Saat Esport dan Sepakbola Saling Bercermin Satu Sama Lain

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Saat Esport dan Sepakbola Saling Bercermin Satu Sama Lain

Ditulis oleh Evan Edgar Simon

Meski sempat dilanda kasus pengaturan skor dan penggunaan doping, olahraga elektronik (esports) yang kerap dipandang sebelah mata sesungguhnya memiliki potensi menyaingi popularitas sepakbola. Jangan heran juga jika penyakit-penyakit dalam sepakbola, seperti match fixing sekali pun, juga muncul dalam permainan gim online. Ini serius.

Dari yang awalnya hanya dilihat sebagai hiburan, kini bermain gim dapat dianggap sebagai sebuah sumber mata pencaharian. Dibantu keberadaan akses internet, gim online berkembang pesat di seluruh penjuru dunia. Hingga, di akhir abad ke-20, banyak orang bahkan mulai mengklasifikasikan gim online sebagai olahraga.

Salah satu gim esports yang paling berkembang pesat dewasa ini adalah League of Legends (LoL), sebuah gim online bergenre pertempuran multiplayer arena online (atau lazim dikenal dengan nama MOBA) yang pada tahun 2014 sukses menjual habis seluruh tiket final kejuaraan dunia yang bertempat di Stadion Sangam, Korea Selatan.

Seperti yang dikutip dari Forbes pada tahun 2014 silam, LoL dimainkan oleh sedikitnya 67 juta pemain per bulannya di seluruh dunia. Sementara, pada tahun 2013 saja, Riot (penerbit gim LoL) diprediksi mengantongi pemasukan hingga 624 juta US Dollar.

Melihat begitu banyaknya uang yang mengalir di industri esports, jelas hal ini juga memberikan dampak kepada penghasilan para pemain. “Pemain profesional pada umumnya sekarang mendapatkan upah bernominal enam digit angka, dengan pendapatan tertinggi hingga satu juta dollar,” tutur Ali Moiz, salah satu pelaku esports kepada Telegraph.

Para pemain profesional juga akan mendapatkan ketenaran apabila berhasil menjadi salah satu yang terbaik di gim yang Ia geluti. Sosoknya akan didekati oleh berbagai macam sponsor. Wajahnya akan terpampang di sampul majalah. Tanda tangannya akan diburu untuk ‘melegalisir’ atribut dukungan. Namanya akan dinyanyikan oleh para penggemar.

Naas, ketatnya persaingan dan tingginya tekanan terkadang membuat orang tidak lagi bisa mengambil langkah secara perlahan demi kesuksesan.

Sebagai contoh, pada tahun 2014 seorang pemain gim profesional asal Korea, Cheon Min Ki, melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari lantai 12 apartemennya. Ki bertindak nekat karena tidak tahan dengan tekanan mental yang Ia alami setelah Ia dan timnya dipaksa oleh pelatihnya untuk mengalah dalam beberapa pertandingan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata sang pelatih yang bernama No Dae Chul terlibat dalam pengaturan skor dan judi gim online.

Permasalahan di dunia esports juga meliputi penyalahgunaan obat. Beberapa obat penenang seperti Propanol dan Valium konon kerap digunakan para pemain profesional untuk mengurangi tekanan. Bahkan bulan lalu, kepada Engadget.com, seorang pemain profesional mengklaim bahwa seluruh pemain  di liga gim yang Ia ikuti menggunakan Adderall untuk meningkatkan konsentrasi dan reflek secara signifikan.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di genre gim esports lain seperti strategi, pertarungan, dan tembak-menembak orang pertama.

Mencoba Berkaca pada Sepak Bola

Laiknya fenomena-fenomena yang ada di industri esports, fenomena yang sama juga terjadi di dunia sepakbola.

Tentang bagaimana kita mengikuti selebrasi khas Tim Cahill, mengeksekusi tendangan bebas ala Roberto Carlos, hingga berdandan menyerupai David Beckham bukan lagi sebuah ketabuan untuk dilakukan. Keramahan Lionel Messi, kemurahan hati Cristiano Ronaldo, ataupun keeksentrikan Neymar adalah sikap yang mungkin ingin kita tiru.

Dalam beberapa kasus, bagaimana pemain bersikap di luar lapangan juga akan turut mempengaruhi popularitas dan imej sang pemain. John Terry, dengan segala kemampuannya, adalah salah satu contoh korban bagaimana pemain sepakbola disarankan untuk tidak (ketahuan ketika) bersikap di luar batas yang telah ditetapkan masyarakat.

Lalu, kita juga tentu masih ingat dengan kasus pengaturan skor yang membuat Juventus harus terdegradasi ke Serie B serta hasil tes doping Adrian Mutu yang menyatakan sang bintang positif menggunakan kokain.

Ketika saya mencoba memahami industri esports, saya tidak bisa membohongi diri bahwa apa yang saya pelajari ternyata tidak jauh dengan industri sepak bola dewasa ini.

Bukankah perputaran uang yang begitu masif merupakan salah satu identitas utama sepakbola modern? Bukankah pelaksanaan liga yang kompeten jadi tolak ukur kemajuan sepakbola? Bukankah pesepakbola sekarang dituntut untuk bisa menjadi figur publik atas dasar popularitasnya? Bukankah isu doping dan pengaturan skor masih menjadi salah satu musuh utama sepakbola?

Saya dapat memahami jika banyak dari kita yang masih terlalu angkuh untuk mengingat bahwa pada awal perkembangannya di Inggris, sepakbola tidak dianggap sebagai olahraga, melainkan pekerjaan setan yang dilarang Tuhan.

Saya dapat memahami jika banyak dari kita yang mungkin tidak menyadari bahwa sepakbola yang sekarang kita kenal telah melewati berbagai proses sejak tiga abad sebelum kalender Masehi ditemukan, bukan hanya dalam puluhan tahun. Saya dapat memahami jika banyak dari kita yang barangkali melupakan bahwa sejatinya sepakbola hanyalah sebuah permainan menendang bola, tanpa urusan popularitas, uang, apalagi politik.

Namun, mungkin sudah saatnya bagi saya dan Anda untuk mau mulai berendah hati menerima esports sebagai saudara jauh dari sepakbola. Karena, bukan tidak mungkin suatu hari nanti kedua saudara itu akhirnya bersaing di puncak popularitas dunia.

Tulisan ini merupakan tugas materi pengamatan langsung Pandit Camp II, penulis bisa dihubungi lewat akun Twitter @eeepan.

Baca juga cerita lainnya dari video game di sini

Komentar