Cerita dari Sleman: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin (Bagian 1)

PanditSharing

by Pandit Sharing 60097

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Cerita dari Sleman: Sang Penguasa Selatan Tanpa Pemimpin (Bagian 1)

***

Mulanya BCS tak sebesar sekarang. Pada musim kompetisi 2008/2009, mereka hanya terdiri dari sekelompok kecil orang yang masih berada di bawah payung Slemania. Bila dibandingkan dengan kelompok suporter PSS yang lebih dulu berdiri itu, jumlah mereka tentu amat sedikit. Meski begitu, dengan jumlah yang masih sedikit dan masih terikat tersebut, mereka sudah mulai berusaha membentuk identitas yang berbeda dengan Slemania.

Pada musim itu, BCS masih dikenal sebagai Ultras PSS. Memakai pakaian serba hitam, mereka mulai menduduki tribun selatan Stadion Maguwoharjo, tribun yang berhadapan langsung dengan Slemania di sisi utara. Sebelumnya, tribun selatan biasa ditempati para suporter tim tamu yang bertandang ke Sleman. “Mereka terlihat berusaha tampil beda dengan Slemania karena menganut konsep ultras, misalnya dengan mengenakan pakaian hitam,” ungkap Kefin Sabriansyah, anggota salah satu komunitas BCS.

Konsep yang dimaksud Kefin itu adalah cara pandang atau gaya dukungan yang dianut BCS. BCS memilih ultras sebagai konsep atau ideologi mereka. Artinya mereka akan menerapkan apa yang menjadi dasar, aturan, dan ciri khas ultras seperti mengenakan pakaian hitam dan mengedepankan kreativitas dalam mendukung tim. Mereka juga tidak pernah duduk ketika mendukung tim.

Ini kemudian membuat beberapa klub top Eropa membuat tribun tanpa kursi, khusus untuk ultras. Di Indonesia, selain ultras, ada beberapa ideologi atau konsep yang dianut suporter. Salah satunya adalah hooligans atau casuals a la Inggris.

Nyaris semua anggota BCS saat pertama terbentuk pernah menjadi Slemania. Orang-orang itu membentuk kelompok baru lantaran memiliki perbedaan pandangan, salah satunya adalah soal adanya ketua. Maka tak heran, saat pertama terbentuk hingga sekarang, BCS memilih untuk tidak mengedepankan kultus individu.

Pada saat pertama terbentuk sebagai ultras, BCS diremehkan. Sebabnya, mereka hanya memiliki anggota yang sedikit namun tetap mendukung tim yang ketika itu nyaris bangkrut. Tapi karena memiliki mimpi membangun PSS dengan semangat ultras dan kreativitas yang mereka miliki, mereka tak peduli: ‘ora muntir

Lama-kelamaan, mereka mulai diakui. Terutama berkat aksi kreatif lewat koreografi dan chants yang hanya berisi dukungan untuk PSS, ketika biasanya para suporter menggunakan chants yang berisi ejekan atau makian kepada tim lawan. Hingga pada awal 2011, mereka terbentuk secara resmi dan menanggalkan nama ultras—sekaligus melepaskan diri dari Slemania—yang diganti dengan Brigata Curva Sud (BCS).

“Laga melawan Persebaya saat itu kita angkat sebagai momen berdirinya BCS,” jelas Fikar. Waktu itu, BCS sudah terdiri dari sekitar 5 komunitas.

BCS lahir di saat yang tepat. Saat Slemania mengalami penurunan dan banyak anggota yang tidak sepaham dengan aturan di sana, mereka hadir dengan gaya berbeda yang menjadi alternatif. Mereka dianggap lebih progresif.

Gaya berbeda itulah yang membuat BCS menjadi sorotan dan berkembang pesat sehingga mereka mendapat nama di Sleman. “Saat pertama bergabung, saya yakin BCS dapat membuat pergerakan yang berdampak positif bagi PSS,” kata Kefin.

Meski sudah memiliki nama dan diakui eksistensinya, BCS masih kerap mendapat hambatan. Pada laga menghadapi Persipasi Bekasi di Maguwoharjo beberapa tahun yang lalu, BCS tidak diizinkan mengisi tribun selatan karena akan digunakan suporter tim tamu. Karena menghormati suporter tim tamu itu, mereka mengalah. Namun, itu tidak berarti mereka tidak bisa mendukung PSS. Di halaman luar stadion, BCS tetap bernyanyi dengan keras dan lantang.

Larangan masuk ke stadion itu terus berhembus. Hingga kemudian, ada satu sosok yang membuat BCS kembali diperbolehkan masuk ke stadion mengisi tribun selatan. Sosok itu bernama Trimurti Wahyu Wibowo.

Babeh, sapaan Wahyu, merupakan salah satu tokoh suporter sepakbola Sleman. Namanya harum sebagai sosok yang cinta damai dan memiliki semangat tinggi dalam mendukung PSS. Nyaris semua suporter sepakbola Sleman mengenal Wahyu. “Ia dikenal sampai ke Jogja,” ujar Bijak. Menurut penuturan Bijak, Babeh yang melobi panitia pelaksana PSS agar BCS kembali diizinkan mengisi tribun selatan. Bijak adalah anak sulung almarhum Babeh. Ia juga merupakan anggota BCS.

Kini, setelah tujuh tahun berdiri, BCS sudah terdiri dari 256 komunitas. Mereka semakin besar dan memiliki nama di kancah sepakbola Indonesia. Tribun selatan yang berkapasitas sekitar delapan sampai sepuluh ribu orang itu selalu dipenuhi BCS. Bahkan, ada yang terpaksa berada di timur karena tribun selatan sudah penuh sesak.

Tak hanya di Indonesia, nama besar mereka bahkan dikenal sampai ke tingkat dunia. “Fantastis! Saya sangat mengapresiasi ini, Indonesia punya suporter hebat,” tulis Adrian Stefanescu dalam kolom komentar salah satu video BCS di Youtube. Ia mengaku sebagai pendukung STEAUA Bucharest.

Nama besar BCS juga membuat mereka dihormati masyarakat Sleman dan suporter lawan. Anton, seorang pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar Maguwoharjo tiap kali PSS berlaga, mengatakan, BCS pernah membantu pedagang yang dagangannya dirusak atau ‘dipalakin’.

“Saya tak terlalu ingat persisnya kapan. Tapi seingat saya BCS pernah mengajak suporter lawan yang merusak atau malakin dagangan untuk bertemu dengan pedagangnya. Mereka memediasi semuanya agar orang-orang itu mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kenang Anton.

Pada akhir 2015, BCS menghelat laga uji tanding bertajuk “Cinta dan Dedikasi”. Laga yang mempertemukan PSS Sleman dengan Bali United itu bukan untuk uji tanding biasa, melainkan sebagai persembahan BCS untuk para pemain yang menjadi korban ‘sepakbola gajah’ yang melibatkan PSS Sleman dan PSIS Semarang pada 2014 lalu. Pihak manajeman menyambut baik, sebab mereka ingin mengingat dan mengevaluasi kejadian itu untuk pembelajaran bersama.

BCS menggelar laga itu bukan untuk memperingati aib, tetapi merupakan bentuk perjuangan dalam membela hak para pemain dan pelatih. Lewat laman resmi mereka, bcsxpss.com, BCS menyebut laga itu sebagai Hari Kebangkitan Brigata Curva Sud.

Sementara itu, manajer PSS Sleman menganggap laga itu sebagai momen yang paling berkesan bagi PSS. Momen itu, baginya, menjadi tonggak bangkitnya sepakbola di negeri sembada dari keterpurukan pasca insiden sepakbola gajah. “Itu menjadi penanda dimulainya era baru PSS menuju sepakbola industri. Efeknya besar sekali,” katanya.

Tak dapat dimungkiri, BCS adalah salah satu nafas yang menggerakkan PSS Sleman dan juga sepakbola Sleman secara umum. Kreativitas dan loyalitas yang mereka miliki membangkitkan sepakbola Sleman yang sempat terpuruk akibat insiden sepakbola gajah. Mereka adalah alasan yang membuat para pemain PSS sampai menitikkan air mata ketika kalah atau bermain buruk dalam suatu pertandingan. “Saya akan sangat malu kalau bermain buruk, karena mereka selalu mendukung dengan luar biasa,” ujar Dirga Lasut, pemain PSS Sleman.

foto: tribunnews.com

Cerita dari Sleman Bagian 2: Tentang Koregafi itu. . .

Penulis merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Bandung. Biasa berkicau di akun @sptwn_ dan @nurcholislis


Tulisan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus tentang Brigata Curva Sud yang dilakukan oleh dua penulis di atas. Isi dan opini dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar