Siapa yang Paling Menderita dari Kapitalisme Sepakbola?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Siapa yang Paling Menderita dari Kapitalisme Sepakbola?

Oleh: Muhammad Hafizhuddin*

Bagi kebanyakan orang, kapitalisme adalah wujud paham yang buruk. Bentuk-bentuk perbudakan yang ada di bumi ini, identik dengan kaum kapitalis. Ruang publik beranggapan bahwa kapitalis selalu berorientasikan pada penindasan, inhumanis, tidak adil, dan cuma meraup keuntungan sendiri. Pokoknya, rakus lah. Namun tetap saja, baik atau buruk, sikap kapitalis sulit terlepas dari kehidupan manusia.

Di masa lalu, kapitalis dianggap sebagai komposisi untuk menjadi penguasa dunia, terutama di bidang perekonomian. Sekarang, jangkauannya lebih global: budaya, sosial, bahkan politik. Ini mengartikan bahwa kapitalis tidak serta-merta menjadikan perbudakan sebagai landasannya. Terdapat benefit bagi semua pihak yang terlibat. Tapi karena tidak mendapat bagian yang cocok, kaum buruh akan merasa tidak diperlakukan adil.

Ada juga alasan lain seperti praktik monopoli dari pihak tertentu demi keuntungan perorangan. Inilah yang memunculkan stereotip masyarakat kalau kapitalisme itu jahat. Sebuah ironi saat mengetahui seluruh kebutuhan hidup manusia padahal tidak terlepas dari kapitalisme, baik kebutuhan primer hingga sekunder. Hanya faktor kesenjangan sosial yang membatasi paham pikir sebagian golongan. Ditambah dengan rayuan zaman kepada kita, kalau hidup borjuis sudah jadi suatu tuntutan.

Kapitalisme juga berlaku di industri sepakbola. Dalam sebuah klub, banyak individu yang terlibat. Kerajaan bisnis ini sangat menjanjikan. Itulah sebabnya pengusaha di bidang lain menanamkan saham pada klub-klub sepakbola.

Pengusaha kaya raya dunia semisal Roman Abramovich atau Syekh Mansour adalah sebagian contoh pebisnis sukses dalam ranah ini. Mereka berdua juga menyulap Chelsea dan Manchester City jadi klub hebat yang dipenuhi pemain bintang. Pebisnis lokal? Ada Erick Thohir (Inter Milan dan DC United) dan Ustadz Yusuf Mansur (Lechia Gdansk), walau keduanya hanya memegang sebagian saham klub. Lantas jika mereka-mereka ini merupakan “antagonis” dalam praktik kapitalis dunia sepakbola, siapa yang paling merugi?

Seperti perusahaan pada umumnya, banyak sekali bagian-bagian yang terdapat di tubuh klub, dari mulai pemilik, hingga tukang sapu. Namun yang kita tahu, pemain dan staf kepelatihan, semacam punya jobdesk khusus. Tugas mereka lebih besar dibandingkan bidang-bidang lain. Sayangnya, tindak-tanduk kapitalisme tidak mampu menjamin kemaslahatan mereka, meskipun dari segi finansial, pekerjaan ini menjanjikan.

Lebih parah lagi di Indonesia. Banyak pemain dan pelatih hidupnya terbengkalai setelah keterlibatannya dalam sepakbola berakhir. Satu contoh paling menyedihkan ialah Alex Pulalo. Mantan gelandang hebat asli pribumi ini hidupnya berada di titik nadir setelah tidak berkarier di sepakbola. Lewati saja masalah industri bal-balan lokal, federasinya saja semrawut.

Sepakbola Eropa sering dianggap kiblatnya sepakbola. Benua yang jadi tempat lahirnya paham kapitalis ini justru lebih manusiawi memperlakukan pemainnya. Bahkan, konstitusi negara yang bersangkutan akan ikut andil dalam perkembangan pemain lokalnya. Selain itu, kendali pemantauan yang mantap terus dilakukan FIFA dan UEFA, karena landasan kapitalis yang dianut di sana benar-benar mutakhir, sehingga munculnya kesenjangan dapat diminimalisir dengan baik.

Akar dari gagalnya penyelarasan kapitalis di dunia sepakbola adalah saat pembahasan kontrak. Dalam perbincangan intens pemain dengan direksi-direksi klub, ada banyak aspek yang perlu diperhatikan kedua belah pihak. Saat seorang pemain dalam performa terbaik merasa layak untuk diapresiasi dengan kenaikan gaji, klub tidak serta merta akan mengabulkannya.

Dinamika dunia bisnis pun bermain di sini, saat datang klub lain menawari kontrak menggiurkan pada pemain tersebut. Dengan iming-iming “kaya tujuh turunan” atau karier yang mentereng, sang pemain berpotensi untuk tergoda menerima tawaran itu. Inilah yang menyebabkan inflasi besar-besaran terjadi dalam industri sepakbola. Kesebelasan “Super Power” bertanggung jawab akan hal ini. Bagi klub pemilik, tidak mudah menahan godaannya. Hingga populer istilah “pemasok” pemain bintang bagi klub-klub yang secara finansial jauh di bawah klub “adidaya”.

Pengibaratan “kaya makin kaya, miskin makin miskin” pun semakin kentara. Adanya kebijakan “Financial Fair Play” juga tidak memperbaiki situasi secara konstan. Alasannya, karena kesebelasan-kesebelasan tajir sudah ada di zona nyamannya sendiri. Perjudian yang mereka lakukan, selaras dengan hasil, meski berproses. Prestasi berarti pemasukan juga. Belum lagi pendapatan eksternal seperti penjualan tiket, merchandise, atau sponsor. Sekalipun tidak bisa, masih ada cara lain untuk memanipulasi proses transfer pemain mahal yakni lewat peminjaman dan opsi permanen di kemudian hari jika keuangan tidak sesuai dengan kualifikasi FFP.

Kalau diperhatikan, sebenarnya yang paling berisiko menjadi korban paling keji dari bisnis ini tetaplah pemain. Pelatih juga bisa, merujuk pada kerasnya persaingan di tiap-tiap kompetisi. Hanya saja kebanyakan pelatih sebelumnya berprofesi sebagai pemain. Anggap saja profesi ini salah satu alternatif “cari duit” setelah pensiun.

Pada dasarnya, klub tidak ingin ambil pusing pada karier seorang pemain sepenuhnya. Andai dalam top form boleh saja pemain di-anak-emas-kan. Jika mental sedang menurun, mau tidak mau mereka harus persiapkan Plan B: pindah. Adaptasi dengan lingkungan baru dengan karier yang masih abu-abu. Tekanan fans hingga risiko cedera dapat dengan mudah merusak psikis pemain.

Kadang kala, situasi keuangan klub yang sedang merana membuat mereka harus merelakan pemain-pemain andalannya pergi. Yang paling kejam pada pemain, tentu saat rasisme terus didendangkan hampir di setiap pertandingan sepakbola di dunia. Ini semakin mencerminkan kalau hal yang berbau kapitalis itu keji. Tidak manusiawi. Kaidah sepakbola sebagai pemersatu semua golongan seakan tidak ada artinya.

Menyoal berprofesi, pemain sebenarnya bisa mendapat peluang di manapun meski dalam situasi sudah tidak aktif bermain. Apalagi mereka-mereka yang punya karier mentereng. Tapi akan jadi masalah bagi pemain yang kurang “wah” kariernya.

Menjadi lumrah saat mengetahui pemain besar sekaliber Cristiano Ronaldo mengambil ancang-ancang bergerak di bisnis lain. Di kepalanya sudah terpikirkan kalau tidak selamanya industri ini bisa menghidupi dirinya. Sama halnya dalam pekerjaan di bidang lain, pemain tetaplah buruh buat klub. Seorang pegawai di negara kita juga tahu, uang pensiun mereka saat sudah tidak bekerja belum tentu bisa mencukupi hidup keluarganya.

Oleh karena itu, semestinya seorang pesepakbola profesional tidak menggantungkan seluruh hidupnya untuk permainan ini. Bisa membuka frenchise “Ayam Geprek Bensu” atau menjajakan basreng di sekitar area luar stadion. Atau jadi “vlogger” di Youtube. Paling tidak ada bidang lain juga yang digeluti dan tentunya menghasilkan.


*Penulis merupakan mahasiswa, bisa dihubungi lewatakun Twitter di @opportunice

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar