Keuntungan Gol Tandang yang Tidak Bikin Untung

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Keuntungan Gol Tandang yang Tidak Bikin Untung

Sesungguhnya ada kemenangan dan kekalahan di setiap hasil imbang. Tidak percaya? Manajer Manchester United, Jose Mourinho, merasa kalah dan tidak beruntung setelah Arsenal berhasil mencuri gol di menit ke-89 di Old Trafford, untuk mengubah skor menjadi 1-1.

Kemudian saat babak gugur (knock-out) di sebuah kompetisi yang menerapkan dua leg, kandang dan tandang, atau home dan away; hasil imbang secara agregat sudah cukup untuk membuat salah satu kesebelasan berhak keluar sebagai pemenangnya – dan kesebelasan satunya otomatis sebagai pecundangnya.

Kadang ini terasa tidak adil. Tapi sepakbola itu memang tidak selalu soal adil dan tidak adil, tetapi soal menang dan kalah, bahkan meski hasil pertandingannya imbang.

Di sepakbola, membicarakan hasil imbang yang menghasilkan pemenang, berarti kita juga secara tidak langsung akan membicarakan peraturan gol tandang (away goal rule). Kemudian membicarakan peraturan gol tandang juga akan membuat kita membicarakan keuntungan sebagai tuan rumah (home advantage).

Baca juga: West Ham, Keuntungan Status Tuan Rumah, dan Anomali Stadion Baru

Dalam beberapa jurnal penelitian ilmiah yang berkaitan dengan sains olahraga, sudah ada banyak periset yang melakukan penelitiannya mengenai gol tandang, keuntungan status tuan rumah, sekaligus kerugian status tandang.

Peraturan gol tandang sering dianggap tidak adil

Kebanyakan penelitian gol tandang dan keuntungan tuan rumah adalah penelitian yang dilakukan di Eropa. Secara singkat, peraturan gol tandang diperkenalkan dengan tujuan awal adalah untuk membuat sepakbola lebih menarik dan lebih menyerang.

Tapi pada akhirnya, peraturan gol tandang ini lebih sering membuat sebuah gol lebih berbobot dibandingkan dengan gol lainnya. Kata “berbobot” di sini bisa berarti positif dan negatif. Misalnya, satu gol yang kamu cetak di kandang lawan akan lebih berbobot dibandingkan dengan satu gol yang kamu cetak di kandang sendiri.

Namun dalam beberapa kasus, saya kembali mengingatkan, hal ini tidak selalu adil. Jika kesebelasan kamu melakukan blunder dan harus kebobolan, tapi kamu berhasil mencetak satu gol balasan; tapi kemudian di leg kedua di kandang lawan kamu bisa bertahan dengan dan berhasil menahan imbang lawan dengan skor 0-0, maka lawan akan mendapatkan “gol yang lebih berbobot”, atau dalam kasus kamu: “gol blunder terkutuk yang lebih berbobot”.

Sebelumnya saya meminta maaf jika memang ada yang merasa gol tandang lebih sulit dicetak dibandingkan dengan gol kandang. Tapi apakah blunder di kandang sendiri harganya lebih mahal (dan lebih berbobot) daripada blunder di kandang lawan?

Kalau kamu merasa itu tidak adil, kamu tidak sendirian. Sir Alex Ferguson, Mourinho, Pep Guardiola, Arsene Wenger, Luis Enrique, Manuel Pellegrini, Andre Villas-Boas, dan beberapa manajer top lainnya pernah merasa jika peraturan gol tandang itu seringnya menunjukkan ketidakadilan.

Gol tandang bertanggung jawab atas maraknya kesebelasan yang memarkir bus

Peraturan gol tandang pertama kali diperkenalkan ke kompetisi Eropa pada Piala Winners musim kompetisi 1965/66, sementara untuk European Cup (sekarang setara dengan Liga Champions UEFA) baru diterapkan musim 1970/71.

Untuk mendekatkan tulisan ini kepada sains, kita bisa langsung melihat beberapa data yang sudah dikumpulkan oleh para peneliti yang sudah bergelar PhD atau bahkan profesor.

Di antara musim 1955/56 sampai 1961/62, terdapat rata-rata 3,71 gol per pertandingan di babak 16 besar sampai final di European Cup (Liga Champions). Kemudian dari 1962/63 sampai 1969/70, musim terakhir sebelum peraturan gol tandang diterapkan, terdapat rata-rata 2,94 gol per pertandingan.

Selanjutnya pada 21 musim setelahnya, terdapat rata-rata gol yang menurun lagi, yaitu 2,53 gol per pertandingan. Sementara melompat ke antara 2003/04 (dimulainya kembali babak gugur 16 besar) sampai 2007/08, rata-rata gol per pertandingan terus menurun, menjadi 2,35.

Dari data-data di atas, kita bisa melihat jika sejujurnya peraturan gol tandang tidak pernah benar-benar menjadi solusi efektif untuk kesebelasan tandang.

Kita mungkin bisa melihat ada efek lainnya, misalnya dari perubahan peraturan offside (1990) dan peraturan pelarangan back-pass (1992 dan 1997), tapi di sepakbola modern memang ada pendekatan umum untuk kesebelasan tandang untuk menghindari way goal: parkir bus. Jangan salahkan mereka.

“Saya percaya jika beban taktikal dari gol tandang sudah menjadi sangat penting,” kata Wenger, manajer Arsenal, pada konferensi UEFA di tahun 2008. “Kesebelasan mendapatkan skor 0-0 di kandang dan mereka sudah senang [dengan hasil tersebut].”

Alih-alih mendapatkan efek positif dari peraturan gol tandang, hal tersebut justru sebaliknya. “[Peraturan] itu lebih mementingkan bertahan dengan baik ketika kamu bermain di kandang,” tutup Wenger.

Mengakali gol tandang dengan taktik: “jangan kebobolan di kandang”

Berbicara soal gol tandang dan keuntungan status tuan rumah, keduanya ternyata tidak terlalu bervariasi. Menurut penelitian Chris Goumas di Liga Champions, kesebelasan tuan rumah hampir pasti memiliki home advantage yang tinggi (58-73%), yang sekaligus membuat kemungkinan away goal menjadi berkurang.

Sementara ketika dihitung berdasarkan rata-rata gol per pertandingan, kehadiran peraturan gol tandang sejak babak 16 besar Liga Champions justru semakin menurunkan jumlah gol yang terjadi di setiap pertandingannya.

Kebanyakan kesebelasan enggan mencetak gol di leg pertama, di manapun mereka bermain, baik kandang ataupun tandang, dengan mengincar skor 0-0 sebagai sebuah “prestasi”. Poin lainnya juga menunjukkan jika skor 2-0 di leg pertama (tidak peduli kandang atau tandang) hampir pasti akan meloloskan kesebelasan tersebut.

Banyak kesebelasan yang biasanya menginginkan bermain kandang pada leg kedua. Hal ini berbanding lurus dengan angka kemenangan sekaligus menunjukkan jika jarang terjadinya pertandingan dilanjutkan sampai ke babak adu penalti pada leg kedua.

Poin paling mencengangkan adalah kenyataan statistik yang menyatakan bahwa babak perpanjangan waktu sangat terasa tidak adil justru bagi kesebelasan tuan rumah. Hal ini cukup beralasan, mengingat kesebelasan tuan rumah yang sudah mencapai extra time akan khawatir jika mereka kebobolan (yang mana gol tersebut berarti sebuah gol tandang untuk lawan).

Namun, jika kesebelasan tuan rumah sampai ke babak adu penalti, mereka akan lebih diuntungkan dibandingkan dengan lawan yang bertindak sebagai tamu.

***

Sebuah gol tidak memiliki arti lain. Sebuah gol adalah sebuah gol. Tidak ada istilahnya gol tandang, gol cantik, gol dari jarak jauh, gol kontroversial, gol bunuh diri, gol hantu, gol tangan Tuhan, gol kaki setan, dan lain sebagainya; semuanya tetap berarti gol, dan skor pun bertambah.

Dengan mengubah dan memboboti gol dengan peraturan seperti peraturan gol tandang, maka sesungguhnya itu telah mengubah dinamisme dari sepakbola. Pernyataan di atas ternyata bisa dibuktikan dengan penelitian ilmiah.

Sumber jurnal:

  • Goumas C, Modelling home advantage for individual teams in UEFA Champions League football, Journal of Sport and Health Science (2015), doi: 10.1016/j.jshs.2015.12.008
  • Lidor R, Bar-Eli M, Arnon M, Bar-Eli A. On the advantage of playing the second game at home in the knockout stages of European soccer club competitions. Int J Sport Exerc Psychol (2010);8:312–25.
  • Nevill AM, Newell SM, Gale S. Factors associated with home advantage in English and Scottish soccer matches. J Sports Sci (1996);14:181–6.

Komentar