Politik Tiga Poin dan Dampaknya pada Turnamen Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Politik Tiga Poin dan Dampaknya pada Turnamen Sepakbola

Oleh: Agung Putranto Wibowo

Mengapa dewasa ini tim yang menang memperoleh tiga poin, satu poin bagi kedua tim yang bermain imbang, dan nol poin bagi yang kalah? Ternyata mekanisme itu belum terlalu lama diterapkan. Adalah negara Inggris yang kali pertama menerapkan aturan tiga poin pada turnamen sepakbola tahun 1981.

Sebelumnya, banyak liga dan kompetisi di dunia yang mengganjar pemenang dengan dua poin saja. Sementara bagi tim yang imbang, masing-masing mendapatkan satu poin. Dan tak ada sama sekali poin bagi tim yang kalah. Jadi, perbedaannya ada pada jumlah poin yang diperoleh tim pemenang.

Politik tiga poin diterapkan untuk lebih menghargai kemenangan ketimbang meraup hasil imbang sebanyak-banyaknya. Dengan ganjaran tiga poin, tim yang lebih sering menang praktis lebih superior dari tim yang sering bermain imbang.

Berikut ilustrasi jika format penghitungan klasemen masih memakai aturan lama, yaitu dua poin untuk pemenang, satu poin untuk hasil imbang, dan nol poin untuk yang kalah:

Tabel 1 - Ilustrasi penghitungan poin dengan sistem lama

Kedua klub sama-sama mengumpulkan 13 poin dari sepuluh kali berlaga. Kendati klub B lebih sedikit menang, namun mereka lebih sering imbang daripada klub A. Sehingga, klub B memiliki total poin yang sama dengan klub A di klasemen. Hal ini menunjukkan tidak masalah sebuah klub jarang menang, asalkan tidak menderita kekalahan. Bukan tidak mungkin, sebelum aturan tiga poin ditemukan, kebanyakan klub hanya menetapkan standar meraih satu poin alias bermain imbang. Alih-alih bermain terbuka dan jual-beli serangan, kedua klub tentu akan saling bermain hati-hati supaya tidak kehilangan poin.

Bandingkan jika aturan tiga poin yang digunakan terhadap ilustrasi di atas. Klub B hanya akan mengumpulkan total 17 poin dari empat kali menang (4x3=12), lima kali imbang (5x1=5), dan satu kali kalah (1x0=0). Sedangkan klub A jelas akan mengungguli klub B dengan raihan 18 poin dari lima kali menang (5x3=15), tiga kali imbang (3x1=3), dan dua kali kalah (2x0=0).

Adanya format tiga poin jelas mengindikasikan bahwa satu kali kemenangan saja sangat berarti dan akan berdampak di klasemen.

Liga 1 Indonesia musim lalu adalah cerminan mengapa tiga poin sangatlah berarti. Di klasemen akhir, jumlah kemenangan Bhayangkara FC sebanyak 22 kali sedangkan Bali United hanya 21 kali. Walaupun hanya selisih satu kemenangan saja, Bhayangkara FC berhasil keluar sebagai juara. Meski kita semua tahu, ada satu kali menang yang dimenangkan The Guardians secara politik, bukan berdasarkan rule of the game.

Begitu pula yang terjadi di Liga Primer Inggris musim 2016/17 lalu. Spurs mengoleksi jumlah hasil imbang lebih banyak daripada Chelsea, akan tetapi The Blues lebih sering menang dari The Lilywhites. Musim itu pasukan Antonio Conte hanya tiga kali saja bermain imbang, sementara anak-anak asuh Pochettino lebih sering imbang yakni sebanyak delapan kali.

Rekor 26 kemenangan sepanjang sejarah keikutsertaan Tottenham di Premier League, jelas tiada artinya dibanding 30 kemenangan milik Chelsea. Secara matematis, Chelsea tetap menjadi kampiun Liga Primer jika penghitungan masih memakai format dua poin. Namun, Eden Hazard dan kolega tak akan mengunci gelar juara di pekan ke-37 karena raihan poin mereka masih dapat disalip oleh Spurs yang duduk di peringkat kedua klasemen. Chelsea tak akan unggul tujuh poin pada klasemen akhir, melainkan hanya terpaut tiga poin saja jika penghitungan masih menggunakan dua poin.

Penikmat olahraga sepakbola patut berterima kasih kepada Jimmy Hill perihal penemuan aturan tiga poin ini. Berkat beliau, pertandingan sepakbola menjadi layak tonton hingga menit injury time. Sebab tak jarang, gol-gol penentu kemenangan tercipta di menit-menit krusial.

Berawal dari kegelisahan Jimmy saat menyaksikan banyaknya tim bermain imbang tanpa gol pada saat itu. Sebagai pengagum sepakbola menyerang, Jimmy jelas tidak datang ke stadion untuk menonton pertandingan tanpa gol. Mantan pemain Brentford dan Fulham itu juga merasa janggal melihat tim yang lebih sering menang, peringkatnya berada di bawah tim yang lebih sedikit meraih kemenangan. Untuk itulah ia berinisiatif mengubah aturan poin di klasemen.

Walau aturan tiga poin sudah berlaku di Inggris sejak 1981, namun belum dapat diterapkan ke negara lain sampai lebih dari satu dekade kemudian. Barulah pada momentum Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, FIFA menerapkan aturan tiga poin-nya Jimmy.

Kini, usia aturan tiga poin sudah hampir 37 tahun. Patut diketahui, bahwasannya hukum sifatnya dinamis mengikuti perkembangan zaman. Pada 1981, kebijakan tiga poin lahir karena prinsip kemenangan dianggap memiliki nilai-lebih. Dengan begitu tim-tim akan tampil lebih menyerang untuk mencetak lebih banyak gol, demi meraih kemenangan yang dianggap luhur itu.

Lantas menjadi pertanyaan menarik, bagaimana upaya publik sepakbola dalam rangka mempertahankan nilai tersebut. Mungkinkah terjadi pergeseran nilai di masa depan, sehingga tiga poin tak lagi menjadi milik si pemenang? Entahlah.

Dikirim oleh Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)


Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Komentar