Kiev: Tanah Indah untuk Orang-orang Terabaikan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kiev: Tanah Indah untuk Orang-orang Terabaikan

Oleh: Mulyadi Wantutri

Waktu yang entah, berpihaklah. Langit yang indah, berkatilah. Tanah yang indah, kami datang…

Saya selalu berusaha merawat ingatan akan momen itu. Dari yang sekadar memandangi foto-foto sampai membaca tulisan-tulisan, sampai memutar ulang videonya, dan sampai-sampai yang lainnya. Itulah usaha saya. Saya yang sadar akan pentingnya merawat sebuah ingatan.

Menyenangkan, memang. Tapi, lambat laun, saya merasakan sebuah kebosanan. Sadar, bahwasanya merawat ingatan yang itu-itu saja ternyata melelahkan juga.

Memangnya apa lagi yang perlu saya bacakan dan saya tonton agar pekerjaan saya merawat ingatan akan momen yang sudah berusia lebih dari 13 tahun itu tak begitu menjemukan? Rasa-rasanya tidak ada lagi. Memori akan kemenangan Liverpool di final Liga Champions 2005 memang sudah amat usang.

Beruntung, hasil undian 8 Besar Liga Champions 2017/18, pada Maret lalu, mempertemukan Liverpool dengan salah satu wakil Inggris lainnya—Manchester City. Dari situ saya mulai berhitung. Berhitung dalam semua hal: finansial dan peluang.

Bukan. Bukan peluang akan keberhasilan Liverpool untuk menuju final, namun berhitung tentang kemampuan finansial dan peluang saya untuk pergi ke Kiev. Sebab, saya sudah yakin betul—ketika mendengar Liverpool bertemu tim Inggris di fase knock out—Liverpool akan melaju ke final.

Itulah sebabnya saya menuliskan faktor finansial menjadi faktor utama yang harus saya hitung. Faktor peluang (peluang saya, tentu saja) untuk terbang ke Kiev, tentu saja, harus diperhitungkan juga, mengingat betapa susahnya untuk sampai ke Ibu Kota Ukraina itu.

Sulit mencapai Kiev tak hanya berlaku untuk saya saja. Banyak suporter Liverpool lainnya yang mengeluhkan hal serupa. Kiev bukan Paris atau Munich yang punya banyak rute penerbangan, yang punya banyak trayek bus, ataupun trayek kereta.

Bagi saya, tak penting untuk memiliki tiket pertandingan final yang mahal itu. Menyaksikan bus Liverpool masuk ke Olympiysky Stadium, lalu (semoga) keluar dengan menenteng Si Kuping Besar akan menjadi pengalaman yang sungguh mengasyikkan. Sesederhana itu.

Sampai batas tertentu, saya terkesan sedikit jemawa: belum apa-apa sudah main hitung-menghitung peluang untuk ke Kiev. Tapi apa daya. Saya sudah mulai bosan untuk merawat ingatan akan gilang-gemilangnya pada 2005 lalu. Oleh karena itu, daripada terus terkungkung dalam dimensi masa silam, saya memutuskan untuk membangun angan.

Dialektika itu nyata. Saya memercayainya.

Begini: sejak Liverpool kalah 1-2 dari Manchester United, saya mencoba untuk membangun asa dan mencoba tak kecewa dengan hasil tersebut. Asa itu saya bangun sebagai usaha menepis kekecewaan, awalnya. Namun, asa tersebut malah tumbuh menjadi besar—semakin besar setiap harinya.

Pada musim 2004/05 silam, beberapa waktu sebelum Liverpool menambah jumlah trofi Liga Champions-nya menjadi 5 buah, The Reds juga kalah 1-2 di Old Traffod. Kala itu Mikael Silvestre mencetak brace, sedangkan gol “hiburan” untuk Traveling Kop tercipta berkat gol bunuh diri John O’Shea. Situasi macam itu hadir lagi musim ini: Liverpool kalah tipis, 1-2, dari United di Theatre of Dreams. Bedanya, musim ini yang mencetak dwigol adalah Marcus Rashford dan gol untuk tim tamu tercipta berkat gol bunuh diri Eric Baily.

Sejarah pasti akan berulang (meski dalam “bentuk” yang berbeda), begitu pikir saya.

Hal tersebut didukung dengan hasil pengundian babak 8 besar, yang mempertemukan Liverpool dengan wakil Inggris lainnya, Manchester City. Maka petunjuk itu semakin jelas. Karena, seperti halnya pada musim 2004/05, setelah kalah dari United, Liverpool menyingkirkan wakil Inggris lainnya, dan juga satu tim Italia sebelum melaju ke final dan keluar sebagai juara.

Agak sedikit berbeda memang. Tapi, bukankah begitu konsep dialektika? Sejarah akan berulang meski dalam kemasan-kemasan yang berbeda.

Pada musim 2004/05, Liverpool bertemu Juventus di 8 besar. Kemudian baru bertemu wakil Inggris, Chelsea, di semifinal. Musim ini Liverpool menghadapi wakil Inggris dulu, Italia kemudian.

Itulah kenapa sejak Maret lalu, saya sudah yakin benar kalau Liverpool akan terbang ke Kiev. Meski banyak fans Liverpool di sekitar saya cenderung pesimis (karena harus bertemu City) saya justru memberanikan diri untuk mencari tiket ke Kiev. Saya sudah yakin betul jika Si Merah akan ke final setelah menyingkirkan wakil Italia di semifinal, bahkan sebelum sepak mula babak 8 besar dilakukan.

Prediksi saya tak 100 persen mulus, memang. Dalam angan saya, Liverpool akan bertemu Juventus. Faktanya, Roma yang harus dihadapi oleh Mohamed Salah. Tapi tak mengapa. Roma dan Juve sama saja. Sama-sama dari Italia. Yang artinya: sama-sama masih dalam konsepsi “pengulangan sejarah”.

Lantas pertanyaan selanjutnya, siapakah lawan Liverpool di final? Mengacu pada UCL musim 2004/05, Liverpool akan bertemu dengan tim yang lebih memilih untuk mengenakan jersey berwarna putih. Seperti halnya Milan, yang sebenarnya punya hak untuk memakai jersey Merah namun “mengalah” dan memilih menggunakan jersey tandang mereka yang berwarna putih. Dan, ya, tahun ini, Madrid-lah yang bakal menjadi lawan terakhir Liverpool di pentas UCL musim ini.

I Don’t Know What It Is But I love It

Oke, anggaplah prediksi saya yang semula Liverpool vs Juventus di semifinal sebagai sebuah sampling error. Setiap penelitian memang membutuhkan (minimal) sebuah sampling error. Pun begitu penelitian yang tak teliti-teliti amat yang sedang Anda baca ini.

Batasan antara dialektika dan mistis memang sangat sumir. Tak mengherankan juga jika dialektika selalu dikaitkan dengan sebuah kemistisan. Tak apa.

Di sini saya akan melihat bahwasanya setiap fenomena pasti akan berulang dengan bentuk dan situasi yang berbeda. Ada tesis, ada antitesis, dan ada sintesis. Ada sebuah transfigurasi dari apa-apa yang hidup dalam pikiran dan yang rasional.

Kemistisan semacam ini memang sangat sulit untuk dijelaskan dan sulit pula untuk diterima oleh akal sehat. Jikalau situasi semacam ini sangat mudah dijelaskan, Hegel tak akan menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menjabarkan teorinya itu. Marx tak akan hidup dalam keterasingan dan menuliskan buku yang amat tebal itu. Atau, kalau teori semacam ini mudah diterima nalar, Engels tak akan hidup nelangsa.

Akan tetapi, diakui atau tidak, toh, kemistisan-kemistisan yang demikian juga pernah menjadi sebuah ketakutan besar bagi para borjuasi saat teori tersebut lahir.

Yap, I don’t know what it is but I love it. Saya tak tahu (fenomena) apakah ini tapi saya menyukainya. Suka sekali, bahkan, karena situasi semacam ini membuat saya beristirahat dari pekerjaan yang teramat melelahkan selama ini: merawat ingatan tentang kegemilangan Liverpool pada final Liga Champions 2005. Saya sudah bosan hidup dalam dimensi silam.

Liverpool memang belum 100 persen masuk final. Tapi, keyakinan saya sudah semakin besar. Jordan Henderson dkk., pasti akan terbang juga ke Kiev. Para staff Liverpool sedang sibuk mengatur jadwal pertemuan dengan Duta Besar Ukraina untuk Inggris untuk mengurus visa mereka.

Kiev tentu tanah yang indah. Itulah kenapa, di awal, saya meminjam lirik lagu FSTVLST- Tanah Indah untuk Mereka yang Terabaikan, Rusak, dan Ditinggalkan. Ibu Kota Ukraina itu dahulu pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan di Timur Eropa, pernah menjadi pusat jalur perdagangan antara Skandinavia dan Konstantinopel. Kiev adalah rumah yang sangat nyaman bagi orang-orang Slavia, namun pernah juga luluh lantak akibat Perang Dunia II.

Tanah indah tersebut juga sangat cocok untuk orang-orang yang terabaikan. Orang-orang Liverpool. Pemain-pemain Liverpool. Mereka-mereka yang—sama halnya saya—tak pernah menyangka akan melihat Liverpool bisa terus gemilang di kompetisi Eropa sampai sejauh ini.

Lagi pula, siapa juga yang mengira LFC bisa terus melaju? LFC dengan pemiliknya yang pelit, tak punya skuat yang mewah-mewah amat (bahkan kedalaman skuat saja tak punya). Jadi, wajar saja, jika Liverpool sempat diabaikan dari daftar tim unggulan pemenang UCL musim ini.

Dan, ya, Kiev... kami datang!

Ah, tapi, kalau boleh berandai, sebenarnya partai final antara Liverpool dan Real Madrid tak perlu diadakan. Bubarkan saja kompetisi UCL. Biarkan saja keduanya sama-sama sampai di final saja.

Pertama, saya tak suka air mata, sebagaimana manusia pada umumnya. Saya tak akan sanggup untuk meneteskan air mata, entah air mata kebahagiaan karena Liverpool keluar sebagai juara, atau malah air mata kesedihan karena ekspektasi saya tak berbanding lurus dengan realita.

Kedua, andai, UCL berhenti dan menyisakan partai final, pekerjaan saya untuk merawat ingatan akan lebih mudah lantaran saya akan merawat ingatan akan hal-hal yang aktual, bukan hal-hal yang sudah begitu lama dan memaksa saya untuk hidup dalam kegemilangan masa silam.

Oh, tapi, sejarah tak mengenal kata andai. Oh, tapi UEFA bukan PSSI yang bisa membubarkan kompetisi dan mengubah jadwal seenak jidat.

Dan, ya, bertandinglah Liverpool. Bertandinglah pemain-pemain yang terabaikan untuk kami-kami yang sudah lelah merawat ingatan.


Penulis rutin berkicau tentang Liverpool dan lain-lain lewat akun Twitter @prasetypo.

Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar