesar Rp 100 Juta.

Suporter vs COVID-19

Pada pertengahan 2020, pertandingan digelar tanpa penonton karena Pandemi COVID-19. Melihat dari sisi pemain, misalnya, bertanding di level kompetitif atau di level uji coba dalam stadion yang disesaki suporter, tentu berbeda dengan bertanding di hadapan ribuan kursi kosong. Di hadapan suporter, ada adrenalin yang lebih terpompa - ingin menunjukkan permainan terbaik, berselebrasi setelah mencetak gol dengan berlari ke arah suporter, dan sebagainya.

Bertanding di stadion kosong, seperti yang terjadi ketika pandemi belum benar-benar bisa dikendalikan, yang terdengar hanyalah teriakan-teriakan dari rekan satu tim, lawan, serta pelatih - ibarat seorang musisi di atas panggung yang hanya mendengar suara alat musik sendiri dan rekan satu bandnya, alih-alih mendengar suara penonton.

Pemain tahu betul kehampaan yang dirasakan ketika merayakan gol tanpa kehadiran suporter.

Sepakbola, sebagai sebuah tayangan pun sangat berbeda kalau tak ada penonton di tribun. Hambar. Pihak penyiaran mengantisipasinya dengan memasukkan rekaman suara riuh suporter. Akan tetapi, aksi membentangkan syal, koreografi, melompat-lompat, atau mengepalkan tangan tetap tak bisa tergantikan dan ditayangkan begitu saja.

Pandemi memang memaksa orang untuk mengubah kebiasaan. Pesepakbola harus terbiasa tanpa suporter dan suporter harus terbiasa menonton lewat tayangan televisi.

Namun, perlu diingat, pertandingan tertutup berdampak pada pencapaian suatu tim di arena pertandingan. J. James Reade, Dominik Schreyer, dan Carl Singleton menjelaskan bagaimana dampak pertandingan-pertandingan tanpa suporter.

Ketiga peneliti itu, dalam salah satu bagian penelitiannya, menghitung persentase kemenangan dalam pertandingan tertutup dalam kurun waktu 2002/03 hingga 2019/20. Dengan mengambil sampel pada pertandingan-pertandingan Liga Champions, Liga Eropa, Liga Italia (Serie A hingga C dan Coppa Italia) dan Ligue 1, persentase kemenangan laga kandang mencapai 35,6%, sedangkan jika suporter hadir di lapangan, persentase kemenangan mencapai 45,8%.

Temuan itu menjadi bukti betapa berpengaruhnya kehadiran suporter di stadion. Penelitian yang berjudul “Whats Happen When Football is Played Behind Closed Door?” (2020) itu juga menjelaskan tentang bias wasit apabila suporter datang ke stadion.

Selain itu, kehadiran suporter berpengaruh bagi pemain lawan. Masih dari penelitian yang sama, persentase kegagalan penendang penalti dari tim tamu lebih besar ketika stadion dihadiri suporter tuan rumah, yakni 20,4% berbanding 9,1%.

Kita sering melihat saat tim lawan mendapat penalti, suporter tuan rumah akan mencoba mengganggu konsentrasi dan mental si penendang. Jika stadion kosong, si penendang hanya akan berhadapan dengan kiper.

Memata-matai Taktik Lawan

Lalu, jika kita tarik ke pra-musim, efektifkah pertandingan tertutup untuk memantapkan taktik agar tidak diketahui lawan? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Yang pasti, pertandingan tertutup dan terbuka sama-sama digelar untuk meningkatkan kualitas permainan, kekompakan, dan efisiensi taktik, sehingga pemain sudah benar-benar siap saat liga dimulai.

Ketika liga sudah berjalan, setiap tim tak mampu menghindari mata para analis. Perlahan, pola permainan dan taktik mereka bisa diketahui. Tentu saja setiap tim punya taktik berbeda ketika menghadapi lawan dan berada dalam kondisi yang berbeda. Dan, sepakbola adalah adu taktik untuk memenangkan pertandingan.

Saat ini, taktik bukan lagi menjadi mutlak milik para pelatih. Pelatih tak bisa bekerja sendirian. Inilah fungsi tim analis yang membantu pelatih, melalui temuan-temuan dan pengamatannya, untuk merekomendasikan taktik yang efektif bagi tim.

Mengetahui taktik lawan menjadi salah satu faktor untuk bisa meraih kemenangan. Marcelo Bielsa, misalnya, sewaktu melatih Leeds United. Ia menyuruh stafnya untuk melakukan sesuatu yang menurutnya wajar, tapi tidak untuk persepakbolaan Inggris: memata-matai sesi latihan Derby County, yang saat itu dilatih Frank Lampard.

Terkait kontroversi yang ditimbulkan, Bielsa mengatakan bahwa hal itu kerap ia lakukan sejak ia melatih timnas Argentina. Bahkan, menurutnya, itu hal yang jamak di Amerika Selatan. Bielsa bersikukuh bahwa apa yang ia lakukan tidak melanggar hukum.

Sepakbola tak Bisa Menutup Diri dari Hal-hal di Luar Sepakbola

Soal kasus Marcelo Bielsa, Pep Guardiola melontarkan pernyataan menarik. Pep menganggap, wajar saat seseorang merekam timnya berlatih (ia mencontohkan saat ia melatih Bayern Munchen).

“Setiap orang melakukan itu (mengintip tim lawan) di negara lain, tapi sulit dilakukan di sini (Inggris),” ujar Pep, dilansir dari The Athletic.

Pep kemudian melontarkan kalimat yang sangat kontekstual terkait hubungan antara sepakbola dan masyarakat. “Setiap orang ingin mengetahui segala hal - ini tidak hanya tentang sepakbola, ini adalah kondisi sosial masyarakat. Setiap orang memata-matai yang lainnya, entah laki-laki atau perempuan. Setiap orang seperti itu.”

Perkataan Pep bisa menjadi pijakan untuk mengamati masyarakat lewat kacamata sepakbola. Maka wajar ketika seorang pelatih mengamati secara langsung permainan calon lawan-lawannya, dan kita jadi bisa lebih menerima ketika ada seseorang yang mencari seluk beluk seseorang untuk kepentingan tertentu.

Jika sebuah pertandingan bisa tertutup dari penonton, maka sepakbola tak bisa menutup diri dari hal di luar sepakbola. Sepakbola ibarat ruangan besar dengan banyak pintu, di mana politik, kebudayaan, industri, dan lain-lain hal, bisa masuk dan berkelindan erat.

Komentar