Dunia (Sepakbola) yang Dilipat

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Dunia (Sepakbola) yang Dilipat

Oleh: Ardi Kurniawan

Sepakbola adalah tempat berbagai hal yang tidak masuk akal terjadi. Salah satunya adalah peristiwa kelahi massal antara pendukung klub Liverpool dan Manchester United. Hal tersebut mungkin cukup wajar apabila terjadi di Inggris. Tetapi, bagaimana jika kelahi massal itu terjadi di Indonesia—Negara yang berjarak cukup jauh dari Inggris?

Faktanya memang demikian. Kira-kira satu bulan lalu, pertandingan antara Liverpool dan Manchester United digelar di Inggris. Acara nonton bareng digelar berbagai kelompok suporter di Indonesia. Acara semacam ini memang lazim terjadi. Apalagi jika pertandingan tersebut melibatkan dua kelompok suporter yang cukup besar dan fanatik. Entah bagaimana, acara nonton bareng yang digelar di kawasan Tangerang bisa berakhir dengan kelahi massal.

Peristiwa ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Dua tahun silam, suporter Real Madrid dan Juventus melakukan tindakan serupa. Saat itu ada acara nonton bareng pertandingan semifinal Liga Champions. Sama persis. Acara nonton di GOR Otista itu berakhir kericuhan antar kedua kubu suporter.

Sejumlah pertanyaan pun bisa dimunculkan. Mengapa para pendukung klub tersebut rela melakukan tindakan tersebut? Mengapa ikatan emosional para suporter dengan klub yang bermarkas begitu jauh bisa begitu kuat? Apa yang membuat mereka rela menjadi serdadu dan berkelahi demi membela klub sepakbola yang bermarkas di benua Eropa sana? Apa yang membuat ikatan mereka dengan klub kesayangannya menjadi begitu kuat?

Peristiwa tersebut sebenarnya dapat dianggap wajar jika dilihat dari perspektif hiperrealitas dan simulakra. Kedua hal tersebut adalah konsep yang diperkenalkan Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis. Hiperrealitas berarti situasi saat representasi menggantikan realitas. Pada situasi ini, batas antara yang nyata dan maya serta asli dan tiruan menjadi kabur. Situasi ini dapat terjadi karena adanya perkembangan teknologi mutakhir.

Salah satu contoh kehadiran hiperrealitas dalam dunia sepakbola adalah permainan video gim FIFA. Permainan tersebut merupakan representasi dari permainan sepakbola yang sebenarnya terjadi di lapangan. Tetapi, dengan perkembangan teknologi mutakhir, permainan tersebut makin mendekati kenyataan.

Nama, wajah, dan gerakan pemain dibuat sama persis mendekati aslinya. Bentuk dan suasana stadion pun dirancang sedemikian rupa untuk persis dengan suasana sebenarnya. Nama dan logo klub juga disesuaikan dengan situasi sebenarnya. Taktik dan strategi yang dimainkan juga disajikan serupa permainan sepakbola betulan. Para pemain gim ini pun dapat merasakan seolah-olah menjadi manajer klub sepakbola Eropa.

Pada titik ini, video gim bukan lagi sekadar representasi permainan sepakbola sesungguhnya. Video gim telah menjadi ruang virtual terjadinya hiperrealitas. Batas antara video gim dan permainan sebenarnya menjadi kabur.

Ruang terjadinya hiperrealitas itulah yang disebut simulakra. Sebuah ruang simulasi yang menghadirkan representasi serupa dengan realitas. Dalam konteks ini, konsol gim seperti PlayStation adalah mesin simulakra—mesin yang menghadirkan simulasi permainan sepakbola virtual yang nyaris sama persis dengan sepakbola sebenarnya.

Situasi yang demikian sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami para pendukung klub sepakbola Eropa di Indonesia. Tindakan mereka membela klub sepakbola favoritnya pada dasarnya terjadi karena para suporter berada dalam situasi hiperrealitas. Batas antara situasi asli dan tiruan menjadi kabur.

Hal ini terjadi karena sepakbola Eropa dihadirkan dengan begitu masif lewat berbagai perangkat teknologi digital mutakhir seperti media sosial, portal berita, video, televisi, dan smartphone. Situasi ini tentu tidak terjadi tiba-tiba. Pada mulanya, para suporter hanya bisa menonton pertandingan klub melalui televisi. Pertandingan tidak disiarkan setiap hari. Hanya pada tengah dan akhir pekan. Dalam situasi ini, realitas sepakbola Eropa masih berjarak begitu jauh. Belum hadir dalam kehidupan sehari-hari. Belum menjadi ilusi.

Pesatnya perkembangan media digital dan media sosial mengubah situasi tersebut. Dunia sepakbola Eropa dilipat. Jarak menjadi memiuh. sepakbola Eropa tiba-tiba hadir dalam kehidupan sehari-hari pendukungnya. Melalui media digital, berita-berita klub dan pemain favorit dapat segera diikuti. Berita-berita tersebut hadir dan dapat diakses selama 24 jam. Perkembangan mutakhir sepakbola Eropa pun segera dapat diakses dengan hadirnya berbagai portal berita khusus sepakbola. Video-video wawancara pemain, cuplikan pertandingan, dan analisis pertandingan dapat diakses kapan saja di berbagai portal dan kanal video.

Media sosial membuat banjir informasi sepakbola Eropa menjadi makin masif. Para pendukung klub dapat mengikuti dan seolah-olah berinteraksi dengan pemain favoritnya. sepakbola Eropa pun terasa makin tidak berjarak lagi. Informasi mutakhir mengenai pemain sepakbola dapat dengan mudah diikuti melalui akun media sosial mereka. Dalam menyaksikan pertandingan pun, media sosial menfasilitasi para pendukung klub dari seluruh dunia untuk berkomentar, berdebat, dan memberkan dukungan secara langsung saat pertandingan.

Pada titik inilah teknologi menghadirkan hiperrealitas bagi pendukung klub sepakbola. Berbagai berita, video, dan akun media sosial tidak hadir lagi sebagai representasi sepakbola Eropa. Teknologi tersebut menghadirkan sepakbola Eropa dalam wujud realitas baru yang tidak berjarak dengan pendukungnya. Dalam konteks demikian, acara menonton bareng pun bukan lagi sekadar representasi menonton pertandingan di stadion Anfield atau Old Trafford. Menonton pertandingan di kafe bersama kelompok suporter menjadi ruang simulasi yang menghadirkan hiperrealitas.

Hal ini juga dimediasi dengan tayangan sepakbola di televisi yang makin mampu menghadirkan serta memindahkan realitas di stadion ke layar kaca. Televisi juga mampu menghadirkan momen dramatik, ketegangan, kesedihan, dan kebahagiaan para penonton di stadion melalui kamera. Melalui kamera pula, tensi dan ketegangan di stadion dihadirkan kepada penonton sepakbola di televisi.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam acara nonton bareng, para suporter melakukan tindakan dan respon serupa dengan suporter di stadion aslinya. Mulai dari bernyanyi, membawa banner, memakai jersey, berteriak, dan saling ejek. Menjadi wajar pula apabila para pendukung klub rela melakukan kelahi massal demi klub yang disukainya. Batas antara representasi dan realitas sudah kabur. Teknologi mengaburkan dan melipat dunia sepakbola Eropa menjadi sebesar layar telepon genggam dan televisi. Maka, perkelahian massal atawa tawur antara dua pendukung klub Eropa di Indonesia pun dapat dianggap wajar. Apa yang mereka bela bukanlah hal yang berjarak cukup jauh. Apa yang dibela bukanlah hal yang abstrak. Klub sepakbola yang dibela sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari para pendukung tersebut.


Penulis adalah seorang pengajar dan peneliti yang berdomisili di Yogyakarta. Dapat dihubungi lewat alamat surel ardiy_kurniawan@yahoo.co.id.

Komentar