Tragedi Laura Bassett

Cerita

by Redaksi 38

Redaksi 38

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tragedi Laura Bassett

Diawali gol Fran Kirby saat menaklukkan Meksiko dan diakhiri gol Fara Williams lewat titik putih di semifinal ke gawang Jepang, menjadi tonggak perjuangan tim nasional Inggris perempuan menuju final perhelatan akbar sepakbola perempuan se-dunia ini. Tapi mereka gagal di semifinal. Inggris harus menutup rapat-rapat mimpi melaju ke partai final setelah -dengan ironisnya- pemain bertahan mereka sendiri, Laura Bassett, menciptakan gol bunuh diri di menit-menit akhir pertandingan.

Jepang terus menekan di sisa lima belas menit akhir pasca masuknya Mana Iwabuchi. Serangan Jepang semakin bervariasi. Puncaknya, saat Nahomi Kawasumi melepaskan umpan diagonal menuju kotak penalti, bola liar tersebut mendekat menuju Laura Bassett yang sigap menghalaunya. Tragis, bola malah meluncur ke gawang sendiri.

Malangnya, waktu yang tersisa tak cukup bagi Tony Duggan dkk., guna memperpanjang nafas melalui perpanjangan waktu. Pertandingan tersebut akhirnya ditutup dengan skor 2-1 untuk keunggulan skuat Nadeshiko (julukan timnas Jepang perempuan, red) dan berhasil mengantarkan mereka menuju final melawan Amerika Serikat selama dua edisi berturut-turut (Edisi 2011 dan 2015).

Proses terjadinya gol bunuh diri Laura Bessett (sumber: Daily Mail)
Proses terjadinya gol bunuh diri Laura Bassett (sumber: Daily Mail)

Laura menyesal, sangat menyesal. Tapi waktu tak bisa sedetikpun bisa ia mundurkan kembali. Yang tersisa hanyalah tangisannya di stadion Commonwealth, Edmonton.

Jepang sebetulnya memiliki kenangan tersendiri bagi Laura Bassett. Perempuan kelahiran Bulkington, Inggris, 31 tahun yang lalu ini, menemukan jalannya menuju Piala Dunia Perempuan 2011 lalu dengan membuat debut di timnas Inggris saat bersua Jepang di fase grup. Memang, saat itu ia hanyalah berstatus pemain pengganti dan pertandingan berakhir manis baginya. Skor 2-0 untuk kemenangan Inggris menghiasi debutnya hari itu.

Jauh bertahun-tahun setelah partai tersebut, Laura Bassett kini menjadi salah satu andalan lini pertahanan sang pelatih Inggris, Mark Sampson, di Piala Dunia Perempuan 2015. Ia, sebagaimana rekannya yang lain, bermain dengan sepenuh hati demi membanggakan negaranya. Hasilnya, tim nasional Inggris menjadi salah satu tim kejutan yang mampu menembus babak semi-final.

Bagi Lionesses -julukan tim nasional perempuan Inggris- tampaknya kegagalan untuk melaju ke babak final Piala Dunia Perempuan akan menjadi sebentuk kengerian dalam hidup mereka, khususnya sepanjang hidup Laura Bassett.

Roberto Baggio mungkin salah satu contoh bagaimana ia melayangkan trofi Piala Dunia di depan matanya sendiri di Amerika Serikat 1994 lalu. Ia juga pasti terpukul.

Namun, sungguh tidak adil jika kita membandingkan beban psikologis pesepakbola laki-laki dengan pesepakbola perempuan. Iya, kan? Apalagi Baggio "sekadar" gagal menendang penalti di babak adu penati, sesuatu yang masih bisa dibilang lumrah, sebab pemain-pemain hebat juga kadang gagal mengeksekusi penalti -- setidaknya masih agak lebih lumrah ketimbang melakukan gol bunuh diri di menit-menit akhir.

Bagi penonton netral yang hanya melihat dari aspek permainan saja, tentu akan mentah-mentah mengadili Laura Bassett atas gol bunuh dirinya tersebut. Apalagi, seperti kita ketahui, media massa Inggris adalah salah satu media massa yang paling “kejam” di Eropa. Tanpa tedeng aling-aling, media massa Inggris kerap meneror tim nasional mereka sendiri (khususnya timnas laki-laki).

Jadi, bisakah anda membayangkan bila Laura Bassett menjadi kambing hitam di media massa dan jadi bahan cemoohan publik Inggris? Tentu sangatlah mengerikan.

Beruntungnya, salah satu media massa Inggris, BBC, melalui program Match of the Day, menyebarkan perihal positif tentang segala pencapaian Lionesses di jejaring sosial dan dengan sekejap, linimasa twitter memunculkan hashtag #ProudOfBassett.

Sepakbola perempuan di Inggris memang awalnya tak banyak menyedot atensi publik di awal perhelatan Piala Dunia Perempuan, apalagi pasca kekalahan dari Prancis di pertandingan pertama saat itu. Mungkin, mereka berpikiran hasilnya akan biasa saja dan cenderung acuh tak acuh dengan perjuangan Lionessses tahun ini.

Namun, dalam sekejap, atensi media dan publik Inggris mulai teralihkan ketika masuk babak perempat-final dan berhasil menerobos semi-final pasca mengalahkan sang tuan rumah, Kanada. Bisa dimaklumi karena setelah tim nasional laki-laki masuk semifinal Piala Dunia 1990, tak ada lagi tim nasional Inggris, apapun gendernya, yang mampu menembus semifinal Piala Dunia. Hanya laki-laki Inggris 1966 saat juara dunia, laki-laki Inggris 1990 di semifinal dan Perempuan Inggris 2015 yang mampu menembus babak tersebut.

Sedemikian spesial prestasi Lionesses tahun ini, Pangeran Williams secara khusus menelepon skuat Inggris sebelum berlaga melawan Jepang dan mengharapkan yang terbaik untuk semua hasilnya nanti.  Tak lupa, akun twitter resmi Kensington Palace juga memuji perjuangan Lionesses dengan menyebut mereka telah membuktikan dirinya sebagai salah satu tim terbaik di dunia dan membuat bangga seluruh orang Inggris.

Lionesses berpose dengan sang pangeran Williams (sumber: Daily Mail)
Skuat Lionesses berpose dengan sang pangeran Williams (sumber: Daily Mail)

Tentu, atensi yang mendadak membludak ini dikhawatirkan akan menjadi tekanan mental tersendiri bagi Laura Bassett. Banyaknya kasus-kasus pesepakbola yang mengalami depresi dan tekanan berlebih ini bisa berakibat fatal bagi sang pengidap atau bahkan yang lebih mengerikan bisa berujung kematian.

Pencegahan dini dari kondisi yang menimpa Laura mesti dilakukan secepat mungkin, minimal dilakukannya pendekatan secara personal dari tim psikiater tim bersama tim pelatih Inggris.  Hal ini juga senada dengan apa yang diungkapkan Birgit prinz yang juga mantan pesepakbola perempuan dari Jerman. Ia mengungkapkan bahwa “Kondisi mental merupakan hal yang penting dalam performa seorang pemain sepakbola saat di lapangan maupun di luar lapangan. Sama pentingnya dengan kondisi fisik dan teknik mereka.”

Pemulihan psikologis secara bertahap dan berlanjut akan sedikit demi sedikit memulihkan kondisi Laura yang diperkirakan masih sangat tertekan. Belum lagi mereka masih harus menjalani partai perebutan tempat ketiga melawan Jerman akhir pekan nanti.

Mungkin, menurutku, salah satu pemulihan terbaik bagi Laura adalah menjadikan dirinya sendiri sebagai penentu kemenangan saat melawan Jerman. Akan tetapi, walaupun akhirnya mereka harus puas di tempat keempat, toh mereka akan tetap disambut bak pahlawan di jalanan Inggris nanti. Percayalah.

Tulisan lainnya tentang kisah-kisah Piala Dunia Perempuan:


Tulisan diolah dari berbagai sumber

Komentar