Selandia Baru, Ikan Besar di Kolam Kecil

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Selandia Baru, Ikan Besar di Kolam Kecil

Oleh: Ghani Umar Altunayan (@karcisparxir)

Jika mendengar Selandia Baru, kita semua sepakat jika negara tersebut merupakan sebuah negara yang maju, kaya, sarat akan teknologi terbarukan, seperti kawasan hasil invasi pada umumnya. Banyak orang mengira jika Selandia baru berada di wilayah bumi utara seperti daratan Eropa, Amerika Utara seperti Kanada, AS dan negara-negara maju lainnya. Akan tetapi Selandia Baru justru berada jauh di bagian bumi selatan, letaknya dekat dengan benua Australia dan samudra pasifik. Maka dari itu jika berbicara sepakbola, peran negara tersebut terbilang cukup unik karena letak geografisnya.

Secara organisasi, Selandia Baru masuk ke dalam OFC (Oceania Football Confederation) yaitu induk sepakbola yang menaungi wilayah Oceania atau negara-negara di wilayah samudera pasifik. Itu berarti para kompetitor Selandia Baru hanya segelintir negara-negara kecil di wilayah pasifik, seperti Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands, atau negara yang familiar di telinga warga Indonesia, yang paling vokal menyuarakan kemerdekaan Papua Barat, yaitu Vanuatu.

Bisa dibayangkan bagaimana kiprah Selandia Baru di kompetisi regional Benua Oceania tersebut. Hasilnya, Selandia Baru berhasil menyabet banyak gelar sekaligus menancapkan dominasi di kompetisi sepakbola antar negara yang petanya nyaris tidak terlihat di buku atlas. Dari kompetisi tim nasional, hingga kompetisi antar klub seperti liga champions oceania (OFC) sebagian besar didominasi oleh perwakilan dari Selandia Baru.

Kasus serupa bukanlah hal yang baru dalam dunia sepakbola, sebelumnya Australia pun berada di konfederasi sepakbola Oceania (OFC) sebelum akhirnya pindah ke federasi sepakbola asia (AFC) pada tahun 2006 silam. Dilansir dari The Sun, penyebabnya adalah timnas Australia mengklaim ia bisa lebih mudah lolos ke piala dunia jika kualifikasi di benua Asia karena ada kemungkinan lolos otomatis tanpa babak play off (jika di oceania wajib play-off). Pasalnya Ketika Australia masih menjalani kualifikasi piala dunia edisi sebelumnya di Oceania, Australia selalu kalah secara beruntun di babak play off yang menjadi momok menakutkan bagi tim benua yang mayoritas wilayahnya lautan.

Meskipun play off, tim sekaliber juara grup dari benua antah berantah masih kalah unggul dari negara dari regional lain. Ironis nya di edisi terakhir sebelum pindah ke Asia, Australia yang diperkuat pemain top Eropa pada masa itu seperti Mark Schwarzer, Mark Viduka, Harry Kewell justru mampu mengalahkan tim besar Uruguay pada play off 2005 melalui adu penalti leg kedua.

Bukan hanya alasan di dalam lapangan, kepindahannya ke AFC juga didasari atas kepentingan promosi. Sebab ketika berkompetisi di benua Asia, tim berjuluk socceroos bisa lebih dikenal serta mendapat atensi yang lebih baik luas ketimbang berkompetisi di Oceania yang mana sebagian besar pertandingan hanya melawan negara kepulauan terpencil kecuali Selandia Baru. Faktor pendorong lain yang memperkuat keputusan FIFA untuk mengizinkan ‘hijrah’-nya Federasi sepakbola Australia ke Asia adalah kepindahan Australia ke AFC disambut baik oleh negara-negara lainnya di Oceania.

Alasannya cukup masuk akal, negara kecil di sana pun ingin mendapatkan kesempatan yang sama dikarenakan dominasi Australia di Oceania sudah tidak dapat dibendung lagi. Alias Australia bukan lawan sepadan di Oceania. Ini juga menjadi keuntungan tersendiri bagi negara lain terutama Selandia baru. Hal itu dibuktikan dengan lolosnya Selandia baru ke piala dunia 2010 Afrika Selatan, kemudian Tim Nasional Tahiti sebagai kontestan Piala konfederasi 2013.

Di persimpangan antara benua Eropa dan Asia, Turki adalah negara yang hampir memiliki hal serupa, negara yang secara geografis berada di daratan Asia ini kemudian justru memilih eropa (UEFA) sebagai induk sepakbola. Pasca runtuhnya Uni Soviet sekaligus awal dari kemerdekaan Kazakhstan, tim nasionalnya pun mengarungi kompetisi Benua Asia sebelum pindah ke UEFA pada 2002. Begitu juga Israel yang menjalani kompetisi sebagai bagian dari induk sepakbola Asia hingga akhir dekade tahun 70-an. Faktor politis membuat Israel terdepak dari atmosfer sepakbola Asia.

Negara merupakan suatu wilayah berdaulat yang memiliki batas wilayah, itu berarti sepakbola erat kaitannya dengan faktor geografis. Persoalan menjadi semacam karena masalah yang tidak dapat dihindari terutama di negara-negara yang berada di antara dua wilayah berbeda. Ada dampak positif maupun negatif dengan keadaan tersebut. Bagi Israel, keberadaannya di lingkaran sepakbola Asia memberi dampak kurang baik, dengan pertimbangan banyak negara Timur Tengah dan adanya boikot terhadap sepakbola Israel di Asia, membuat kemungkinan sulit jika negara itu masih tetap berkiprah di Asia. Maka Israel menyikapi itu dengan pindah ke Eropa yang setidaknya merupakan tempat yang minim adanya konfrontasi berbau politik.

Lain halnya dengan Turki dan Kazakhstan, meskipun di Eropa menemukan kompetitor yang sulit serta persaingan yang lebih ketat, akan tetapi masuk ke dalam iklim sepakbola Eropa merupakan langkah baik demi menaikkan level kemajuan sepakbola setara dengan negara-negara di benua biru, selain ada aspek geografis yang memperkuat kepindahannya. Lantas Selandia baru pun sebenarnya bisa mengikuti jejak Australia dengan pindah ke kancah sepakbola Asia yang notabene lebih baik daripada Oceania. Akan tetapi sepertinya Selandia Baru masih memanfaatkan dengan baik keunggulan demografis ini dengan menjadi ikan besar di kolam yang kecil.

Sumber:


Komentar