Gara-Gara Blackpink, Siaran Sepakbola Indonesia Bisa Saja Dilarang KPI?

PanditSharing

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Gara-Gara Blackpink, Siaran Sepakbola Indonesia Bisa Saja Dilarang KPI?

Dunia K-Pop di Indonesia bergejolak setelah munculnya petisi untuk melarang iklan Shopee yang menghadirkan Blackpink. Mayoritas dari mereka menentang petisi yang ditandatangani hingga 100 ribu orang ini. Namun penentangan ini tak berarti apa-apa setelah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung petisi ini. Selasa (11/12) kemarin, KPI mengeluarkan surat peringatan kepada 11 stasiun televisi untuk segera menghentikan penayangan iklan yang dibintangi oleh Rose, Lisa, Jennie, dan Jisoo ini.
KPI punya landasan kuat untuk melarang iklan ini, yakni berbasis pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). KPI merujuk pada SPS Bab V Pasal 9 ayat (2) terkait norma kesopanan dan kesusilaan, yang berbunyi, "Program siaran wajib berhati-hati agar tidak merugikan dan menimbulkan dampak negatif terhadap keberagaman norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh masyarakat."
Sebetulnya, KPI punya landasan lain yang lebih kuat ketimbang membahas soal norma kesopanan yang tak jelas indikatornya. KPI bisa menggunakan Bab XII soal pelarangan dan pembatasan seksualitas. Di situ, terdapat indikator jelas yang dilanggar iklan Shopee yakni menampilkan paha secara medium shot.
Penggunaan pasal karet ini sebenarnya bisa menjadi preseden buruk karena KPI akan dianggap tak paham aturan sendiri dan terkesan tebang pilih. Pilihan menghentikan siaran iklan ini dianggap dilakukan karena besarnya desakan dan sudah menjadi perbincangan di masyarakat. Padahal, ada sejumlah siaran yang jelas-jelas melanggar pedoman KPI, tapi masih tetap tayang, bahkan di jam tayang di mana anak-anak masih menonton. Program siaran tersebut adalah pertandingan sepakbola.
Memahami Aturan Siaran KPI
KPI merupakan regulator penyiaran di Indonesia. Regulator seperti KPI ini memang wajib ada karena siaran analog merupakan sumber daya terbatas. Ini membuat saluran yang digunakan oleh televisi saat ini, bukanlah milik pribadi, melainkan milik negara, sehingga menjadi kewajiban negara untuk mengontrol tayangan apa yang bisa dikonsumsi masyarakat. Untuk itu, pemerintah lewat KPI membuat aturan lewat P3SPS.
Dalam aturan P3SPS ini ada sejumlah hal yang bisa saja dilanggar oleh siaran sepakbola Liga Indonesia. Pasal-pasalnya jelas dan amat memungkinkan kalau siaran sepakbola Liga Indonesia ditegur, atau bahkan dilarang kalau masih melanggar.
Yang pertama dan biasanya paling jelas adalah nyanyian rasis dari tribun suporter. Nyanyian rasis ini jelas melanggar BAB IV SPS mengenai "Penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan" juga pada Pasal 16 SPS ayat 2 di mana siaran "tidak menampilkan makian dan kata-kata kasar".
Untuk menanggulangi hal ini, stasiun televisi biasanya mengecilkan volume atmosfer stadion. Akan tetapi, terkadang tim sound engineer tidak siap yang membuat nyanyian sara maupun makian dan kata-kata kasar bocor sehingga terdengar.
Hal kedua adalah soal berubahnya tayangan, dari yang awalnya pertandingan sepakbola menjadi tarung bebas. Perkelahian di atas lapangan yang melibatkan pemain atau penonton, terkadang memang mengasyikkan untuk disaksikan. Namun, hal ini juga melanggar aturan KPI.
Perkelahian di atas lapangan melanggar Pasal 23 SPS di mana program siaran dilarang menampilkan secara detail peristiwa tawuran juga menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia. Pihak stasiun televisi bisa menanggulanginya dengan menghentikan siaran. Namun, lagi-lagi, terkadang produser kurang tanggap sehingga aksi kekerasan terekam langsung oleh kamera.
Aturan Pembatasan Jam Tayang
Dalam P3SPS sebenarnya tidak ada aturan yang secara jelas memberikan pembatasan soal jam tayang. Namun, terdapat penggolongan program siaran yang dibagi berdasarkan lima klasifikasi: (1) P untuk pra-sekolah, (2) A untuk anak-anak, (3) R untuk remaja, (4) D untuk dewasa, (5) SU untuk khalayak di atas dua tahun.
Namun, hanya program klasifikasi P dan D saja yang secara jelas tercantum jam siarnya. Program klasifikasi P mulai dari 7-9 dan 15-18, sementara klasifikasi D mulai dari 22:00-3:00.
Berdasarkan pola pikir awam, kalau dari klasifikasi ini, sepakbola bisa masuk klasifikasi D dengan jam siar tengah malam agar tak melanggar aturan KPI. Namun, tak semudah itu Ferguso. Pasalnya, menggunakan klasifikasi D sekalipun, adegan kekerasan tetap dilarang untuk disiarkan.
Hal ini memang terbilang membingungkan. Di satu sisi, siaran tinju kerap disiarkan langsung pukul 9 pagi karena menyesuaikan waktu di Las Vegas. Hal ini seperti tak pernah menjadi soal, padahal semestinya pertandingan tinju masuk klasifikasi D. Hal ini yang dilakukan oleh I-News yang menyiarkan pertandingan UFC pada pukul 1:00 WIB. Apakah ini berarti siaran aman? Tentu tak semudah itu, Kuncoro.
Pada 23 Mei 2017, KPI mengeluarkan peringatan untuk siaran UFC karena dianggap tidak memerhatikan ketentuan tentang larangan adegan kekerasan. Yang dimaksud oleh KPI adalah tayangan berdarah-darah dari petarung yang mana ini berpotensi melanggar Pasal 23 huruf b dan c SPS KPI Tahun 2012 tentang larangan program siaran menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah dan tindakan sadis terhadap manusia.
Bingung? Yang jauh lebih membingungkan, kalau program UFC saja diberikan peringatan, kita sebagai penonton sepakbola jelas beruntung, karena jarang mendengar berita siaran sepakbola mendapatkan teguran.
Begini, siaran tinju atau tarung bebas memang menampilkan adegan kekerasan. Namun, karena dibalut dengan konsep olahraga, ada sejumlah indikator, di mana kekerasan tersebut bukanlah sesuatu yang ilegal di mata hukum. Kalau Anda memukul orang di jalan, Anda berpeluang masuk penjara, tapi tidak kalau Anda bertarung di ring dalam pertandingan yang jelas.
Konsekuensi dari baku pukul ini adalah luka pada bagian tubuh atau wajah. Ini berarti luka-luka tersebut merupakan konsekuensi dari atlet olahraga tersebut. Kalau di sepakbola barangkali sama kejadiannya ketika bek melakukan tekel, dan kaki si pemain patah. Secara normal, mematahkan kaki pemain lawan tak akan membuat si bek dipenjara, karena itu merupakan risiko pekerjaan. Hukuman lebih lanjut biasanya diberikan oleh federasi maupun pengelola liga.
Konsekuensi ini yang tidak dilihat oleh KPI. Dari kasus peneguran UFC, kita bisa melihat kalau KPI tidak melihat gambaran utuh dari siaran olahraga itu sendiri. Berdarah-darah dalam pertandingan tinju atau tarung bebas adalah konsekuensi atlet, yang mana hal tersebut amat mungkin muncul dalam siaran. Lagipula, bukankah pertandingan UFC tersebut disiarkan pada tengah malam?
Nah, di sinilah bahayanya apabila pertandingan sepakbola Liga Indonesia tidak berbenah. Pasalnya, dalam P3SPS tidak dijelaskan secara rinci mengenai siaran olahraga. Bahkan, dalam klasifikasi siaran untuk penonton dewasa sekalipun, adegan kekerasan tetap tidak diperbolehkan (atau belum diatur). Pasalnya, yang diatur adalah program bincang-bincang seks, promo program adegan kekerasan, rokok, dan minuman beralkohol, perjudian, mistis, horor, dan supranatural, serta iklan rokok.
Ini artinya, jangankan adegan kekerasan atau nyanyian rasial yang disengaja, pesepakbola yang patah kaki saja berpotensi untuk mendapatkan teguran apabila disiarkan. Padahal, seperti dijabarkan di atas, patah kaki bisa jadi merupakan risiko pesepakbola.
Mari Petisi KPI
Berawal dari iklan Shopee yang begitu mudah dihentikan oleh KPI, bukan tidak mungkin hal serupa juga akan menimpa siaran sepakbola. Misalnya suatu saat ada pihak yang memetisi dan memprotes siaran sepakbola karena melanggar "norma kesopanan", siapa yang tahu akan dihentikan, bukan?
Untuk itu, sebagai langkah pencegahan, mari kita petisi KPI untuk membuat regulasi soal siaran olahraga, apa saja yang boleh dan tidak boleh. Tentu, dalam aturan tersebut, KPI akan mengecualikan soal nyanyian rasis.
Apabila sudah ada aturan baru soal tayangan olahraga, kini saatnya kita sebagai penonton untuk menghentikan sumpah serapah maupun kata makian di stadion. Karena meskipun bisa dikecilkan volumenya oleh stasiun televisi, tapi tak menutup kemungkinan kalau nyanyian rasis tersebut akan tetap terdengar ke pemirsa televisi.
Hal serupa juga mesti dipikirkan oleh pesepakbola untuk tak terpancing emosinya dengan menghajar lawan di atas lapangan apalagi di depan kamera televisi. Soalnya, kalau kabar ini didengar "aktivis yang tak punya televisi tapi peduli pada bangsa Indonesia", bisa-bisa siaran sepakbola Indonesia dipetisi, dan--amit-amit--dilarang penayangannya.
Tayangan sepakbola Indonesia tak mungkin dilarang karena banyak penggemarnya? Jangan senang dulu Alejandro. Kasus iklan Shopee adalah salah satunya. Bukankah penggemar K-Pop jumlahnya amatlah masif? Bahkan petisi tandingan sudah ditandatangani hingga 25 ribuan, meski sudah tak ada lagi di laman Change.org. Lantas jangan senang dulu, karena meskipun digemari banyak orang, bukan berarti sepakbola tak akan tersentuh.

Komentar