Asal Muasal Karakter Antonio Conte

Cerita

by Redaksi 33

Redaksi 33

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Asal Muasal Karakter Antonio Conte

Antonio Conte kembali mengantarkan timnya, Chelsea, meraih hasil positif. Setelah sempat terseok-seok karena kalah dari Liverpool dan Arsenal, The Blues sekarang perlahan mulai merangkak naik. Skema tiga bek yang ia terapkan menjadi kunci kesuksesan Chelsea, yang selama empat pertandingan dalam ajang Liga Primer sejak menang lawan Hull City, selalu mencetak cleansheet.

Di balik keberhasilan Chelsea sejauh ini, yang sudah menduduki peringkat keempat di bawah Manchester City, Arsenal, dan Liverpool, ternyata terselip cerita-cerita lain mengenai Antonio Conte. Semua itu ia ungkapkan pada wawancara bersama Sky Sports Italia dan dilansir Football-Italia.

Budaya Kerja Keras dan Sejak Kecil Selalu Menjadi Pelatih

Antonio Conte menghabiskan masa kecilnya di Lecce, Italia. Ia juga pernah bermain untuk Lecce dan tim muda Lecce. Budaya kerja keras yang ia kerap tanamkan kepada anak asuhnya, baik ketika menangani Juventus, timnas Italia, dan Chelsea sekarang, muncul karena semenjak kecil ia sudah terbiasa untuk bekerja keras.

"Saya memiliki masa kecil yang indah. Tinggal di Lecce dan menghabiskan masa kecil dengan bermain sepakbola di jalanan, karena ketika saya kecil jarang sekali mobil berkeliaran di jalan. Orang tua yang lebih sering bekerja, seperti meminta kami untuk belajar hidup secara mandiri di jalanan," ujarnya.

"Ketika seseorang hidup dalam kenyamanan, maka ia akan malas bekerja dan meraih sesuatu yang ia inginkan. Ketika saya hidup di jalan, saya belajar banyak hal. Mengambil bola di atas pohon, meski harus memanjat pohon tersebut, memberikan saya pelajaran bahwa jika ingin mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus berkorban. Itulah yang saya tanamkan kepada para pemain saya sekarang," tambahnya.

Berkat metode kerja keras yang selalu ia tanamkan kepada diri sendiri dan juga kepada para pemainnya, ia pada akhirnya dipercaya menjadi pelatih semasa masih bermain di tim muda. Ketika itu ia melatih tim dari saudaranya yang lebih muda sembari bermain untuk tim muda Lecce.

"Ayah saya banyak mengajari sesuatu kepada saya. Ia adalah presiden sekaligus pelatih dari tim lokal daerah saya, Juventino Lecce. Ketika itu, sembari bermain di tim muda Lecce, saya juga melatih tim sepakbola saudara saya yang lebih muda. Saya juga akhirnya memiliki mimpi untuk menjadi pelatih, lalu mengajarkan para pemain saya apa yang saya miliki," ungkapnya.

Menjadi pelatih semenjak kecil, ternyata ia juga memiliki sosok pelatih yang ia kagumi. Ada dua nama yang Conte sebutkan, sekaligus panutannya sebagai pelatih, yaitu Eugenio Fascetti dan Carlo Mazzone. Keduanya pernah menjadi pelatih Lecce dan memberikan pengaruh yang cukup besar bagi karier kepelatihannya.

"Jika ada nama yang bisa saya sebutkan sebagai panutan saya, ada dua nama, yaitu Eugenio Fascetti dan Carlo Mazzone. Fascetti adalah orang yang memberikan saya debut di Lecce ketika saya masih berusia 16 tahun. Dari dirinya saya belajar tentang kepercayaan pelatih kepada pemain."

"Carlo Mazzone pun adalah nama yang tak mungkin saya lupakan. Ia juga mengajari saya banyak hal dan selalu menyemangati saya dalam masa-masa sulit. Saya juga masih sering berkabar dengannya," ujarnya.

Tentang Timnas Italia dan Pekerjaan di Chelsea

Setelah sukses bersama Juventus, Conte memutuskan untuk menerima tawaran menangani timnas Italia. Dengan pemain-pemain yang, sebagian orang menganggapnya sebagai pemain medioker, ia mampu mengantarkan skuat berjuluk Azzuri tersebut ke babak delapan besar sebelum akhirnya dikalahkan oleh Jerman lewat babak adu penalti.

Meski hanya menghabiskan waktu sebentar bersama timnas, ia mengaku bahwa timnas Italia, pada masa kepelatihannya seakan-akan menjadi sebuah keluarga.

"Orang tua saya menyuruh agar saya menerima tawaran melatih timnas Italia, karena itu adalah sebuah kehormatan bagi saya. Setelah tiga musim yang luar biasa bersama Juventus, akhirnya saya menerima pekerjaan melatih timnas," ungkapnya.

"Meski hanya sebentar, satu setengah tahun saja, tapi kesan yang tertinggal begitu dalam. Selama masa persiapan menuju Piala Eropa 2016, ada sebuah suasana yang terbentuk. Suasana yang, mirip seperti sebuah keluarga. Mulai dari koki timnas sampai kitman, semuanya berbaur seperti halnya keluarga," tambahnya.

Momen inilah yang sempat membuatnya merasa sedih ketika harus meninggalkan timnas untuk melatih Chelsea. Bahkan ia mengatakan bahwa ia menyesal menerima pekerjaan di Chelsea terlalu cepat. Tapi sekarang ia justru menikmati pekerjaan di Chelsea karena ia menganggapnya sebagai sebuah tantangan baru dalam karier kepelatihannya.

"Hari ketika kami kalah dari Jerman lewat babak adu penalti, kami berpikir bahwa esok hari dan seterusnya kami takkan bersama lagi. Itu yang membuat saya, juga para pemain dan ofisial, bersedih. Andai saja saya tidak menerima pekerjaan di Chelsea secepat itu, mungkin saat ini saya masih bersama timnas Italia," akunya.

"Namun sekarang saya mulai menikmati pekerjaan saya sebagai manajer Chelsea. Ada perbedaan mendasar di sini. Ketika di Juventus, saya menjadi pelatih. Di sini, saya menjadi manajer dan harus mengurusi segala sesuatunya. Saya harus membuat keputusan dalam beberapa hal, beda dengan jabatan pelatih ketika saya bekerja dengan beberapa direktur teknik," ungkapnya.

Baca juga: Perbedaan Pelatih dan Manajer

Meski awalnya membutuhkan waktu untuk beradaptasi, lama-kelamaan Conte mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya ini. Sekarang ia sedang berusaha untuk menerapkan pemikiran dan juga apa yang ia inginkan di Chelsea.

"Kami tahu hasil adalah yang terpenting, tapi hasil itu tergantung dari seberapa besar usaha yang kita lakukan. Apakah kita sudah bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik? Itu adalah tantangan bagi saya. Ditambah dengan bahasa yang berbeda, tantangan ini menjadi semakin menarik."

"Saya juga masih harus bekerja keras untuk menanamkan apa yang saya inginkan di sini. Di Italia, para pemain sudah terbiasa dengan sesi video dan juga pembelajaran mengenai taktik. Di sini para pemain belum terbiasa akan itu, tapi kami siap melakukannya. Tujuannya? Supaya pemain saya tidak merasakan pahitnya kekalahan dan kegagalan," tutupnya.

Komentar