Anderson dan Kasus Bengek di Ketinggian

Sains

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Anderson dan Kasus Bengek di Ketinggian

Jika ada satu tempat di muka bumi ini yang menjadi momok bagi para atlet olahraga, tempat tersebut ada di La Paz, Bolivia. Ibu kota Bolivia ini terletak di ketinggian 3500 mdpl, sehingga memiliki kadar oksigen di udara yang sangat tipis.

Karena itulah La Paz membuat para atlet kesulitan untuk beraksi, tidak terkecuali pemain sepakbola. Pemain sepakbola harus berlari selama 90 menit, artinya, pemain sepakbola membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak, untuk pembakaran energi di dalam tubuhnya.

Jika oksigen yang berada di udara lebih sedikit, maka secara otomatis, tubuh seorang pemain juga akan kesulitan untuk menghasilkan energi. Hal ini akan membuat pemain lebih cepat merasa lelah.

Korban terbaru untuk kasus ini adalah mantan pemain Manchester United asal Brasil, Anderson. Setelah karier yang penuh mimpi buruk di Manchester United usai, gelandang asal Brasil ini kembali ke kampung halamannya untuk bermain bagi kesebelasan Internacional.

Nyatanya, kembali ke tanah air tidak membuat penampilan Anderson membaik. Pemain yang masih berusia 26 tahun ini tetap gagal mengembalikan permainan terbaiknya di Internacional. Anderson harus memulai debutnya di Internacional dengan gagal mengeksekusi penalti yang cukup krusial bagi timnya. Internacional akhirnya harus menerima hasil imbang 0-0 pada laga tersebut.

Performa Anderson semakin dipertanyakan, setelah hanya mampu bermain selama 36 menit saat bertanding melawan klub asal Bolivia, The Strongest, di La Paz. Pada pertandingan lanjutan Copa Libertadores tersebut, Anderson tidak sanggup melanjutkan setelah setengah jam berlari di lapangan. Bahkan dia terlihat sangat terengah-engah ketika berlari ke pinggir lapangan untuk digantikan oleh Vitinho. Setelah duduk di bangku cadangan, pemain berusia 26 tahun ini terlihat kelelahan sebelum akhirnya meminta masker oksigen dari staf Internacional.



Di satu sisi, hal ini memang dapat dipahami karena pertandingan ini dilangsungkan di La Paz yang memiliki kadar oksigen sangat tipis. Jangankan Anderson, Lionel Messi dan Angel di Maria saja pernah terlebih dahulu menjadi korban saat harus bertanding di La Paz pada saat mereka membela tim nasional Argentina. Senasib dengan Anderson, Di Maria harus ditarik keluar di awal pertandingan akibat kelelahan. Sementara Messi dilaporkan sampai muntah-muntah.

Namun, tetap akan menimbulkan pertanyaan ketika pemain sepakbola profesional hanya bisa berlari selama 36 menit di lapangan. Hal ini berarti, ada yang salah dari persiapan yang dilakukan Anderson sebelum pertandingan. Karena kondisi yang tidak menguntungkan ini bukannya tidak bisa diantisipasi. Meski tidak 100%, namun beberapa persiapan dapat membuat pemain lebih terbiasa berada di kondisi minim oksigen.

Cara mensiasati ketinggian

Kondisi oksigen yang menipis membuat lingkungan di area ketinggian menjadi hypobarik. Tekanan atmosfer di area ketinggian di atas 1.500 m atau lebih akan berkurang sehingga memberikan dampak fisiologis pada tubuh manusia.

Ditambah lagi, suhu udara semakin turun dengan meningkatnya ketinggian. Udara dingin dapat menahan air sehingga udara di ketinggian menjadi lebih kering. Kedua faktor di atas akan meningkatkan kerentanan atlet terhadap gangguan dingin dan dehidrasi saat di ketinggian.

Karena atmosfer yang tipis dan kering di ketinggian, radiasi matahari lebih intens pada ketinggian yang lebih tinggi.

Pada kasus Anderson tersebut, sebenarnya bisa saja Anderson melakukan persiapan yang lebih matang sebelum pertandingan. Salah satunya adalah dengan melakukan aklimatisasi. Namun, persiapan dengan aklimatisasi ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2 pekan.

Selama dua pekan, pemain cukup berada di area ketinggian, sehingga tubuh akan secara otomatis beradaptasi menghadapi kondisi dengan oksigen yang tipis. Adaptasi tubuh akan membuat pembakaran energi dilakukan dengan lebih efisien atau dengan jumlah oksigen yang lebih sedikit. Dengan begitu, pemain akan lebih siap ketika harus berlari selama 90 menit dalam kondisi oksigen yang tipis.

Para ahli fisiologis meyakini, bahwa pemain yang tidak melakukan persiapan aklimatisasi saat bermain di ketinggian, VO2max pemain tersebut dapat berkurang hingga 60-70%. Karena itulah sebenarnya wajar saja jika Anderson langsung kelelahan hanya dalam 36 menit.

Jadwal yang padat mungkin akan menjadi alasan tidak bisanya dilakukan persiapan aklimatisasi sebelum pertandingan. Tentu saja menginapkan pemain selama 2 minggu juga akan membutuhkan biaya yang sangat besar.

Beberapa negara kaya seperti Jepang dan Jerman sudah memiliki alat sendiri untuk mengatasi kasus-kasus seperti ini. Mereka menciptakan satu ruangan yang diberi nama Hypobaric Chamber, dimana suatu ruangan yang bisa direkayasa sehingga kondisinya menyerupai area ketinggian. Dengan menyiapkan para pemain di ruangan ini, maka pemain tidak perlu jauh-jauh menginap selama 2 pekan di La Paz. Hasilnya pemain akan bisa beradaptasi menghadapi kondisi buruk akibat oksigen yang minim.

Selain aklimatisasi, terdapat satu cara lain untuk mengatasi permasalah ketinggian ini. Cara ini sempat dipraktekkan oleh Edgardo Bauza, manajer San Lorenzo, lakukan saat timnya harus bertandang ke Bolivia. Bauza memerintahkan para pemainnya untuk mengkonsumsi Viagra sebelum bertanding di La Paz menghadapi Bolivar. Meskipun belum dibuktikan secara ilmiah apakah cara ini tepat atau tidak, tapi mungkin lain kali Anderson bisa mencoba cara ini jika harus bertanding lagi di ketinggian. Cerita selengkapnya dapat Anda baca kembali di sini.

Sumber: Daily Mail, The Telegraph

Komentar