Pertaruhan Generasi Emas Kroasia dan Belgia

Piala Dunia

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pertaruhan Generasi Emas Kroasia dan Belgia

Sebagai finalis Piala Dunia 2018, Kroasia berusaha membuktikan diri bahwa prestasi yang mereka raih empat tahun lalu itu bukan sebuah kebetulan. Ambisi Kroasia untuk Piala Dunia selanjutnya pun dibuktikan sejak babak kualifikasi. Tim berjuluk Vatreni itu dengan raihan 23 poin memuncaki klasemen akhir Grup H Kualifikasi Piala Dunia 2022.

Dengan komposisi pemain senior dan pemain muda, Zlatko Dalic melatih Kroasia menjadi tim yang tetap berbahaya. Lini tengah masih menjadi andalan Dalic untuk meraih hasil maksimal dalam setiap pertandingan.

“Ketika tim Anda memiliki lini tengah seperti kami, Anda harus berusaha untuk menggerakkan bola dan menciptakan peluang melalui penguasaan bola. Kami harus bermain dari belakang dan ketika gelandang tidak harus turun ke dalam untuk mendapatkan bola, kami lebih akan lebih berbahaya. Kami akan menekan jika memungkinkan, dan jika tidak, kami akan bertahan dalam satu blok,” beber Dalic seperti dilansir dari Guardian.

Berbicara lini tengah Kroasia, maka tidak bisa lepas dari sosok Luka Modric. Meski sudah berusia 37 tahun, pemain Real Madrid itu tetap menjadi andalan lini tengah Kroasia. Ditemani Marcelo Brozovic dan Mateo Kovacic, Modric masih mampu mengorganisir lini tengah Kroasia kemampuan yang prima.

Pemain kelahiran 9 September 1985 itu sudah membela Kroasia sejak Piala Dunia 2006. Modric sudah menjalani empat Piala Eropa dan empat Piala Dunia (termasuk Piala Dunia 2022). Generasi emas Kroasia yang mencapai semi final Piala Dunia 1998 pun terpatahkan oleh generasi Modric dkk. Sebab skuad besutan Dalic ini mampu menjadi runner-up Piala Dunia 2018.

Pemain-pemain tumpuan saat itu pun masih banyak yang dibawa ke Piala Dunia 2022. Selain Modric, masih ada nama Dejan Lovren, Domagoj Vida, Ivan Perisic, dan Kovacic. Merekalah yang akan membimbing pemain-pemain muda potensial seperti Josip Stanisic, Josko Gvardiol, Luka Susic dan lainnya sehingga menjadi generasi emas yang baru.

Pemain-pemain muda itu lahir dari sistem pembinaan yang disusun oleh Federasi Sepakbola Kroasia (HNS). Selain mengalokasikan anggaran sebesar 2 juta euro tiap tahun untuk mengembangkan pembinaan usia dini, HNS juga membuat peraturan, bahwa di level U-12, setiap tim hanya diperkuat enam sampai delapan pemain dan mereka bermain di lapangan yang ukurannya disesuaikan dengan umur mereka. Hal tersebut untuk memancing kreativitas para pemain.

“Kreativitas adalah yang terpenting. Kami selalu mengajari mereka untuk menjadi kreatif. Mereka akan tahu cara menembak, memainkan satu sentuhan, dan menggiring bola. Tetapi pilihan-pilihan diserahkan kepada mereka,” ujar Martin Novoselac, mantan kepala pembinaan usia muda Kroasia, dilansir dari The Guardian.

Membenarkan Pernyataan Kevin de Bruyne

Ketika Kroasia sedang berupaya menciptakan generasi baru, berbeda hal dengan Belgia. Belgia sempat mengalami generasi emas yang sudah muncul sejak Piala Dunia 2014 Brasil. Sudah delapan tahun lewat, sebagian generasi emas itu masih menjadi andalan bagi skuad besutan Roberto Martinez saat ini.

Terhitung sudah empat kompetisi antar negara besar seperti Piala Eropa dan Piala Dunia dijalani generasi emas Belgia sejauh ini. Namun Belgia hanya memberikan kejutan di setiap kompetisinya tersebut. Rasanya agak membenarkan pernyataan Kevin de Bruyne yang menganggap bahwa Belgia tidak mungkin menjadi juara Piala Dunia 2022.

“Tidak mungkin Belgia menjuarai Piala Dunia 2022. Kita sudah terlalu tua. Saya pikir peluang terbaik kami adalah Piala Dunia 2018. Sekarang kami memiliki tim bagus, tapi kami sudah menua. Kami kehilangan beberapa pemain kunci. Kami punya beberapa pemain bagus yang masuk ke skuad, tetapi mereka tidak berada di level yang sama dengan pemain-pemain dari Skuad 2018,” ujar de Bruyne kepada The Guardian.

Kapten Belgia itu sendiri sudah berumur 31 tahun saat ini. Selain De Bruyne, ada tujuh pemain yang berusia di atas 30 tahun di skuad Belgia pada Piala Dunia saat ini.

Diantaranya adalah Axel Witsel (33), Dries Mertens (35), Eden Hazard (31), Jan Vertonghen (35), Simon Mignolet (34), Toby Alderweireld (33), Thomas Meunier (31). Pemain-pemain tersebut rajin masuk skuad Belgia sejak Piala Dunia 2014 sampai Piala Eropa 2020.

Merujuk Statista, rataan umur skuad Belgia menjadi yang tertua keempat di Piala Dunia 2022 dengan rataan 27,8 tahun. Sementara skuad Kroasia di Piala Dunia saat ini berada di peringkat 11 skuad tertua dengan rataan 27,4 tahun.

Ketika melawan Maroko pada pertandingan Grup F Piala Dunia 2022, hanya lima pemain yang berusia di bawah 30 tahun berada di 11 pertama. Itu pun Michy Batshuayi dengan Thorgan Hazard sudah berusia 29 tahun. Hanya ada satu pemain yang berusia di bawah 23 tahun, yakni Amadou Onana (21 tahun).

Artinya, De Bruyne memang tidak keliru ketika menyatakan bahwa Belgia sudah tidak berada di level yang sama seperti Piala Dunia 2018. Sebab wajah-wajah baru Belgia seperti Onana, Jeremy Doku, Charles De Ketelaere, dan Leandro Trossard, belum berada di level De Bruyne dkk pada 2018. Buktinya, nama-nama tersebut kecuali Onana, masih belum mendapatkan kesempatan lebih di skuad utama bahkan sejak Piala Eropa 2020.

Kekalahan dari Maroko menjadi sebuah sinyal bahwa Belgia harus segera meremajakan skuad yang mereka punya untuk menghadapi Piala Eropa 2024 dan Piala Dunia 2026. Peremajaan itu tampaknya tidak terlalu susah lantaran Belgia mempunyai sistem pembinaan yang sudah diterapkan sejak awal 2000. Sosok di balik terciptanya sistem pembinaan sepakbola di Belgia adalah Michel Sablon.

Sablon yang pernah menjadi asisten pelatih Belgia pada 1990, merumuskan sebuah cetak biru pembinaan sepakbola Belgia setelah tampil buruk di Piala Eropa 2000. Waktu itu, Belgia tidak lolos dari fase grup meskipun berstatus sebagai tuan rumah. Kemudian cetak biru yang selesai pada 2006 itu berisi mewajibkan setiap akademi memakai formasi 4-3-3.

“Kami kemudian yakin bahwa 4-3-3 akan menjadi lingkungan terbaik untuk dipelajari para pemain kami. Kami pun beranggapan bahwa kami perlu mengembangkan lagi dribbling skills, karena jantung dari visi kami adalah unggul dalam situasi satu lawan satu. Anak lelaki atau perempuan yang ingin bermain bola, mereka harus diberikan dulu kebebasan dalam menggiring bola,” ujar Bob Browaeys, salah satu pelatih yang ikut menyusun cetak biru sepakbola Belgia kepada Guardian.

Kemudian, Sablon meminta setiap akademi tidak berorientasi kepada kemenangan. Dampaknya adalah tidak ada kompetisi kelompok umur yang menggunakan sistem klasemen. Sistem ini sangat efektif untuk menambah jam terbang dan pengalaman bertanding pemain-pemain akademi. Sablon pun mencontohkan Vincent Kompany sebagai representasi pemain yang tidak mengalami penurunan level.

“Vincent Kompany kalau tidak salah dia bermain dua kali untuk timnas U-19, tiga kali untuk timnas U-21, setelah itu ia bermain untuk timnas senior. Kami tidak memanggilnya untuk timnas U-19 atau U-21 saat menghadapi tim besar ketika ia sudah di timnas senior atau satu level di atasnya meski usianya masih memungkinkan. Sekali mereka naik level, mereka harus meningkatkan diri untuk menyesuaikan dengan level tersebut, bukannya diturunkan,” ujar Sablon pada BBC.

***

Kroasia tampaknya lebih siap di pertandingan nanti. Selain mereka berada di puncak klasemen grup F dengan raihan empat poin, Vatreni perlahan mampu meremajakan skuad mereka dengan hadirnya pemain-pemain muda dalam skuad. Apabila Belgia takluk di pertandingan nanti, maka sudah selayaknya Belgia mulai meremajakan skuad mereka.

Komentar