Duduk Perkara Pengurangan Poin yang Menimpa Everton

Internasional

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Duduk Perkara Pengurangan Poin yang Menimpa Everton

Pada Jumat (17/11), Komisi Independen Premier League menjatuhkan sanksi berupa pengurangan 10 poin kepada Everton. Klub berjuluk The Toffees tersebut dianggap telah melanggar profitability and sustainability rules. Ini merupakan hukuman terbesar sepanjang sejarah Premier League.

Profitability and Sustainability rules (PSRs) atau peraturan profitabilitas dan keberlanjutan merupakan peraturan yang berusaha membuat klub tidak mengeluarkan uang di luar kemampuan mereka. Di sisi lain, PSRs juga berusaha agar klub tidak mendapat suntikan dana yang tidak terbatas dari pemilik dan melindungi keberlangsungan keuangan klub dalam jangka panjang. Pengurangan poin ini memang diatur dalam Handbook Premier League 2023 halaman 533.

Dengan pengurangan poin ini, Everton yang hingga pekan ke-12 berada di peringkat 14 dengan koleksi 14 poin, harus turun ke peringkat 19.

Lalu, apa yang dilanggar Everton sehingga poin mereka dikurangi 10?

Tiap tahun, tepatnya pada 1 Maret, klub harus menyerahkan laporan keuangannya kepada Premier League. Laporan keuangan itu merupakan rekap laporan keuangan dari dua musim sebelumnya.

Komisi Independen sendiri menganggap kasus ini merupakan kasus yang rumit. Dalam putusan pengurangan 10 poin bagi Everton, Komisi Independen menerbitkan dokumen sebanyak 41 halaman.

Salah satu alasan jatuhnya hukuman tersebut adalah karena pada musim 2021/2022, Komisi Independen menilai Everton mengalami kerugian sebesar 124,5 juta Paun, melebihi ambang batas yang ditetapkan Premier League, yakni 105 juta paun. Artinya, di musim tersebut, Everton mempunyai selisih sebesar 19,5 juta Paun dari ambang batas.

Namun, Everton menyangkal temuan tersebut. Mereka menganggap, jika kerugian dihitung dengan lebih cermat, maka kerugian mereka hanya senilai 9,7 juta Paun.

Merujuk pada dokumen tersebut, ada beberapa hal yang dilanggar Everton. Untuk menjelaskan ini, tidak akan dilepaskan dari kedatangan Farhad Moshiri pada 2016. Pada 2018, Moshiri memegang sebagian besar saham Everton. Kemudian pada Januari 2022, ia menjadi pemilik 90% saham The Toffees.

Moshiri ingin membuat skuad Everton berprestasi, sehingga ia mendatangkan beberapa pemain dan membangun stadion baru untuk Everton. Menurut Komisi Independen, investasi yang sudah dikeluarkan Moshiri hingga saat ini sudah sebanyak 750 juta Paun. Pembangunan stadion inilah yang menguras kantong Everton.

Merujuk pada laporan Komisi Independen, pembangunan stadion baru Everton sepenuhnya menggunakan dana dari Everton yang diperkirakan menghabiskan dana 760 juta Paun. Sialnya, kesepakatan antara Everton dan USM Holdings sebesar 200 juta Paun untuk naming right stadium selama kurang lebih 20 tahun dibatalkan. Dari sini, Everton meminta kepada Premier League agar biaya pembangunan stadion tidak dimasukkan ke dalam penghitungan PSRs, namun permohonan itu ditolak.

Pada 2022, Everton berdalih biaya pembangunan stadion baru mereka yang terletak di Bramley-Moore Dock itu dalam bentuk bunga dan arrangement fee atau biaya sindikasi. Namun, pihak Premier League beranggapan bahwa Everton tidak transparan dalam pengajuan mereka dan inilah poin yang memberatkan dijatuhkannya hukuman tersebut.

Ambisi membangun stadion baru ini menurut Komisi Independen memang menjadi risiko yang akhirnya membuat Everton melanggar peraturan PSRs. Namun, selain pembangunan stadion, Everton mempunyai persoalan lain yang berkaitan dengan transfer pemain.

Di sisi lain, pada Agustus 2021, Everton dan Premier League mencapai kesepakatan bahwa Everton diizinkan membeli pemain baru di tengah kesulitan keuangan dan Everton harus memastikan bahwa mereka tidak melanggar PSRs.

Everton menganggap pihaknya tidak melanggar PSRs dengan alasan adanya dana tak terduga yang harus mereka keluarkan, yakni kerugian pemutusan hubungan pemain, pembiayaan pembangunan stadion, serta adanya dana yang dikeluarkan saat pandemi Covid-19.

Salah satu alasan Everton yang diajukan kepada Premier League adalah mereka mengalami kerugian dalam pemutusan kontrak pemain. Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Komisi Independen, ada salah satu pemain yang tidak disebutkan namanya, dan hanya ditulis dengan pemain X.

X dipecat oleh Everton pada Agustus 2021. The Toffees ingin menuntut X dan mereka diperkirakan akan mendapat 10 juta Paun jika berhasil jika X terbukti melanggar kontrak. Merujuk The Athletic, Tottenham Hotspur menjadi salah satu pihak yang memanfaatkan situasi sulit Everton dengan menebus striker Brasil Richarlison sebesar 60 juta Paun, lebih rendah dari tawaran Everton yakni 80 juta Paun.

Merespon hal ini, dalam rilis resminya, menganggap keputusan pengurangan 10 poin ini tidak adil dan mereka akan mengajukan banding. Di sisi lain, 777 Partners sebagai pemilik baru klub asal kota Liverpool tersebut belum mengeluarkan pernyataan resmi.

Apa yang menimpa Everton ini bukanlah yang pertama dalam beberapa tahun belakangan. Sebelumnya, Manchester City dan Chelsea juga diterpa masalah keuangan meski mereka tidak mendapatkan hukuman pengurangan poin. The Citizens diduga telah melanggar 100 pasal, sementara Chelsea diduga melakukan pelanggaran keuangan pada 2012 dan 2019.

Menurut Catherina Forshaw, salah satu ahli hukum di bidang sepakbola sekaligus , kasus yang menimpa Manchester City dan Chelsea jauh lebih berat dibanding Everton.

“Sekarang sudah ada presedennya. Dan dibandingkan dengan Chelsea dan Manchester City, Everton kemungkinan berada di kelompok terbawah dalam hal tingkat keparahan. Jadi saya pikir degradasi tentu saja bukan hal yang mustahil,” kata Forshaw dilansir The Guardian.

Komentar