Memahami Kartu Merah Pipita, Memahami Manusia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Memahami Kartu Merah Pipita, Memahami Manusia

Oleh: Rahmat Taufik*

Mudah untuk bersimpati kepada Gonzalo Higuain setelah apa yang terjadi di San Siro Senin (12/11) lalu. Dia yang ingin membuktikan dirinya mendapati timnya kalah dengan menyakitkan. Dan yang lebih perih, barangkali bagi Higuain, dia memiliki kesempatan untuk menjadi pembeda dan dia membuangnya secara percuma.

Seperti yang diprediksikan banyak petaruh, Juve memenangi pertarungan di kandang AC Milan. Sebuah hasil yang sebenarnya biasa-biasa saja, mengingat secara jujur kita harus mengatakan Juve memang memiliki materi yang lebih baik ketimbang I Rossoneri. Ini memang periode yang buruk untuk menjadi Milanisti dan kekalahan atas Juventus seharusnya tidak terasa mengagetkan.

Masalahnya, bagi Gonzalo Higuain, laga itu terlalu personal. Masalahnya, bagi Higuain, laga ini lebih dari pertandingan sepakbola biasa.

Higuain memasuki arena pertandingan ini sebagai seorang gladiator buangan. Kita bisa melihat itu dari sorot matanya sejak kamera memperlihatkan sesi pemanasan AC Milan sebelum pertandingan dimulai. Sorot mata seorang petarung yang ingin membuktikan dia tidak pantas tersingkir dari skuat bertabur bintang Si Nyonya Tua.

Semua yang mengikuti sepakbola Eropa rasanya pasti tahu bahwa Higuain pernah menjadi bagian penting dalam skuat mahal I Bianconeri. Dia didatangkan dari Napoli dua tahun lalu, dengan biaya transfer yang memecahkan rekor di Italia. Dia manusia 90 juta euro pertama dalam sejarah sepakbola Negeri Pizza.

Dua tahun bersama Juventus, Higuain mendapat segalanya kecuali gelar Liga Champions. Dia mendapatkan kehangatan, penghormatan dari fan, rekan-rekan yang bersahabat, rasa hormat dari kawan dan lawan, dan terutama gelar juara domestik yang tak kunjung didapat dalam tiga tahun berseragam Napoli. Kita mungkin bisa mengabaikan sebagian ejekan perut buncit yang dialamatkan kepadanya, dalam masa-masa sulitnya membela panji hitam-putih Juventus.

Di Juve, Higuain pernah merasa menemukan sesuatu bernama keluarga. Kenyamanan sebuah rumah ketika dunia (media sosial terutama) menjadikannya olok-olokan dalam bentuk meme karena perutnya yang tambun. Dia berjuang bersama klub ini, memberikannya 55 gol, dua Scudetto, dan dua gelar Coppa Italia. Bagaimana pun, Higuain pernah menjadi kepingan penting dalam dominasi Juventus di kompetisi domestik, khususnya dalam dua musim terakhir di mana dia menjadi bagian dari Sang Kekasih Italia.

Namun hidup tak selalu berjalan menyenangkan. Higuain boleh menjadi pemain paling mahal yang pernah dibeli Juventus hingga beberapa bulan yang lalu. Tapi seketika peluang mendatangkan Cristiano Ronaldo datang, Juve melakukan pengorbanan. Dan seperti yang kita sama-sama telah saksikan, Higuain-lah tumbalnya.

Higuain tentu tahu ini keputusan profesional, dan sebagai seorang profesional dia semestinya tak membiarkan sisi-sisi sentimentil ini mengambil alih jalan pikirannya bersama AC Milan saat ini. Milan bukan kekasih pelarian dan dia paham untuk memberikan dirinya yang utuh dan seluruh untuk klubnya saat ini.

Dan dengan logika ini, pertandingan pertama menghadapi Juventus dalam seragam AC Milan—meski statusnya hanya pemain pinjaman—seharusnya hanya menjadi pertandingan biasa pada umumnya.

Tapi Higuain adalah manusia, bukan artificial intelligence yang tak punya ruang untuk hal-hal yang bersifat personal. Dan sifat manusiawi inilah yang membuat pertandingan ini menjadi palagan yang berbeda. Dan sekali lagi, itu terkonfirmasi dari tatapannya menjelang sepak mula pertandingan ini.

Higuain mengerti bahwa tidak kesempatan yang lebih baik baginya untuk membuktikan bahwa Juve telah melakukan kesalahan dengan melepasnya. Semua yang mengikuti sepak bola Eropa dengan baik akan paham bahwa Higuain masih salah satu nomor 9 terbaik di bawah kolong langit, dan itu sudah dibuktikan dengan 7 gol dari 13 pertandingan untuk Milan. Tapi mencetak gol ke gawang Juventus, pada kesempatan pertama sebagai pemain buangan Nyonya Tua, akan memiliki nilai dan makna yang berbeda.

Mengalahkan Juventus, jika perlu dengan skor yang telak, dengan gol yang banyak, akan menjadi pembalasan yang setimpal. Inilah ruang pembuktiannya. Inilah palagan yang ditunggu-tunggu.

Dengan latar belakang inilah, pertandingan ini menjadi sesuatu yang sangat personal, intim, dan sentimentil bagi El Pipita.

Tapi di sisi lain inilah beban terbesar Higuain dalam pertandingan ini. Beban yang menghantamnya pelan-pelan hingga dia melewatkan kesempatan penalti dan memperoleh kartu merah yang seharusnya bisa dihindari.

Higuain memang sempat menyiksa pertahanan Juventus dengan larinya yang tajam. Dengan tusukan-tusukannya yang berbahaya, dengan akselerasinya yang merepotkan, khususnya pada babak pertama. Dalam menit-menit awal pertandingan ini, Higuain tak terlihat sedikit pun sebagai ‘si gendut’ yang sering menjadi meme-meme di media sosial. Dia bahkan berkali-kali membuat Mehdi Benatia kewalahan, benar-benar kewalahan hingga melakukan kesalahan fundamental dengan menyentuh bola di dalam kotak penalti.

Ketika Higuain maju ke titik eksekusi, semua beban itu terlihat di wajahnya yang sendu. Di tatapan matanya yang nyaris kosong. Dan ketika Higuain melepaskan tendangan dengan ancang-ancang yang gontai, bola berhasil ditepis Wojciech Szczesny ke bagian luar tiang gawang.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan penalti ini. Bola menuju ke sisi dalam di sudut tiang jauh gawang. Tapi ini bukan malam Higuain dan Szczesny sedang tampil baik-baiknya. Bola melintir keluar dan kesempatan untuk menjadi pembeda terlewat secara percuma.

Dan selanjutnya, terjadilah apa yang terjadi. Performa Higuain perlahan merosot seiring penampilan Benatia—bek yang ditugaskan menempel ketat Higuain dalam laga itu—yang semakin membaik. Higuain secara perlahan menghilang dari pertandingan, dibunuh rasa frustrasi terhadap Juve yang tampil semakin pede.

Puncak akumulasi segala frustrasi itu tergambar dengan tepat pada menit ke-83, ketika dia memperoleh kartu merah akibat protes yang berlebihan. Kartu merah yang seharusnya bisa dihindari. Kartu merah yang lahir akibat kecerobohan dan ketidakmampuan bersikap dewasa dalam momen-momen penting dan genting.

Dan ironisnya, kartu merah itu berawal dari adu fisiknya dengan Benatia.

Bagi saya, kartu merah Higuain mirip dengan kartu merah Gianluigi Buffon pada laga perempat final Liga Champions musim lalu. Mirip dalam artian seharusnya kartu merah ini tak perlu terjadi dan bisa saja dihindari dalam keadaan yang normal.

Tapi siapa pun tahu, bahwa kedua laga itu, baik Milan-Juve untuk kasus Higuain maupun Juve-Madrid dalam konteks Buffon, bukanlah sebuah pertandingan yang biasa, setidaknya bagi kedua persona itu. Benang merah yang menghubungkan keduanya adalah ada palagan pembuktian yang memberi beban bagi kondisi psikis keduanya.

Dan dalam konteks inilah, kita bisa memahami kecerobohan yang berujung kartu merah ini sebagai sebuah hal yang wajar. Sebagai manifestasi perwujudan frustrasi manusia pada umumnya. Bahwa manusia bukanlah algoritma yang hidup pada ruang hampa.


*Penulis merupakan penggemar Juventus yang menggemari sepakbola bertahan. Biasa berkicau di akun Twitter @RT_Taufik

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar