VAR, Asisten Wasit, atau Suporter yang Merepotkan?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

VAR, Asisten Wasit, atau Suporter yang Merepotkan?

Oleh: Fikri Afriansyina

Alkisah para ibu rumah tangga sedang asik nonton televisi pada jam prime time. Jam tayang utama televisi nasional yang dijejali oleh sinetron. Kisah nyaris seragam antara satu sinetron dengan sinetron lainnya, tentang seorang tokoh protagonis yang selalu didera siksa dan nestapa dari tokoh antagonis berparas cantik.

Suatu hari, sang tokoh utama yang polos itu disuguhi minuman oleh si antagonis. Tanpa sepengetahuan si protagonis, rupanya tokoh jahat dalam sinetron itu telah memasukkan racun berbahaya ke dalam minuman yang disuguhkan.

Nah, dalam adegan yang penuh dengan teknik zoom in - zoom out dan slow motion tersebut, ditambah musik menegangkan itu, para ibu rumah tangga yang menyaksikan sinetron di rumah akan secara otomatis memukulkan tangannya berkali-kali ke meja, ke kursi, atau ke pangkuannya sendiri, hingga tak jarang bertepuk riuh, berusaha menahan gerakan sang tokoh protagonis untuk tidak mereguk minuman yang disajikan.

Bahkan segelintir ibu refleks berteriak memperingatkan si tokoh, “Awas! Itu ada racunnya!”. Sedangkan si tokoh antagonis sesekali disorot kamera dengan teknik close up, menunjukkan paras sinis lengkap dengan alis yang terangkat. Musik yang semakin tegang membuat adegan diakhiri dengan kata: BERSAMBUNG.

Para penonton setia sinetron kembali ke dapur. Menyiapkan makan malam untuk seluruh keluarga, sambil bersungut-sungut dengan mulut mencucu. Para ibu kesal betapa bodohnya si tokoh utama sehingga selalu berbaik sangka kepada si tokoh antagonis. Mereka kesal mengapa tak mampu melakukan hal apa pun untuk menghindarkan sang tokoh utama kesayangan mereka dari marabahaya.

“Apa tak bisa kami para penonton ini menyelamatkan sang tokoh utama sinetron yang tengah kami saksikan?”. Sekelumit isi benak para ibu rumah tangga itu menyiratkan kekesalan sekaligus memupuk harapan akan adanya teknologi dunia pertelevisian di masa depan yang memungkinkan keterlibatan penonton secara langsung, sehingga mereka dapat menentukan alur dari sinetron yang mereka gemari.

Teknologi yang memungkinkan keterlibatan langsung penonton televisi dengan acara yang sedang ditampilkan di layar kaca mungkin masih jauh dari realitas. Interaksi langsung pemirsa dalam siaran sebuah program televisi hanya terjadi pada acara kuis-kuis yang melimpah ketika acara sahur atau berbuka puasa bertebaran di layar kaca, umumnya interaksi itu dilakukan lewat saluran telepon, atau media sosial.

Namun, tak demikian dengan apa yang terjadi di dunia sepakbola modern baru-baru ini. Sebuah teknologi bernama Video Assistant Referee (VAR) mulai diterapkan dalam turnamen resmi FIFA. Teknologi yang membuat tiga orang ‘penonton’ bisa memengaruhi hasil akhir pertandingan (atau memperlambat pertandingan), secara langsung terhadap pertandingan yang sedang berjalan.

Teknologi VAR yang mulai dicoba di Piala Konfederasi 2017

Turnamen pemanasan menjelang Piala Dunia, yakni Piala Konfederasi 2017 yang digelar di Rusia sebulan lalu, menjadi gelaran sepakbola akbar pertama yang menerapkan teknologi VAR. Selain diadakan guna meninjau kesiapan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia yang akan digelar tahun depan, turnamen yang berhasil dimenangkan Jerman itu menjadi salah satu ladang uji coba penggunaan teknologi VAR. Hasilnya, pihak FIFA menganggap teknologi tersebut berhasil membantu tugas wasit di lapangan.

Menarik membahas VAR. Dalam penerapannya, teknologi ini terdiri dari para pengawas. Tiga orang wasit pilihan, duduk nyaman di dalam ruangan ber-AC sembari menyaksikan pertandingan lewat layar kaca yang menampilkan beberapa sudut pandang kamera yang sulit terjangkau oleh pandangan wasit yang tengah bertugas di lapangan.

Ketika terjadi sebuah pelanggaran atau insiden lain yang tak terlihat oleh wasit, maka tiga orang asisten, dengan dibantu tayangan ulang video, akan segera menghubungi wasit yang bertugas dan memberikan pertimbangan tertentu. Hal itu kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian keputusan oleh wasit di lapangan terhadap pemain yang terlibat dalam insiden tersebut.

Penerapan VAR dilakukan demi menghindari keputusan wasit yang kemungkinan bisa menjadi kontroversi. Teknologi ini bertujuan untuk memperbaiki kinerja wasit di lapangan, sehingga tak ada tim yang merasa dirugikan dalam pertandingan.

Akan tetapi, tugas VAR seolah membuat sepakbola menjadi bertele-tele. Penerapannya terpaksa menghadirkan jeda dalam sebuah pertandingan, karena pengadil di lapangan harus berkomunikasi dengan asisten wasit di ruang video. Meskipun jeda berlangsung dalam hitungan menit saja, hal ini jelas menghambat ritme pertandingan yang tengah berjalan. Tim yang sedang mengejar ketertinggalan akan merasa dirugikan, meski di satu sisi keputusan wasit akan tampak lebih ‘sempurna’ karena saran VAR tersebut.

Letak keadilan dari putusan wasit akan bergeser mengarah pada kesetimbangan baru. VAR seolah menjadi semacam time-out bagi tim yang sedang terpojok agar bisa menarik napas dan lepas dari tekanan tim lawan. Apalagi, di perhelatan Piala Konfederasi lalu muncul keputusan yang dirasa tetap merugikan salah satu tim meski mendapat bantuan dari VAR, yakni beberapa keputusan dalam pertandingan Cile vs Kamerun pada fase grup.

Sebuah pertandingan sepakbola merupakan refleksi dari hidup manusia dalam kesehariannya, yakni tak melulu tentang menjalankan rencana dengan semestinya. Dalam hidup, selalu ada hal yang terjadi di luar rencana manusia. Sebuah kejadian tak terduga menjadi bumbu kehidupan yang justru memberikan pengalaman dan pengetahuan baru kepada manusia yang mengalami hal tersebut.

Begitu pula dalam sepakbola, drama kontroversi dalam sebuah pertandinganlah yang menjadikan sepakbola tampak manusiawi, sehingga dicintai mayoritas penduduk bumi. VAR menjadikan sepakbola kehilangan sentuhan manusiawi seniman lapangan hijau yang tengah fokus mengejar kemenangan.

Teknologi itu justru seolah berperan layaknya suporter yang menonton pertandingan lewat televisi, tetapi memiliki privilege sehingga bisa menganjurkan penalti, mensahkan gol, hingga menimbang kartu warna apa yang harus diberikan kepada pemain. Ini tak jauh berbeda dengan para suporter yang protes atas keputusan wasit, lantas melemparkan botol plastik air mineral ke tengah lapangan. Keduanya sama-sama membuat pertandingan terhenti sementara.

Ada baiknya FIFA meninjau ulang teknologi VAR ini, agar tak menjadi satu hal mubazir atau malah justru membuat kontroversi baru. Terlalu banyak saran dari VAR tentu akan memengaruhi fokus serta objektivitas pengadil yang bertugas di lapangan. Setidaknya otoritas tertinggi sepakbola itu harus menyempurnakan penerapan VAR sehingga tidak memberikan jeda yang terlalu panjang dalam pertandingan, yang bisa berakibat jalannya pertandingan menjadi jemu bagi penonton.

Dalam era kapitalis dimana sepakbola pun tak lepas dari perannya sebagai alat peraup keuntungan ini, FIFA tentu tak ingin sepakbola menjadi menjemukan dan akhirnya ditinggalkan penonton. Ketika tiba masanya VAR efektif diterapkan dalam sepakbola, maka boleh saja para ibu berharap bahwa suatu saat kelak tayangan sinetron yang mereka saksikan pun akan menggunakan teknologi tersebut.

Kelak, demi memuaskan para ibu rumah tangga, dunia pertelevisian tanah air akan menerapkan VAR, supaya pemirsa bisa menegur langsung sang tokoh protagonis di dalam sinetron, sehingga akhirnya selamat dari penderitaan zoom in-zoom out yang melelahkan.

Namun, layaknya sebuah gelaran pertandingan sepakbola, tentu hal itu menuntut tayangan sinetron secara langsung, secara real time, yang menurut saya akan mustahil dilakukan bila melihat kemampuan akting para pemain sinetron yang hmmm... mirip-mirip tingkah Lord Bendtner atau Joey Barton.

Penulis adalah seorang musisi yang coba berputar haluan menjadi penulis. Kerap menulis perasaan, sepakbola, musik, dan resensi buku. Biasa berkicau di akun Twitter @Ficrey


Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh pemulis

Komentar