Enner Valencia: Dari Memerah Sapi Hingga Top Skorer Copa Sudamericana

Piala Dunia

by redaksi

Enner Valencia: Dari Memerah Sapi Hingga Top Skorer Copa Sudamericana

Tak bisa ditampik lagi, manakala kita berbicara tentang Ekuador, kita akan membicarakan satu nama,  Enner Valencia. Nama belakangnya memang sama dengan gelandang Manchester United yang permainannya tak bagus-bagus amat itu, Antonio Valencia.  Meski begitu, mereka berdua, sebenarnya, tak punya hubungan darah. Berbicara soal penampilan dan kontribusi untuk Ekuador, sejauh ini, jelas, Enner lebih baik dan lebih banyak berkontribusi ketimbang Antonio.

Lantas, siapakah Enner Valencia itu? Enner Valencia hanyalah seorang pemuda kampung. Ia berasal dari Ricaurte. Kota kecil yang justru lbh dekat  ke Kolombia, daripada ke Guayaquil, kota terbesar di Ekuador, ataupun ke Quito, ibukota Ekuador.

Sejak kecil, Enner sangat mencintai sepakbola. Namun, karena lahir dari keluarga miskin, ia tak pernah mampu membeli sepasang sepatu bola. Untuk membiayai sekolahnya saja, ia harus membantu ayahnya berjualan susu perah.

“Saat ia (Enner) pulang dari sekolah, ia selalu melakukan tugasnya dengan baik. Memerah susu, mengganti pakan sapi, dan menjual susu perahan. Ia juga jarang makan siang setelah melakukan pekerjaan itu, karena ia langsung menuju lapangan dan bermain sepakbola,” aku ayah Enner pada suatu sesi wawancara di Ekuador, belum lama ini.

Melihat perjuangan Enner, ayahnya pun kemudian membelikannya sepasang sepatu bola. Tak hanya sepatu, ayah Enner juga memberi anaknya sebuah bola. Namun bola pemberian ayah Enner itu bukanlah bola konvensional, lantaran bola pemberian itu hanyalah sebuah buntalan kain yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bola.

Meski berlatih dengan piranti sederhana dan seadanya, Enner muda tetap terlihat menonjol jika dibandingkan dengan anak seusianya. Hal inilah yang kemudian membuat Caribe Junior, klub divisi dua Ekuador, tertarik dan menimangnya.

Di Caribe Junior, klub yang membesarkan Antonio Valencia juga, bakat Enner semakin terasah. Hingga pada suatu waktu, Enner memberanikan diri untuk mengikuti seleksi di Barcelona Sporting Club, klub terbaik yang ada di Ekuador. Namun, Barcelona menampik Enner. Idolo del Astillero, julukan Barcelona, lebih memilih untuk membeli pemain “jadi” ketimbang memakai jasa pemain lokal.

Penolakan Barcelona tersebut sangat mengguncang hati Enner. Ia sempat tak mau lagi berlatih bola lantaran hal itu. Untungnya, Jorge Sampaoli, yang saat itu melatih Emelec, berhasil mengendus bakat Enner, kemudian merekrutnya.

Tak butuh waktu lama bagi Enner untuk bisa menembus skuat utama Emelec. Ia hanya butuh dua tahun saja. Pasalnya, pada tahun 2010, ia dipanggil Sampaoli untuk memperkuat skuat inti.

Memang, Enner tak bisa berlama-lama dengan Sampaoli. Lantaran di akhir musim 2010, sang pelatih hijrah ke Universidad de Chile. Tapi, setelah ditinggal pelatih asal Argentina itu, karir Enner semakin membaik.

Pada tahun 2013, ia berhasil membantu Emelec memenangi Serie-A Ekuador. Merebut tahta juara dari Barcelona, klub yang dahulu sempat menolaknya. Selain itu, ia juga menjadi top skor liga dan Copa Sudamericana pada tahun yang sama.

Hal itulah yang membuat Reinaldo Rueda, pelatih timnas Ekuador, memanggilnya untuk memperkuat La Tricolor. Di timnas senior, Enner sebenarnya tak bermain di posisi naturalnya, sebagai wingger.  Ia diplot sebagai striker oleh Rueda.  Mengingat striker mereka, Christian Benitez, meninggal dunia akibat terkena serangan jantung.

Dan ternyata, pilihan Rueda itu benar adanya. Pemain berusia 25 tahun ini selalu mencetak gol dalam enam laga terakhirnya. Di Brasil Enner sudah mencetak tiga gol, satu gol ke gawang Swiss dan dua gol lainnya ke gawang Honduras.

Ya, meski sudah menjadi terkenal dan diidolai oleh banyak orang, Enner tak pernah lupa dengan kampung halamannya. Sejak ia punya gaji besar, ia tak pernah lupa menyisihkan gajinya itu, untuk membantu anak-anak di kampung halamannya, Riacute. Ia selalu menyumbangkan sepatu bola, jersey, dan bola untuk anak-anak Riacute. Karena ia tak mau, anak-anak di kota terpencil itu, mengalami nasib yang serupa dengannya. Harus bersusah payah agar bisa bermain bola.

(mul)

Komentar