Mengenal Sistem Co-Ownership di Italia

Berita

by redaksi

Mengenal Sistem Co-Ownership di Italia

Bukan hal aneh jika di Serie A Italia banyak tim yang memiliki pemain dengan status kepemilikan bersama. Sistem kepemilikan bersama atau yang lebih dikenal denga co-ownership adalah sebuah sistem dimana dua klub berbagi kepemilikan kontrak atas satu pemain. Hanya saja pemain tersebut hanya bisa didaftarkan atau bermain untuk satu tim saja.

Kabar terbaru, Federasi Sepakbola Italia memutuskan untuk menghapuskan sistem ini pada 2015 mendatang. Ini sebagai upaya untuk memperbaiki lalu lintas transfer yang ada di Italia. Menurut Giancarlo Abete, Presiden Federasi Sepakbola Italia (FIGC), sistem kepemilikan bersama saat ini sudah terlalu berlebihan. Tercatat 164 pemain dengan status co-ownership di Serie A dan Serie B, dengan 92 kontrak yang akan berakhir musim ini. Oleh karena itu, pihak federasi berencana menghapuskan sistem tersebut secara perlahan.

Namun banyak pihak yang menyayangkan jika sistem ini benar-benar dihapuskan. Seperti presiden Bologna, Albano Guaraldi, misalnya. Ia mengatakan sistem kepemilikan bersama memiliki sisi positif di mana sistem ini bisa membantu perkembangan dan harga jual pemain tersebut. Jika memang sistem ini benar-benar dihapuskan pada 2015 nanti, Guaraldi merasa tidak mungkin untuk melakukannya, waktunya terlalu singkat untuk mempersiapkan strategi transfer yang baru.

Untuk bursa transfer mendatang, Federasi Sepakbola Italia sudah melarang pembelian pemain dengan sistem co-ownership baru. Untuk pemain yang saat ini masih terikat co-ownership kontrak, hanya boleh memperpanjang co-ownership tersebut selama setahun.

Untuk memperdalam pengertian tentang sistem co-ownership, kami akan mencoba menjelaskan dan memberikan contoh sistem yang sudah berjalan di Italia sejak 10 tahun yang lalu ini.

Secara garis besar, sistem co-ownership merupakan persetujuan dua klub untuk berbagi kepemilikan atas seorang pemain. Dalam hal ini, para pemain seolah menjadi sebuah perusahaan, dengan sahamnya yang dimiliki dua tim tersebut.

Sebagai contoh, Mario Rossi merupakan pemain AS Roma yang memiliki sisa kontrak dua tahun bersama klub ibu kota Italia tersebut. Kemudian Genoa tertarik untuk merekrut Rossi. Jika kedua belah pihak menyetujui co-ownership, maka langkah selanjutnya kedua belah pihak menentukan di tim mana Rossi akan bermain. Dengan sistem ini, ada tiga opsi yang bisa terjadi.

Pertama, Roma menjual setengah kepemilikan Rossi pada Genoa tapi Rossi tetap bermain untuk AS Roma. Jika diasumsikan harga jual Rossi adalah 5 juta Euro, maka Genoa harus mengeluarkan dana minimal 2,5 juta Euro untuk mendapatkan setengah kepemilikan Rossi.

Ini adalah sebuah cara yang dilakukan Roma untuk mendapatkan uang cash dengan cara cepat tanpa harus kehilangan pemainnya. Tapi jika Genoa berani membayar di atas harga 5 juta Euro, maka kendali dimana si pemain akan bermain ada di tangan Genoa.

Kedua, Roma menjual setengah kepemilikan Rossi pada Genoa, dan Rossi bermain untuk Genoa. Tidak ada ruang untuk Rossi di skuat AS Roma, maka Roma mengijinkan Rossi bermain untuk Genoa (tentunya Genoa minimal membeli setengah harga si pemain).

Ini sering digunakan sebuah tim agar pemain mudanya bisa berkembang di tim yang lebih bisa memberinya jam terbang. Bisa juga pemain tua yang tim pemiliknya tidak mau menjualnya secara keseluruhan (biasanya ini digunakan untuk menaikkan harga pemain tersebut sebelum klub benar-benar menjualnya secara permanen).

Ketiga, Roma menjual setengah kepemilikan Rossi pada Genoa, kemudian kedua tim setuju untuk meminjamkan Rossi ke sebuah tim yang levelnya di bawah mereka. Ini biasanya terjadi kepada para pemain muda yang disiapkan kedua tim untuk bermain untuk kedua tim tersebut. Hanya saja kemampuan si pemain tersebut dinilai belum layak tampil untuk kedua tim tersebut. Kedua tim memiliki hak terhadap si pemain, dan si pemain bisa berkembang di tim lain.

Pada akhirnya keputusan-keputusan di atas hanya akan terjadi atas persetujuan klub yang memiliki pemain (Roma) dan pemainnya sendiri (Rossi). Dan misalnya persetujuan ini (opsi mana pun) terjadi, maka di akhir musim kedua tim akan kembali berdiskusi mengenai masa depan si pemain.

Ketika bursa transfer dibuka, Roma dan Genoa bisa bernegoisasi untuk Rossi. Sebut saja Rossi menjalani musim yang baik. Harga jualnya pun tentu akan naik. Misalnya Genoa tertarik untuk merekrut Rossi secara permanen dan mengajukan tawaran yang tinggi untuk membeli setengah kepemilikan Rossi yang masih dimiliki Roma. Jika Roma menerima tawaran tersebut, maka Rossi akan menjadi milik Genoa sepenuhnya, jika Roma menolak akan ada dua opsi yang bisa terjadi.

Pertama, Roma dan Genoa bisa menunda untuk menentukan masa depan Mario Rossi, dan memperbarui co-ownership untuk satu musim berikutnya. Kedua klub harus menentukan di mana si pemain akan bermain di musim kedua co-ownership-nya. Tapi biasanya, si pemain tetap bermain di tim yang ia bela sebelumnya.

Seorang pemain tidak boleh berada lebih dari dua musim pada satu klub dengan status ­co-ownership. Penundaan ini hanya bisa terjadi sekali, itu pun pada musim pertama pemain tersebut menjalani co-ownership.

Kedua, Jika kedua tim tidak setuju dengan harga ataupun tidak setuju untuk penundaan perjanjian, maka kedua tim harus menghadapi ??andare alle buste? atau going to envelopes. Ini merupakan sebuah lelang buta bagi kedua tim melalui Federasi Sepakbola Italia. Kedua tim diwajibkan mengajukan tawaran pada federasi tanpa mengetahui tawaran tim lainnya. Tim dengan tawaran yang lebih tinggi akan mendapatkan kepemilikan penuh atas pemain tersebut.

Misalnya, Roma menawar Rossi dengan harga 4 juta Euro dan Genoa mengajukan tawaran dengan 4,5 juta Euro. Maka Rossi berhak menjadi milik Genoa sepenuhnya. Di sini Roma tidak bisa menaikkan tawaran. Oleh karena itu, ketika kedua tim menghadapi ??andare alle buste??, setiap tim harus dengan jeli menilai si pemain agar tidak rugi bahkan kehilangan pemain bertalentanya.

Maka tak aneh jika banyak pihak yang menyayangkan atas penghapusan sistem ini. Sistem co-ownership di Italia telah menjadi suatu hal yang berguna bagi klub-klub di Italia. Walaupun tidak menutup kemungkinan bisa jadi merugikan jika seorang pemain bertalenta bermain untuk tim yang salah yang kemudian menjadikannya keputusan yang buruk.

Tapi sisi positifnya adalah, sistem ini menawarkan dimensi lain untuk para pemain muda. Mereka bisa tampil semaksimal mungkin meskipun ia hanya bermain di tim dengan level kecil. Bayangkan jika pemain-pemain muda bertalenta terkungkung di sebuah klub besar yang tidak memberinya kesempatan bermain. Kita mungkin tidak akan pernah mengenal nama-nama seperti Sebastion Giovinco, Giorgio Chiellini, Ciro Immobile, Antonio Nocerino dan beberapa pemain lainnya yang merupakan contoh keberhasilan dari sistem ini di Italia.







foto: bleacherreport.net



[ar]

Komentar