Simbiosis Mutualisme Sepakbola dengan Amerika dan Tiongkok

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Simbiosis Mutualisme Sepakbola dengan Amerika dan Tiongkok

Hidup di kota besar

Di antara semua hal yang sudah kita bahas di atas, ada satu hal lain yang menjadi daya tarik para pemain sepakbola untuk datang ke Amerika maupun Tiongkok. Daya tarik tersebut adalah gaya hidup di kota besar.

Misalnya saja, bagi Gerrard, hidup di Los Angeles akan membuatnya semakin "gaul". Bahkan mungkin saja Pirlo yang agak kaku dapat mengubah sedikit gaya hidupnya di New York yang sangat sibuk dan padat.

Daya tarik kota besar yang biasanya sejalan dengan prestasi kesebelasan lokal di Eropa, juga membuat pemain sepakbola tidak punya opsi yang terlalu menguntungkan jika ingin: (a) tetap mendapatkan banyak uang, dan (b) bermain reguler.

Seperti yang kita tahu juga pada umumnya, jika seorang pemain ingin tetap bermain reguler di masa tua atau ketika penampilannya tidak sebaik ekspektasi yang pernah disematkan kepada mereka, mereka biasanya pindah ke kesebelasan papan bawah (syukur-syukur papan tengah) atau pindah ke divisi yang lebih rendah.

Sedangkan MLS ataupun Liga Super Tiongkok memiliki tiga kriteria di atas yang sudah kita bahas dalam satu kesebelasan, asal kesebelasan tersebut tepat untuk mereka. Kota besar seperti LA, New York, Beijing, dan Shanghai, adalah beberapa kota besar yang bisa membuat para pemain sepakbola kepincut.

Waktu kompetisi

Ini adalah faktor terakhir yang dianggap menjadi daya tarik bagi pesepakbola, yaitu waktu kompetisi. Misalnya MLS, liga sepakbola ini dimulai pada Maret, berakhir pada Oktober, dengan play-off dan final yang sudah rampung pada awal Desember.

Ini akan membuat pemain bisa memiliki masa liburan pada Bulan Desember (biasanya liburan Natal) bersama keluarganya, dan tentunya pulang ke negara asalnya. Atau jika kesebelasannya tidak lolos play-off pun, sang pemain bisa saja memiliki liburan yang lebih panjang atau dipinjamkan ke kompetisi elit Eropa.

Jika kita lihat kembali kasus Beckham, tanpa transfernya ke LA Galaxy, kita pasti akan sulit membayangkan dirinya bermain kembali di Liga Champions UEFA bersama AC Milan di usianya yang sudah pertengahan 30-an. Faktor ini juga yang membuatnya bisa pensiun dengan gelar juara Ligue 1 bersama Paris Saint-Germain di usianya yang sudah 38 tahun.

Kasus seperti ini sudah marak di MLS, misalnya saja Thierry Henry yang sempat dipinjamkan kembali ke Arsenal, Villa yang dipinjamkan ke Melbourne City, dan bahkan Lampard yang juga dipinjamkan ke Manchester City. Jangan heran jika nanti bisa saja kita melihat Gerrard dipinjamkan ke Liverpool (mau nggak, Klopp?).

Menyeberang dari AS, di Tiongkok kompetisi dimulai dari Februari atau Maret, tergantung musim semi dimulainya kapan, dan berakhir pada November atau awal Desember (awal musim dingin). Ini juga yang membuat para pemain bisa menghabiskan liburan Natal bersama keluarganya di negara asal mereka.

***

Setelah kita membahas empat faktor utama daya tarik di atas berupa uang, bermain reguler di tim utama dan tetap bermain dominan di hari tua, hidup di kota besar yang terkenal, serta waktu kompetisi yang menguntungkan pemain; kita tentunya bisa memahami kenapa banyak pemain sepakbola, terutama yang sudah tua atau mereka yang tidak memiliki penampilan sehebat ekspektasi sebelumnya, untuk pindah ke Amerika ataupun Tiongkok.

Jangan kaget jika dalam satu dekade ke depan, jika kebiasaan ini terus berlanjut, kita bisa melihat perkembangan yang revolusioner dari sepakbola Amerika dan Tiongkok, atau bahkan Australia, India, dan Timur Tengah juga.

Efek terdekat dari perkembangan ini bahkan sudah kita lihat dari pra-musim, ketika International Champions Cup diselenggarakan di AS, Tiongkok, dan Australia. Sadar maupun tidak, ICC adalah bagian dari pemasaran AS, Tiongkok, dan Australia, untuk mempopulerkan liga sepakbola negara mereka secara tidak langsung.

Sepakbola yang terus tumbuh di negara maju dan negara berkembang, dengan didukung oleh kekuatan finansial, sederhananya akan membuat liga sepakbola mereka dan para pesepakbola di dalamnya memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang berkelanjutan.

Kemudian kembali mengingatkan, bukan hak kita untuk menghakimi mereka yang pindah ke Amerika, Tiongkok, ataupun negara lainnya. Pada akhirnya hidup itu dasarnya memang untuk memanjakan perut.

Komentar