Nostalgia Para Penyerang-penyerang yang (Kalah) Tajam

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Nostalgia Para Penyerang-penyerang yang (Kalah) Tajam

Karya Yullianto Lin

Tahun 2008 menjadi momen penting bagi sejarah lini depan sepak bola, setidaknya di Eropa. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Sepatu Emas Eropa diraih seorang pemain yang posisinya bukan merupakan penyerang murni. Nomor 7 terbaru Manchester United saat itu, Cristiano Ronaldo, berhasil mengalahkan para striker Eropa dalam perburuan sepatu emas dengan mengumpulkan total 31 gol. Sejak saat itu, tren mesin gol di Eropa pun seakan mulai bergeser.

Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, hingga Arjen Robben adalah nama-nama pemain yang produktif  mencetak gol walau karir mereka bermula di posisi sayap. Nama-nama itu, khususnya dua nama pertama, bahkan tumpuan utama mendulang gol di kesebelasannya masing-masing.

Meskipun ada periode di mana Messi berposisi sebagai false nine, tapi tak kalah sering Messi memulai pertandingan dari posisi sayap guna mengakomodasi taktik Barcelona yang memang punya kemegahan skuat. Seperti musim lalu ia lakoni guna memberikan ruang bagi Luis Suarez sebagai penyerang tengah. Perolehan gol Messi memang berkurang, tapi tetap dari posisinya ia merupakan sumber gol utama bagi Barcelona.

Penyerang-penyerang murni kemudian menjadi peran yang seakan turun pamornya -- setidaknya dalam urusan mencetak gol. Tidak ada lagi penyerang secemerlang Ronaldo Luiz, Thierry Henry, atau Ruud Van Nistelrooy yang dulu kerap menjadi idola anak kecil di tiap kompleks perumahan. Bahkan Falcao, yang amat buas (sebelum keran golnya macet karena cedera), pun tidak mampu melanjutkan estafet keganasan para striker pendahulunya. Ia gagal melampaui perolehan gol Ronaldo dan Messi.

Pola permainan sepak bola yang berubah secara tidak langsung turut andil dalam pergeseran tren mesin gol ini (selain anomali Ronaldo dan Messi tentunya). Kebiasaan penyerang tengah yang selalu dijaga ketat oleh barisan pertahanan lawan memaksa pelatih mencari solusi untuk tetap mampu menghasilkan gol dalam tiap pertandingan. Dan fokus bek tengah menjaga penyerang murni itulah yang dijadikan pijakan lahirnya winger-winger produktif.

Juga tren perkembangan formasi yang belakangan makin jarang memasang dua penyerang tengah. Duet kembar ala Andy Cole atau Dwight Yorke di Man United, Alan Shearer dan Chris Sutton di Blackburn Rovers, atau Romario-Bebeto di timnas Brazil pada Piala Dunia 1994 kini jarang terlihat lagi merongrong kotak penalti lawan. Sangat jamak seorang penyerang bermain sendiri di depan, diapit dua winger yang getol melakukan cutting inside. Jika pun ada dua penyerang yang dipasang, amat biasa salah satunya bermain lebih ke dalam atau melebar.

Peran penyerang tengah pun semakin berkembang. Seringkali mereka berperan jauh lebih ke dalam bahkan sampai ke lapangan tengah. Peran deep lying centre forward ataupun false nine seakan menjadi peran yang harus mulai dipelajari para striker modern. Tidak ketinggalan juga, peran macam defensive forward yang apik dilakoni oleh striker macam Luiz Adriano. Bertahan sejak garis depan dan menekan penguasaan bola lawan sejak dikuasai pemain bertahan lawan, bahkan kiper.

Mengalihkan fokus bek lawan, mengganggu penguasaan bola di sepertiga daerah pertahanan lawan hingga memancing bek lawan keluar dari sarangnya seakan menjadi tanggung jawab yang lebih penting bagi striker modern daripada mencetak gol itu sendiri. Praktis kerja striker-striker modern inilah yang berandil besar dalam memudahkan inverted winger maupun inside forward mengeksploitasi ruang kosong dan menciptakan gol. Ironisnya, kelahiran winger produktif membuat kebanyakan fans tidak merindukan striker haus gol yang mereka miliki di waktu lampau.

Memang tidak fair apabila menilai peran seorang pemain hanya dari jumlah golnya. Namun,  tidak dapat dipungkiri gol adalah indikator utama -- setidaknya bagi masyarakat awam-- guna menilai seorang penyerang “jago” atau tidak. Bagi saya yang tumbuh di era striker-striker macam Hernan Crespo, Gabriel Batistuta maupun Alan Shearer, melihat peran-peran striker modern bukanlah sesuatu yang cukup mengenakkan.

Sebenarnya peran striker sebagai pengalih fokus pertahanan lawan bukan hal baru di dunia sepak bola. Layaknya sejarah yang kerap “mengulang” cerita, peran seperti ini sudah ada sejak tahun 1950-an yang dimulai oleh Peter Palotas di timnas Hungaria.

Peter Palotas yang waktu itu mengenakan nomer punggung 9 justru bermain tidak selayaknya seorang nomer 9. Berposisi jauh lebih ke dalam sampai ke area midfield, tugas Palotas adalah menerima operan dari lini pertahanan dan dengan sederhana menyuplai bola ke winger dan inside forward. Sambil terus menarik bek lawan maju semakin jauh, Palotas menciptakan banyak ruang kosong untuk Puskas, Kocsis dan Czibor. Palotas tahu bahwa bukan shooting lemahnya yang akan berguna bagi tim, tapi operan-operan akuratnyalah yang niscaya bermanfaat.

Peran Palotas kemudian tergantikan oleh Nandor Hidegkuti. Bermain lebih ke dalam daripada Palotas, Hidegkuti lebih menyerupai gelandang serang daripada penyerang tengah. Bahkan, dengan visi yang lebih baik dan kemampuan berlari menenmbus pertahanan dan mencetak gol sendiri, Hidegkuti membawa Hungaria menyadarkan Inggris dari kejumawaannya dengan mengalahkan mereka 3-6 di Wembley.

Mungkin memang sudah saatnya penikmat sepak bola berhenti menilai seorang penyerang tengah hanya dari jumlah koleksi golnya saja. Berhenti bernostalgia dengan peran striker tradisional yang hanya bertugas sebagai mesin gol dan merajai klasemen top skorer. Toh, terbukti, banyak peran yang bisa dilakukan penyerang tengah demi keuntungan tim selain “hanya” mencetak gol.

Walau kadang saya berandai-andai, bagaimana jika "anomali" macam Cristiano Ronaldo atau Messi kita tempatkan saja sebagai penyerang tengah ketimbang inverted winger? Akankah jumlah golnya lebih fenomenal? Ah, maaf saya mulai lagi.

Penulis adalah peserta kelas menulis di #PanditCamp gelombang ketiga. Akun twitter: @liantlin.

Komentar