Lopetegui dan Penyebab Sedikit Eks Kiper Jadi Pelatih Hebat

Taktik

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Lopetegui dan Penyebab Sedikit Eks Kiper Jadi Pelatih Hebat

Julen Lopetegui punya rekam jejak sebagai pelatih yang membawa Timnas U-19 dan U-21 Spanyol menjadi juara Piala Eropa. Tapi begitu melatih Real Madrid, kariernya tak berlangsung lama. Kurang dari lima bulan dia sudah dipecat karena rentetan hasil buruk. Kekalahan 1-5 di laga El Clasico jadi batas kesabaran Presiden Real Madrid, Florentino Perez.

Lopetegui lantas dicap pelatih gagal. Mengingat semasa ia bermain sebagai kiper, ini seolah mempertegas bahwa sulit bagi seorang kiper jadi pelatih hebat. Saat ini, para eks gelandang-lah yang merupakan pelatih-pelatih sukses di dunia. Pep Guardiola, Didier Deschamps, Diego Simeone, Zinedine Zidane, Massimilliano Allegri, dan Antonio Conte jadi contoh terkini.

Para pemain gelandang sudah terbiasa harus selalu waspada apa yang ada di depan, di belakang, dan di kedua sisi. Bahkan untuk eks pemain gelandang bertahan seperti Pep, Deschamps, Simeone, dan Conte, mereka dianggap hebat sebagai pelatih karena sudah terbiasa memahami setiap jengkal ruang di lapangan.

"Gelandang bertahan selalu memiliki peran kontrol terhadap pemain di sekelilingnya. Ia harus melihat ke depan, belakang, kanan dan kiri. Itu sebabnya ia harus memiliki kesadaran yang sangat baik dan kemampuan untuk membuat keputusan dengan cepat. Kesadaran akan ruang adalah bagian mutlak dari seorang gelandang bertahan, area pandangnya yang teramat luas membuat gelandang bertahan adalah bagian terpenting dalam sebuah tim," kata Johan Cruyff pada sebuah wawancara.

Tidak seperti gelandang, kiper lebih sering memerhatikan apa yang ada di depan, kanan, dan kiri. Area belakang hanya sesekali diperhatikan untuk mengukur posisi ia berdiri, agar selalu berada di tengah-tengah gawang. Dalam situasi itu, kiper tidak perlu membaca pemahaman taktik lawan, pergerakan pemain lawan, dan sebagainya. Berbeda dengan gelandang mengawasi dan mempelajari semua sisi lapangan dengan pengaruh lawan di dalamnya.

Selain itu, seorang kiper juga tidak terbiasa dengan pemahaman ruang sepakbola. Di lapangan permainan, ia hanya peduli ruang pertahanan. Ia akan sibuk mengatur rekan setimnya yang memberikan celah pertahanan bagi lawan. Ketika timnya menyerang, ruang bagi kiper hanya ada di belakang pertahanan lawan (yang akhirnya dengan memberikan umpan jauh). Apalagi bagi kiper di masa lalu, di mana build-up from GK tidak sepopuler sekarang.

Dalam praktiknya, seorang pelatih eks kiper bisa memberikan pemahaman yang berbeda dengan seorang pelatih eks posisi lain, dalam hal ini gelandang. Dalam penelitian Dr. Steven Rynne dan Prof. Chris Cushion, dua profesor olahraga Inggris, pengalaman bermain akan berpengaruh pada pengetahuan spesifik terhadap peran tertentu.

"Pengalaman bermain berkontribusi pada kemampuan melatih yang berhubungan dengan pengetahuan olahraga tertentu, seperti dalam aspek teknis dan taktis serta sudut pandang `organisasi sosialiasi`. Jelas, pengalaman bermain sebelumnya punya peranan ketika melatih. Pada pengalaman level top, walau bukan yang utama, pengalaman itu bisa memberikan peran dalam pengembangan seorang pelatih," tulisnya dalam penelitian berjudul Playing is not Coaching: Why is So Many Sporting Greats Struggle as Coach.

Sederhananya, seorang pelatih eks gelandang akan lebih mudah memberikan pelajaran atau pengetahuan pada pemain gelandangnya karena ia sering berada di posisi dan situasi yang sama. Pengalamannya saat bermain berbicara dalam menentukan apa yang baiknya dilakukan atau sebaiknya tidak lakukan. Berbeda dengan seorang pelatih eks kiper di mana pengalamannya tidak diperankannya langsung, ia hanya melihat bagaimana rekan setimnya yang berposisi sebagai gelandang bermain, di samping segala pengetahuan yang ia pelajari selama kursus kepelatihan.

Walau begitu, pada kenyataannya tidak semua pelatih eks kiper menjadi pelatih gagal. Bruce Arena, Raymond Goethals, dan Dino Zoff jadi tiga pelatih eks kiper yang terbilang punya karier sukses sebagai pelatih. Arena membawa DC United juara MLS untuk pertama kalinya plus mengantarkan AS ke Piala Dunia; Goethals menjadi satu-satunya pelatih eks kiper yang menjuarai Liga Champions; Zoff, sementara itu, menjuarai Piala UEFA dan Coppa Italia, serta menjadi runner-up Piala Eropa.

Tapi sebenarnya, bagi Lopetegui, kegagalannya di Real Madrid boleh jadi bukan karena pengalamannya sebagai kiper dan kemampuan taktisnya yang buruk. Toh, selain dirinya, pelatih macam Carlos Queiroz, Juande Ramos, Manuel Pellegrini, dan Rafael Benitez yang punya rekam jejak mentereng pun terbilang gagal di Real Madrid.

Tingkat kesulitan melatih di Real Madrid meningkat dalam hal soal urusan penanganan ruang ganti, di mana semakin banyak pemain bintang, semakin banyak juga ego yang harus diredam. Belum lagi soal filosofi permainan Lopetegui yang berbeda dengan Zidane plus kepergian Cristiano Ronaldo. Kegagalan Lopetegui lebih kompleks dari sekadar pelatih eks kiper yang sulit jadi pelatih hebat.

Baca juga: Bukan Semata-mata Kehilangan Cristiano Ronaldo

Komentar