Tak Ada Lagi pandit

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Tak Ada Lagi pandit

Sepakbola masih permainan yang sama, cara menikmatinya yang sudah lain sekali — dan memang akan terus begitu.

Tentu banyak argumen ihwal sepakbola yang telah banyak berubah. Sepintas lalu, cara sepakbola dimainkan di level tertinggi tampak begitu berbeda dibanding, katakanlah, 20 tahun lalu. Namun, buat saya, tak ada yang betul-betul sepenuhnya baru. Jika kita membaca sejarah evolusi taktik, misalnya, hal-hal yang dibayangkan sebagai temuan baru sebenarnya bisa dibaca sebagai penulisan ulang, dengan sedikit penyesuaian, atas hal-hal yang sudah dipraktikkan pada dekade-dekade sebelumnya.

Secara taktikal, perubahan mendasar terakhir kali terjadi saat aturan offside berubah (dari tiga pemain terakhir, lalu dua, dan lantas menjadi seorang pemain terakhir) serta saat kiper dilarang menangkap bola operan rekannya (back-pass). Setelah itu, usaha untuk menemukan hal-hal baru dalam taktik masih berkisar pada pokok soal: bagaimana caranya mengendalikan dan mengeksploitasi ruang.

Setelah peraturan offside berubah, garis pertahanan perlu dinaikkan agar bisa menjebak pemain terdepan lawan. Larangan kiper menangkap umpan rekannya memancing lawan menekan semakin tinggi guna mencari kemungkinan kiper dan barisan pertahanan melakukan kesalahan. Dari situ, pemain belakang, bahkan kiper, tak senyaman dulu, dan dipaksa untuk terampil mengendalikan bola dengan kaki. Latar itulah yang membuat, misalnya, keberadaan nomor 9 palsu (false nine) mudah dimengerti asbab an nuzul-nya terkait eksploitasi ruang, kan?

Karena semakin sedikit arena bermain, bukan lagi dari ujung lapangan yang satu ke ujung lapangan lain, melainkan dari garis pertahanan tim A hingga garis pertahanan tim B, semakin sempit pula ruang dan waktu untuk mengirim, menerima, mengolah dan menendang bola. Tempo semakin cepat, pengambilan keputusan yang kilat kian penting, transisi (dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya) menjadi semakin sering terjadi, sekaligus kian menentukan, sehingga istilah “sepakbola menyerang” dan “sepakbola bertahan” pada dasarnya tak memadai lagi untuk menjelaskan jalannya permainan.

Keterampilan mengolah bola semakin mekar karena tak banyak ruang untuk melindungi bola. Kalau Anda bandingkan cara Garrincha dan Neymar mengolah bola, cukup jelas bagaimana trik-trik Neymar jauh lebih njlimet. Garrincha masih punya banyak ruang untuk melarikan diri dari sergapan lawan, sehingga giringannya tampak lebih sederhana, sedang generasi Neymar mesti melakukannya dalam ruang yang semakin ciut sehingga mesti makin canggih.

Semakin minimnya ruang untuk mengendalikan bola menyebabkan, misalnya, arketipe pemain nomor 10 klasik seperti Riquelme menghilang. Jika ada pemain yang dominan dalam mendistribusikan bola, kebanyakan mesti turun lebih ke dalam, karena di sanalah masih ada ruang-ruang yang tersisa untuk berpikir cukup lama — di sanalah terletak sepetak suaka margaklasik bagi para pemikir.

Detail-detail semakin menentukan. Momen-momen krusial kadang kala berlangsung begitu cepat. Sehingga, jangan heran, banyak hal-hal grande yang begitu menonjol dalam momentum-momentum singkat yang hanya berlangsung dalam hitungan detik. Dalam situasi sekaranglah, bukan pada era lampau, 2-3 langkah kecil (dan bukan giringan bola yang cemerlang atau tendangan lengkung yang aduhai) yang dilakukan Thomas Mueller pada menit 113 di laga final Piala Dunia 2014 bisa mendapat sorotan yang memadai. Raumdeuter, atau Sang Penafsir Ruang dalam tilikan saya 9 tahun silam, adalah salah satu buah paling ranum dari evolusi ini.

Inilah yang melatari, bersama faktor pertumbuhan teknologi informasi dan media sosial yang akan saya bahas sebentar lagi, yang membuat cara menikmati sepakbola menjadi lain. Jika tesis utama buku Simulakra Sepakbola adalah perubahan sepakbola dari tontonan menjadi tayangan, kali ini situasinya telah berubah lagi. Dari tontonan, menjadi tayangan, lalu konten.

Tontonan berarti: kita mengenal sekaligus menikmati langsung pertandingan di lapangan — entah lapangan kampung atau stadion, tarkam atau liga. Tayangan berarti: kita menikmati sepakbola melalui layar — entah layar televisi, laptop atau gim. Konten berarti: kita bisa menikmati sepakbola – dan bisa terpuaskan – dengan menyaksikan potongan-potongan pendek.

Dengan tontonan, yang kita menikmatinya secara langsung, kita menyaksikan sepakbola sebagai kesatuan yang utuh, yang tak tepermanai. Sepakbola tak “disensor” oleh kamera yang cenderung hanya menyorot pemain yang dekat dengan bola. Kita bisa menonton kiper A saat bola justru sedang mendekati kiper B. Kita bisa menyaksikan pemain dengan postur paling pendek berdiri di garis tengah, saat timnya sedang mendapatkan sepak pojok. Dengan tayangan, yang kita menikmatinya secara tidak langsung, melalui layar sebagai makelar, kita menyaksikan sepakbola secara separuh, sepotong, parsial. Kita hanya bisa menyaksikan para pemain yang sedang dekat dengan bola.

Industri yang semakin menghebat memungkinkan pertandingan sepakbola bisa ditonton setiap hari, kapan saja, di mana saja, dalam bentuk apa pun: pertandingan utuh, highlight pertandingan, cuplikan kejadian-kejadian seru, atau beberapa detik atraksi keterampilan dengan bola melalui Tiktok atau IG Reels maupun Youtube Short. Begitu berbeda dengan dua puluh tahun lalu ketika tayangan sepakbola masih langka, highlight hanya bisa dilihat di jam-jam tertentu pada hari yang spesifik -- sehingga menonton sepakbola menjadi momen yang sedikit sakral.

Saya tidak hendak merincikan lagi perbedaannya, hal itu bisa Anda baca dalam Simulakra Sepakbola; buku yang tampaknya tak akan pernah saya terbitkan ulang (biarlah ia menjadi sejarah). Saya hanya hendak menegaskan sedikit saja: Pandit Football Indonesia berdiri pada kurun yang, dalam konteks Indonesia, adalah transisi dari sepakbola sebagai tontonan menjadi tayangan.

Pada 2012, saat Pandit Football berdiri, Instagram baru merilis apps untuk android, video belum bisa diunggah di Instagram, Youtube baru merilis apps untuk iOS, perubahan antarmuka Youtube untuk menyatukan pengalaman menonton di desktop, laptop dan mobile malah baru muncul setahun kemudian, rataan orang Amerika menonton Youtube per hari baru 15 menit, dan Tiktok baru akan muncul empat tahun berikutnya.

Pada 2012, kejatuhan Blackberry juga dimulai. Saat itulah, menurut data Statista, untuk pertama kalinya pendapatan Blackberry merosot, dan akhirnya jatuh tak terpulihkan. Selamanya.

Secara umum, terutama di Indonesia, Blackberry memang yang berandil mempercepat (kebiasaan) jaringan internet menjadi hal personal yang bisa ditenteng ke mana pun. Saya ingat Majalah Tempo, pada 2004, memberitakan Blackberry sebagai salah satu fasilitas yang dinikmati para menteri di kabinet pertama SBY. Namun, karena sistem operasinya hanya bisa dipakai di Blackberry, harga ponsel pintar tersebut dikontrol sepenuhnya oleh RIM, sehingga terhitung mahal bagi kebanyakan. Android yang bersifat inklusif, bisa ditanam di ponsel berbagai pabrikan, karenanya bisa lebih murah harganya, akhirnya mengambil alih posisi Blackberry.

Tidak persis, memang, karena bukan mistar yang garisnya tegas lagi jelas, tapi bisalah dibilang: 2010-2012 adalah momentum transisi ketika keterhubungan dengan mobile-internet sebagai perkakas personal bisa dinikmati lebih banyak orang.

Pandit Football bisa menemukan audiensnya karena situasi tersebut. Orang-orang memang sudah bersiap memasuki cara baru menikmati sepakbola. Pembaca sepakbola di Indonesia sudah mulai siap untuk menemukan ulasan sepakbola yang lebih detail, statistik yang rinci, dan tilikan yang lebih dalam.

Dalam esai “12 Tahun Menulis Sepakbola”, saya sudah kisahkan bagaimana artikel pertama Pandit Football, yaitu analisis pertandingan Italia vs Spanyol di Euro 2012, yang saya tulis sendiri, direspons dengan terkejut oleh sejumlah kalangan. Kekagetan menemukan analisis pertandingan yang rinci, penuh dengan chalkboard dan grafis, hanya berlangsung sebentar. Seiring kemunculan banyak media-media independen lain, seperti Bolatotal atau Footballfandom, orang terbiasa dengan diskusi dengan tilikan taktik yang menukik.

10 tahun kemudian, pada 2022, cara menikmati sepakbola sudah lain lagi. Internet sudah menjadi barang (semakin) murah, streaming legal sudah merebak, dan media sosial semakin mantap dikuasai oleh corak audio-visual (baca: gambar bergerak alias video). Penyuntingan video yang masih jadi keterampilan agak langka pada 2012, kini menjadi sangat mudah dilakukan berkat fitur-fitur ringkas yang disediakan berbagai platform. Media sosial berbasis visual dan video, dan bukan lagi sekadar internet, membuat klip-klip pendek tersirkulasi dengan mudah, nyaris seringan mencuit teks di Twitter.

Bukan kebetulan, semuanya logical dari sisi kurun: hal itu berjumpa dengan permainan sepakbola yang semakin rapat, intens, karena ruang yang tersedia semakin sempit dan sengit seiring (mula-mula) berubahnya aturan offside + backpass dan semakin tingginya garis pertahanan yang dimainkan banyak klub-klub elite. Aksi-aksi singkat, tapi indah, membuat konteks taktikal semakin terpangkas keutuhannya dari pemahaman.

Saya ingin memberikan ilustrasi melalui, lagi-lagi, media sosial. Tiktok, yang membuat semua platform berbasis visual kalang kabut (dari Youtube hingga Instagram), menghitung views begitu video diputar. Bandingkan dengan Instagram (IGTV) yang membutuhkan waktu 3 detik, apalagi Youtube yang membutuhkan waktu hingga 30 detik. Tiktok tetap menghitung views jika Anda tak sengaja memutar konten saat scrolling, sedangkan Youtube bisa menganggap bot jika Anda berpindah video secara acak tanpa benang merah yang jelas.

Menurut saya, algoritma Tiktok dalam menghitung views mengilustrasikan dengan bagus sekali cara generasi kiwari menikmati sepakbola: sebagai konten.

Ulang tahun Pandit Football yang kesepuluh dirayakan dalam situasi seperti itu. Hal anarkis inilah yang dihadapi semua orang yang memposisikan diri, atau membayangkan dirinya, sebagai pandit (dengan “p” kecil). Secara etimologi, “pandit” berasal dari bahasa sanskrit yang berarti “orang terpelajar”, “ahli”, “sarjana”, “guru” — pendeknya: seseorang yang menguasai sesuatu secara mendalam dan tuntas.

Seorang terpelajar, mereka yang memang terlatih dalam disiplin berpikir kritis, mestinya tahu batas. Semakin banyak yang dibaca, semakin kita sadar banyak hal yang belum diketahui. Pengetahun adalah candu bagi seorang terpelajar. Inilah saatnya untuk memposisikan diri sebagai pembelajar, yang tak lagi membayangkan dirinya sebagai pengajar yang berada di pusat kelas, melainkan bergabung di bangku-bangku yang sebelumnya ditempati khalayak. Belajar bersama-sama. Saling mendengar dan menyimak. Dan melakukan banyak hal bareng-bareng.

Kita mesti yakin, dan saya berposisi demikian, betapa tak ada yang lebih jago dari yang lain. Juga tak ada otoritas dalam mendiskusikan sepakbola. Dalam hal ini, pakar telah mati. Bukan seperti yang dibayangkan Tom Nichols, melainkan karena semakin banyak yang pintar, juga cerdas, sebab pengetahuan semakin mudah diakses oleh siapa pun yang sudi dan punya hasrat.

Explainer, atau tilikan yang tajam, tak semendesak dahulu. Kini orang bisa cukup hanya dengan secuil aksi yang berlangsung hanya beberapa detik untuk terpuaskan dahaganya akan sepakbola. Ndakik-ndakik menjadi ganjil, semacam fafiwasweswos sahaja, sebab yang pokok adalah punchline, juga kesimpulan-kesimpulan pendek. Cara menikmati sepakbola semakin tidak membutuhkan argumentasi.

Bukan karena generasi sekarang semakin bodoh, tapi justru karena mereka semakin mengerti sepakbola. Makelar pengetahuan, apalagi pewedar kebijaksanaan, dalam memahami sepakbola sama berharganya dengan yang yang paham-tapi-memilih-diam-diam-saja. Tentu selalu akan ada kebodohan, bahkan ketololan, saat membicarakan sepakbola, tapi bukankah pemain yang (mendadak) berbuat bodoh dan tolol walau berharga mahal juga pernah, sedang, dan akan terus bermunculan dalam lanskap taktik sepakbola yang semakin rigid, detail, dan canggih ini?

Generasi kami, yang agak tua-tua ini, sebagaimana penyakit setiap generasi, memang sering gampang meremehkan generasi berikutnya. Tidak, kita semua setara, kita sama-sama bernilai: baik sebagai penikmat sepakbola maupun sebagai metriks dalam laporan mingguan performa media sosial klub-klub hebat yang kita tonton dengan penuh gairah aneh ini.

Komentar