Ultras Thailand yang Selalu Memakan Buah Simalakama Akibat Menyalakan Flare

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Ultras Thailand yang Selalu Memakan Buah Simalakama Akibat Menyalakan Flare

Suar atau yang biasa dikenal dengan nama flare seolah menjadi sumber ketakutan dari tribun sepakbola kawasan Asia Tenggara. Federasi sepakbola Asia Tenggara (AFF) tidak segan menjatuhkan denda sekitar 67 juta rupiah bagi suporter yang menyalakan flare dalam pertandingan internasional daerahnya.

Begitupun di Indonesia. Ketakutan federasi sepakbolanya (PSSI), bisa menjatuhkan hukuman denda minimal 10 juta rupiah bagi suporter tuan rumah yang menyalakan flare di pertandingan antar kesebelasannya. Alhasil suar seolah menjadi buah simalakama bagi suporter-suporter di Indonesia dan Asia Tenggara, tidak terkecuali bagi Thailand.

Para suporter Thailand kerap kali tidak bisa menikmati berbagai gelar yang dipersembahkan tim nasional kesebelasan sepakbolanya. Sebab suar selalu menjadi bumerang bagi suporter mereka terutama yang menamakan dirinya Ultras Thailand. Bahkan pada final Piala AFF 2015 pun para Ultras Thailand harus dihantui pihak berwajib di Laos. Pada waktu itu para Ultras Thailand menyalakan red flare di pertandingan final Piala AFF U-19 2015 di Laos. Thailand memang menang pada laga tersebut dengan skor 6-0, namun sekitar 25 Ultras Thailand harus ditangkap karena melakukan pelemparan red flare ke lapangan.

Awal mulanya disebabkan ketika Ultras Thailand menyalakan kembang api ketika kesebelasan negaranya mencetak gol kedua pada menit 57. Aksi itu membuat Kepolisian Laos yang berada di stadion Nasional Laos mendadak beringas kepada Ultras Thailand dan terjadi bentrokan fisik antara mereka. Bahkan dikabarkan jika polisi sampai harus menembakkan pistolnya ke udara untuk menghentikan bentrokan tersebut.

Selanjutnya, 25 orang yang ditangkap itu pun bisa bebas setelah ada campur tangan diplomat Thailand di Laos. Kedutaan Thailand pun meminta maaf kepada para pejabat dan masyarakat Laos atas kekacauan yang terjadi pada pertandingan tersebut.

Ultras Thailand memang suporter yang setia mendukung langsung kesebelasan negaranya di mana pun pertandingannya. Mereka juga hadir ketika leg pertama final Piala AFF 2016 melawan Indonesia di Stadion Pakansari, Bogor, pada 14 Desember 2016. Mereka datang lengkap dengan pakaian khas ultras yang identik dengan warna hitam. Beberapa baju dan jaketnya bertulis kalimat-kalimat dukungan dan kritik dunia sepakbola seperti "No surrender", "Against modern football" dan lainnya. Tidak hanya pria, beberapa wanita juga terlihat bergabung di dalam gerombolan Ultras Thailand.

Baca juga: Kembalinya Suporter Garis Keras PSG Setelah Konflik Multikultural di Parc des Princes

Namun lagi-lagi red flare menjadi bumerang bagi Ultras Thailand. Mereka harus diburu polisi karena terekam menyalakan suar saat pertandingan leg kedua final Piala AFF 2016 di Stadion Rajamangala pada 17 Desember 2016. Bagi kepolisian Thailand, menyalakan flare saat pertandingan sepakbola dianggap mencoreng citra sepakbola negara tersebut. Polisi di Thailand mengumpulkan seluruh bukti untuk menangkap beberapa anggota Ultras Thailand yang menyalakan red flare di tribun stadion tersebut. Bukti-bukti mereka dapatkan melalui rekaman kamera ketika Siroch Chanthong mencetak gol pada menit 37 dan saat pertandingan berakhir.

Polisi juga menyiapkan denda sekitar 20.000 baht (7,6 juta rupiah) dan penjara minimal satu tahun sampai 10 tahun bagi pelaku yang menyalakan flare tersebut. Polisi juga menangkap penjual flare kepada Ultras Thailand bernama Worapon Suersakul. Barang yang dijualnya itu didapatkan dari Jepang secara ilegal lewat pos ke Bangkok. Dua hari sebelum pertandingan final leg kedua itu, Worapon menjual satu kotak yang berisi 20 red flare seharga 800 baht (300 ribu rupiah). Kemudian ia dibebaskan setelah membayar jaminan sekitar 100 ribu baht dan wajib lapor ke kantor polisi.

Panitia pelaksana pertandingan dan kepolisian Thailand khawatir jika flare bisa menyebabkan potensi bahaya bagi penonton lainnya, terutama orang tua dan anak kecil. Suar-suar yang menyala itu membuat penonton anak-anak dan orang tua merasa khawatir disertai rasa takut. Pasalnya, sistem tribun di stadion Thailand masih belum mengkategorikan tribun khusus anak-anak dengan umum. Nyalanya flare dikhawatirkan membuat para anak-anak dan orang tua tidak ingin menghadiri pertandingan langsung di stadion. Sebab di Thailand, pembangunan sepakbola bergantung kepada semangat konstruktif anak-anak untuk berolahraga. Semangat konstruktif anak-anak dianggap sebagai salah satu kemajuan negaranya.

Menjadi pemain sepakbola profesional adalah mimpi para anak-anak di Thailand. Wajar, sepakbola di Thailand sangat berkembang dan popularitasnya terus meningkat, apalagi selama Thailand Premier League berlangsung. Asosiasi sepakbola Thailand (FAT) pun sampai membatalkan penjualan sekitar 800 tiket yang sebelumnya menjadi langganan Ultras Thailand.

Rencananya, jumlah tiket itu diprioritaskan dijual ke penonton kalangan pelajar dan mahasiswa. "Terakhir, pendukung garis ini membuat onar, jadi kami ingin zona ini (tribun Ultras) ditempati oleh siswa," ujar Patit Suphaphongs, Juru Bicara FAT, seperti dikutip dari Nation Multimedia.

Sejatinya, sebagian besar pendukung Thailand tergolong ramah dan baik kepada pendukung tamunya. Tidak jarang para suporter tamu bisa datang mendukung langsung di stadion-stadion Thailand. Di luar stadion, para pendukung Thailand akan senang hati menyambut dengan foto bersama dan saling bertukar berbagai merchandise. Namun situasi berbeda ketika berada di dalam stadion saat pertandingan berlangsung. Sebagian dari mereka dan terutama Ultras Thailand cukup sering melakukan ejekan dan kata-kata kasar kepada pendukung tamunya. Namun sejauh ini belum ada tindakan yang lebih agresif secara fisik yang dilakukan para Ultras Thailand.

Baca juga: Kehangatan Suporter Thailand yang Mengalahkan Indonesia

Di sisi lain, kebijakan tiket baru itu ditegaskan FAT karena tidak ingin adanya flare, kembang api, dan bom asap ketika Thailand menjamu Arab Saudi, Irak, dan Uni Emirat Arab pada pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia 2018 yang dimulai bulan ini. Sementara Ultras Thailand yang mengaku mencintai sepakbola justru dianggap menjadi sinyal bahaya yang bisa menghancurkan sepakbola yang mereka cintai sendiri.

Mereka yang menyalakan flare dianggap membahayakan dan menakut-nakuti orang-orang yang tidak bersalah. Ketika flare dibungkam, mungkin Ultras Thailand harus menemukan cara yang lebih baik untuk memamerkan gairah dukungan mereka kepada sepakbola.

Untuk memahami perspektif lain perihal flare dan sepakbola, Anda dapat membaca artikel berikut: Flare Bukan Kriminal, Tapi . .

Sumber lain: Banjarmasin Post, Kompasiana (Achmad Suwefi), Liputan 6, Super Ball, The Times of India

Foto oleh: Randy Prasatya

Komentar