Membangun Sepakbola dengan Jalur Kereta

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Membangun Sepakbola dengan Jalur Kereta

Ditulis oleh Evan Edgar Simon

Berkat rencana proyek pembangunan jalur kereta api antar provinsi di berbagai pulau, mendukung tim kesayangan pada laga tandang bisa lebih mudah bagi penggemar sepakbola tanah air.

Dave Russel, dalam bukunya yang berjudul Football and The English: A Social History of Association Football in England menceritakan bagaimana kereta api membantu sepak bola Inggris berkembang.

Awalnya, penggemar sepakbola, yang rata-rata berasal dari kelas pekerja, kesulitan untuk datang ke stadion karena jarak yang jauh. Terlebih, ketika itu mereka masih harus bekerja di hari Sabtu. Sekalipun ada yang hanya bekerja setengah hari, nyatanya mereka tidak memiliki cukup waktu untuk datang ke stadion akibat keterbatasan transportasi.

Barulah setelah kereta api sebagai transportasi yang murah dan cepat hadir di awal abad ke-20, jumlah penonton sepakbola di stadion-stadion Inggris meningkat pesat. Pada final Piala FA tahun 1901 antara Tottenham Hotspur vs Sheffield United, lebih dari 140.000 penonton memenuhi stadion Crystal Palace. Diperkirakan para penonton datang melalui London & Brighton Railway dan Great Northern Railway.

Seiring berkembangnya teknologi transportasi, datang ke kandang lawan, atau yang lebih akrab di telinga dengan istilah awayday, kemudian menjadi tradisi bagi banyak penggemar sepak bola di Eropa. Motifnya bermacam-macam, ada yang karena memang ingin memberi dukungan, hanya sekadar ikut memeriahkan suasana, hingga demi adu pukul dengan penggemar tim lawan. Apapun itu, mereka percaya ada sensasi tersendiri ketika menjadi yang minoritas di tribun stadion.

Di Indonesia sendiri, fenomena awayday masih belum (atau bahkan sangat jarang) terealisasi dalam skala nasional. Bagi fan sepakbola yang berdomisili di Pulau Jawa, barangkali melakukan perjalanan tandang tidaklah susah-susah amat karena keberadaan kereta api antar provinsi.

Tradisi awayday di Pulau Jawa sebenarnya telah tercatat sejak tahun 1930-an. Di kala itu, suporter Persis Solo, PSIM Yogyakarta, dan Persib Bandung sudah gemar menemani timnya masing-masing bertandang via kereta api.

Sementara, bagi para fan sepakbola yang di luar Pulau Jawa tentu akan jauh lebih kesulitan karena belum adanya kereta api antar provinsi. Tetapi, ada setitik prospek cerah bahwa kedepannya mereka akan lebih mudah menemani tim kesayangan bertandang.

Pada tanggal 21 Agustus 2015, Presiden Joko Widodo rencananya akan meresmikan pembantalan jalur kereta api trans-Sulawesi ruas Makassar-Parepare. Ini adalah sebuah langkah awal untuk merealisasikan proyek kereta api antar provinsi di Sulawesi yang bakal membentang dari Manado hingga Watampone (melewati Bitung, Goronatol, Isimu, Palu, Mamuju, Parepare, dan Makassar).

Selain Sulawesi, nantinya Kalimantan, Sumatera, dan bahkan Papua juga bakal memiliki kereta api yang melewati berbagai provinsi di pulau-pulau tersebut.

Namun demikian, sebelum tercebur dalam lingkaran kesalahan, ada baiknya kita belajar dahulu dari permasalahan yang meliputi awayday di Eropa.

Pertama, kemudahan dan kenyamanan akses . Meski tidak terlalu terekspos, kurangnya akses yang mudah untuk mencapai stadion juga dirasakan oleh para penggemar di Eropa.

Kedua, penyesuaian jadwal pertandingan oleh PT. Liga. Di Eropa, terkadang pertandingan baru berakhir setelah angkutan umum tidak lagi beroperasi. Hal ini jelas dikeluhkan oleh fans tandang yang mengandalkan moda transportasi publik. Maka, penjadwalan harus dilakukan dengan seksama dan seadil mungkin.

Ketiga, harga tiket terjangkau untuk fan tandang. Belum lama ini, Guardian melaporkan sekumpulan fan seluruh klub liga Inggris meminta agar Premier League memaksa klub menurunkan harga tiket bagi pendukung tim tandang. Tingginya harga tiket dirasa terlalu memberatkan, apalagi jika ditotal dengan uang yang mereka keluarkan untuk akomodasi.

Keempat, masalah keamanan. Sudah bukan cerita baru perkelahian antar suporter terjadi. Sayangnya, di Indonesia pihak kepolisian terkesan mencari aman. Bukannya mencari ide untuk mengamankan kelompok fan tandang, yang sering terjadi malah mereka dilarang untuk datang. Maka, sudah saatnya pihak keamanan benar-benar bekerja.

Kelima, sikap baik suporter. Seperti yang kita tahu, ‘malasnya’ pihak keamanan dalam memberi pengamanan bagi fan tandang didasari oleh kebrutalan fan tandang itu sendiri. Tak hanya infrastruktur stadion dan sekitarnya, terkadang moda transportasi yang mengangkut merekapun jadi korban. Belum lagi sikap tidak menghormati warga lokal tempat bertandang.

Baca juga

Menjadi Suporter di Tanah Rantau



Untuk bisa merealisasikan kelima poin di atas memang tidak mudah. Baik penyelenggara liga, klub, kelompok suporter, maupun pemerintah daerah harus bisa bersinergi agar budaya awayday di Indonesia nantinya lebih berdampak positif.

Disadari atau tidak, awayday bukan hanya perihal kesenangan menonton bola semata. Ini juga tentang pemasukan bagi klub tuan rumah, transfer budaya, dan tak ketinggalan memberi petugas keamanan pekerjaan riil (baca: bubble matches).

Mungkin, ada beberapa dari kita yang tetap skeptis bahwa meski dengan adanya kereta api antar provinsi, Indonesia tetaplah terlalu luas untuk bisa menjalani awayday dengan efisien. Tetapi, bukankah banyak orang mengatakan bahwa langkah besar diawali dengan langkah kecil? Proyek pembangunan ini bisa menjadi langkah kecil untuk sebuah mimpi besar, yakni kemajuan sepakbola Indonesia.

Daripada kita merencanakan untuk pulang-pergi dari satu pulau ke pulau lain di hari yang sama dengan ongkos yang terjangkau bagi kalangan pekerja, ada baiknya kita ciptakan dulu budaya awayday antar provinsi. Diharapkan, budaya tersebut dapat membuat sponsor jatuh hati kepada pasar Liga Indonesia. Jika sudah demikian, industri sepak bola yang maju lebih berpeluang tercipta.

Tulisan ini merupakan tugas materi pengamatan langsung Pandit Camp II, penulis bisa dihubungi lewat akun Twitter @eeepan.

Komentar