Sepakbola dan Kesenangan yang Hilang

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Sepakbola dan Kesenangan yang Hilang

Halaman kedua....

Pada masa tambahan waktu, Barcelona yang tengah menyerang tiba-tiba kehilangan bola. Bola kemudian dikuasai oleh seorang pemain Chelsea dan dia mengumpan jauh --atau mungkin lebih tepatnya membuang sejauh mungkin-- ke tengah lapangan. Saat itu, kamera masih menyorot sisi lapangan pertahanan Chelsea dan para pemirsa pun mengira bahwa bola akan dikuasai pemain Barcelona yang berada di lini pertahanan. Namun, ternyata yang menerima bola tersebut adalah Fernando Torres. Kamera terlambat beralih ke sisi pertahanan Barcelona untuk menyorot Torres sehingga berdampak pada para pemirsa yang akhirnya terlambat menyadari hal tersebut. Ada momentum yang hilang di sana.

Sama seperti di televisi, menonton sepakbola dengan cara streaming melalui internet pun sering diganggu oleh beberapa kendala. Salah satunya adalah koneksi jaringan yang lemah membuat kita sulit untuk melihat suasana ketika pertandingan berlangsung karena kualitas gambar yang rendah. Jika koneksi internet cepat, kita dapat menonton pertandingan dengan kualitas gambar yang bagus. Namun, kebalikannya, penonton akan sulit menonton pertandingan dan seni dalam pertandingan sepakbola pun semakin berkurang karena sulit menentukan wajah pemain atau siapa yang bermain.

Selain soal kamera dan tayangannya di televisi serta internet, reproduksi mekanis juga berdampak pada sepakbola yang kini ‘dilebih-lebihkan’. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh para komentator pada gelaran Piala AFF beberapa waktu lalu. Saat itu, sang komentator mengucapkan beberapa kalimat yang terlampau berlebihan. Begini kira-kira kalimat tersebut:

“Serangan tujuh hari tujuh malam yang dilakukan timnas Indonesia.”

“Peluang emas bercampur intan permata bertahtakan berlian.”

Baca juga: Istilah Baru Ciptaan Komentator Bola Indonesia

Jika diperhatikan, kalimat yang digunakan itu sah-sah saja. Tak ada yang salah. Bahkan itu membuat pemirsa bisa lebih menikmati dan terbawa suasana pertandingan (atau tontonan). Tapi di situlah pangkal masalahnya. Para pendukung via layar kaca menikmati pertandingan bukan karena pertandingan yang benar-benar ternikmati, melainkan karena tontonan sepakbola berikut suara lebay tak terkontrol para komentator yang hadir di sana.

Jorge Luis Borges juga menyinggung hal serupa lewat cerpennya yang berjudul Esse Est Percipi. Di sana, ia mengedepankan imajinasinya agar para pembaca yakin dan percaya bahwa sepakbola yang disaksikan melalui layar kaca bukanlah sepakbola sebagai permainan, tapi sepakbola sebagai simulasi yang dilebih-lebihkan (Zen RS: 2016).

Aura yang tak tertangkap juga simulasi berlebih-lebihan itu tidak ikut andil sendiri membuat perasaan seni menghilang. Kemajuan teknologi yang makin maju pun ikut terlibat. Dalam kasus konser seni musik kemajuan teknologi kamera telepon pintar adalah contoh pengganggu yang secara tidak disadari dalam menikmati konser musik. Sementara, dalam sepakbola hal itu mewujud dengan makin berkembangnya teknologi berupa teknologi garis gawang juga kamera di seluruh penjuru lapangan.

Permasalahan itu sendiri bermula pada banyaknya pelanggaran, tindakan pura-pura dilanggar, dan kontroversi masuk tidaknya bola ke gawang. Federasi yang mengurusi sepakbola, FIFA pun berusaha menciptakan solusi atas banyak pelanggaran dan kontroversi itu. Teknologi garis gawang dibuat agar keputusan masuk tidaknya bola ke gawang dapat dibuat dengan lebih akurat. Kamera-kamera di seluruh penjuru lapangan dipasang agar pelanggaran dapat diketahui dan wasit dapat mengambil keputusan dengan lebih baik. Namun, keluhan kemudian datang ketika teknologi-teknologi itu digunakan. Waktu kerap dihentikan sehingga keseruan menonton sepakbola di stadion terganggu dengan adanya break untuk memutuskan ada pelanggaran atau tidaknya.

Dari segi bisnis, sepakbola kadang membuat orang merasa muak. Industrialisasi dan komodifikasi yang dilakukan di seputar sepakbola membuat permainan itu menjadi sesuatu yang makin jauh dari niat awalnya, untuk bersenang-senang. Kasus yang paling dekat adalah ketika kompetisi AFF 2016 kemarin. Saat itu, ada peraturan yang menyebut bahwa pemain tim nasional Indonesia hanya bisa diambil maksimal dua orang dari setiap klub.

Hal itu dianggap berakibat pada permainan timnas. Pemain-pemain bagus dari klub yang sama tidak bisa dipanggil semua untuk ikut bertanding bersama timnas karena kompetisi ISC sedang berlangsung. Hal itu mengundang keluhan dari masyarakat Indonesia karena kompetisi dianggap lebih penting daripada timnas. Berbagai gerutuan muncul karena timnas tidak bisa juara. Angan-angan pun muncul bila saja kompetisi sepakbola di Indonesia dihentikan sementara, timnas mungkin saja sudah bakal merengkuh juara saat ini.

Contoh lain komodifikasi itu dapat kita dilihat dalam kompetisi di luar negeri. Kompetisi Liga Primer di Inggris merupakan satu dari sekian kompetisi besar di Eropa. Kompetisi ini juga disebut-sebut sebagai kompetisi paling populer dan kompetisi dengan pendapatan paling besar sedunia. Hal itu pun membuat kompetisi ini memiliki nilai jual lebih dibanding liga lainnya.

Klub-klub sepakbola yang terlibat dalam kompetisi ini pun ikut terpengaruh. Karena merasa memiliki nilai jual yang tinggi, klub-klub sepakbola itu pun menaikkan harga tiket masuk stadion. Kenaikan itu membuat para suporter pun melakukan protes karena harga terbaru dianggap terlalu mahal bagi para suporter yang kebanyakan adalah kelas pekerja.

Di lain waktu, komodifikasi pun berdampak pada klub itu sendiri. Media massa ikut terlibat dalam kasus komodifikasi ini. Contoh kasus itu terjadi pada masa transfer pemain Agustus lalu. Transfer Paul Pogba ke Manchester United dikeluhkan terlalu mahal oleh sebagian suporter Manchester United. Biaya transfer Pogba total 110 juta euro bisa terjadi disebut-sebut karena kerja media yang meramaikan kabar bursa transfer dengan kabar-kabar yang belum pasti.

Pelatih MU, Mourinho sendiri menyebut harga Pogba sebanding dengan kemampuan pemain itu. Namun tetap saja pada kenyataannya, keuangan United tetap terdampak cukup besar dengan biaya sebesar itu. Apalagi, kini Pogba belum bisa benar-benar menunjukkan kemampuannya secara penuh dan MU tidak berada pada peringkat di mana MU bisa dalam perburuan gelar juara.

Dalam contoh lain, komodifikasi itu pernah terjadi pada tahun lalu. Saat itu, tersiar kabar seorang pemain besar hendak pindah ke MU pula. Kabar itu gencar terdengar dan batas waktu transfer makin dekat. Klub yang memiliki pemain itu pun buru-buru menawarkan kenaikan gaji ada pemain itu. Akhirnya, pemain itu tidak jadi pindah dan gaji bertambah. Ada selentingan kemudian terdengar bahwa sebenarnya, rumor transfer yang tersebar di media itu hanyalah akal-akalan pemain itu agar bisa mendapatkan kenaikan gaji.

Begitulah, bagaimana kesenangan dalam sepakbola berubah. Perkembangan teknologi dan komodifikasi mengubah banyak hal hingga perlahan kesenangan yang timbul dari permainan itu pun memudar dan bahkan menghilang. Bagaimanapun, industri sepakbola terus berjalan. Para suporter masih terus mendukung klub-klub kesayangannya dan para pemain terus berlari mengejar bola. Dan entah sampai kapan hal itu bisa terus bertahan.

Para kontributor dalam esai ini merupakan mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad yang jatuh cinta pada satu hal yang sama, yaitu sepakbola. Dapat dihubungi lewat @zuhhadamd, @sptwn_, dan @nurcholislis. Tulisan ini merupakan hasil ringkasan dari penelitian yang dilakukan oleh keempat kontributor tersebut. Opini dalam tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab para kontributor.

Komentar