Antara Ultras Timnas dan Pondok Pesantren

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Antara Ultras Timnas dan Pondok Pesantren

Artikel #AyoIndonesia karya Irsyad Madjid

Jujur saja, menonton tim nasional Indonesia secara langsung bagi orang seperti saya adalah hal yang sulit. Bagaimana tidak? Lahir dan besar di pulau Sulawesi adalah kendala utamanya. Sebagai lambang tertinggi dari tingkat hierarki sepakbola nasional, timnas selalu bermain di ibu kota, atau kalau tidak di Manahan (Solo), tetap di pulau jawa. Hasilnya bisa ditebak, waktu saya kecil, tidak ada kenangan romantis antara saya dan timnas.

Dalam ingatan masa kecil, hanya ada final Liga Champions 2003 di mana sebagai Milanisti, klub favorit saya meraih juara. Atau mungkin, mundur setahun sebelumnya, memori indah yang terekam hanya final piala dunia 2002 antara Brasil dan Jerman dimana Ronaldo dengan rambut uniknya menjadi trendsetter anak kecil di masa itu. Timnas? Is it like a food or something?

Padahal, di awal dekade 2000-an, timnas dihuni oleh banyak legenda hidup sepakbola nasional, khususnya duet maut BP (Bambang Pamungkas) dan Si Kurus (Kurniawan Dwi Yulianto) di era pelatih Bendol jilid 1. Bahkan, di Piala Tiger 2002, sang ibu presiden pun menyempatkan waktunya untuk menonton timnas berlaga. Sementara saya? Tidak.

Di benak saya hanya ada warna merah-hitam bukan merah putih. Perkenalan saya dengan timnas pertama kali terjadi di tahun 2004 ketika masyarakat Indonesia ramai membicarakan bintang baru timnas yang masih berusia 18 tahun, Il Phenomenon-nya timnas, Boaz Salossa. Ditambah dengan kemenangan bersejarah melawan Qatar di Piala Asia 2004, euforia timnas merambah ke seluruh negeri.

Lanjut ke 2007, saat itu saya berusia 12 tahun yang mensyaratkan harus naik ke jenjang sekolah menengah pertama. Sayangnya, ayah saya memilih memasukkan saya di pondok pesantren. Usia saya 12 tahun dan waktu itu bola adalah segalanya bagi saya. Cita-cita saya tertulis rapi di buku perpisahan SD yang membuat ibu saya marah karena katanya memalukan dan kurang pretisius, yaitu; pemain sepakbola. Bagi seorang anak kecil pencinta bola, pondok pesantren adalah neraka yang menyengsarakan.

Di pondok artinya tidak ada lagi akhir pekan menonton liga Italia di TV jam 12 malam, tidak ada lagi momen adrenalin terpacu menyaksikan Boaz menggiring bola dengan kecepatan tinggi atau Syamsul berlari tiada henti mengejar bola ke segala sisi, layaknya Gennaro Gattuso di AC Milan. Di pondok pesantren, artinya, karier saya sebagai suporter timnas resmi berakhir.

Saya masih ingat, dibumbui oleh kecintaan yang tinggi akan perjuangan timnas di Piala Asia 2007, saya nekat menunda masuk ke asrama dan masih bersikeras tinggal di rumah meskipun sekolah sudah dimulai dan bersedia menanggung segala resiko dan hukuman seperti digunduli atapun lari keliling lapangan 10 putaran, demi menonton laga menentukan timnas melawan Arab Saudi di babak penyisihan grup Piala Asia. Bagi saya ini laga perpisahan. It’s so important for me.

Saya memang tidak termasuk diantara sekitar 87.000 ribu orang yang hadir di GBK dengan kaos merah putih, bukan lagi dengan jersey orange ataupun biru seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi boleh bertaruh, adrenalin dan semangat saya tak jauh berbeda dengan mereka. Meski akhirnya, gol kampret sundulan Yasser Al Qahtani di menit 90 membuyarkan harapan saya, dan seluruh masyarakat Indonesia waktu itu. Pengorbanan saya tak berbayar manis. Saya melepas timnas kembali ke pondok dengan kepala tertunduk.

Dan seperti yang saya duga, masuk ke pesantren membuat semua aktifitas suporter saya terhenti. Dengan berbagai kesibukan pondok yang sangat disiplin dan teratur, ditambah jadwal kepulangan yang diatur ketat, kalimat “menonton sepakbola” adalah kalimat yang diharamkan. Sama hukumnya dengan mencuri sandal teman di masjid. Maka sejak saat itu, ikatan saya dan timnas perlahan meluntur. Agenda timnas dimulai dari akhir 2007 semua saya lewatkan. Untung semuanya tidak begitu memuaskan, hehe. Piala AFF 2008 yang tidak sesuai ekspektasi, SEA Games 2009 yang gagal emas, dan yang lainnya.

Hingga tiba pada gelaran piala AFF 2010. Saat itu saya masih kelas 1 Aliyah di pondok. Saat itu, timnas kembali menjadi buah bibir di masyarakat. Tidak lain dan tidak bukan tentu karena revolusi yang dilakukan oleh pengurus pusat PSSI di bawah komando Nurdin Halid soal kebijakan naturalisasi pemain asing. Masyarakat penasaran dengan pengaruh dari kebijakan itu, berhasil atau tidak, sebanding atau tidak. Karena berbicara soal timnas adalah berbicara soal semangat nasionalisme.

Hal yang sangat sensitif jika dikaitkan dengan kebijakan naturalisasi. Kamu boleh seorang The Jak ataupun Viking, asal jersey-mu di GBK adalah Merah dan Putih, bukan orange atau biru. Kamu boleh seorang Aremania ataupun Bonek, tapi chant yang kau nyanyikan di GBK adalah “Garuda Di Dadaku, Garuda Kebanggaanku”, bukan chant yang berbau rasis dan saling menyerang. Tapi kalau kau seorang”outlander” yang menyanyikan lagu Indonesia Raya pun masih gagap, terlebih kau dianggap mewakili darah juang merah putih dengan lambang garuda di dada, bagaimana? Saya ragu. Masyarakat Indonesia ragu.

Hingga tiba waktunya, keraguan itu sirna dengan sempurna. Merah Putih menggila, bak Goliath bagi semua lawannya. Harus diakui, itu semua juga berkat pemain asing berwajah Eropa seperti Irfan Bachdim ataupun berwajah Amerika Latin macam "El Loco" Gonzales. Topik hangat timnas pun akhirnya menjalar memasuki wilayah pondok kami yang sebenarnya cukup terasing. Masyarakat sibuk membicarakan kegantengan Bachdim, kami sibuk membicarakan kecantikan Jennifer Kurniawan yang merupakan pacar Bachdim, orang sibuk membicarakan C. Gonzales, kami sibuk membicarakan Eva Gonzales*eh.

Intinya adalah, euforia itu kembali hinggap di tubuh saya. Militansi sebagai suporter pulih kembali. Mungkin sejalan dengan kata Rui Costa tentang AC Milan, Once Garuda Flows Through In your Veins, It Will Flow Forever In Your Blood. Sekali Garuda, kau akan tetap Garuda. Panggilan suporter akan selalu memanggil jiwa militansi yang mengalir di darahmu.

Maka 2010 menjadi tahun yang meninggalkan memori indah sekaligus lucu dan sedih bagi saya dan teman-teman saya di pondok. Dengan alasan kerja tugas, setiap kali timnas main, kami selalu minta izin untuk kerja tugas di rumah salah seorang ustad yang ada TV-nya sebagai modus demi menonton timnas. Jiwa suporter kami tidak bisa dibendung. Bahkan dengan segala resiko dan hukuman yang akan kami tanggung jika ketahuan.

Tapi, ternyata euforia itu membutakan saya dan teman-teman. Setiap kali timnas bertanding, asrama kelas 1 aliyah pasti selalu kosong. Penghuninya pergi entah kemana tanpa informasi yang jelas kepada pembina. Dan kami tidak berpikir sejauh itu, bukan karena kami bodoh, tapi yang ada di kepala kami hanya menonton timnas. Hingga tiba pada saat partai semifinal, tepat setelah El Loco menjebol gawang Filipina dengan tendangan kerasnya dari luar kotak penalti, tepat setelah teriakan gol membahana seisi ruangan, tiba-tiba dari belakang ada seorang pembina yang masuk dan tanpa satu kata “menyikat” kami semua yang ada di situ. Pertandingan belum berhenti, tapi kami sudah bubar duluan.

Yah, kami ketahuan. Entah siapa yang menjadi mata-mata ataupun pengkhianat di antara kami. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah timnas menang dan melaju ke Final. Seorang psikoanalisis asal Jerman, Erichh Fromm pernah mengatakan bahwa, seseorang akan terbentuk disebabkan oleh dua hal, ideologi dan lingkungannya. Dan kami, tumbuh di tengah kondisi masyarakat yang sedang menggemari sepakbola dan ideologi kami tentang nasionalisme juga sedang tinggi. Maka menonton timnas bukan lagi sebuah keinginan tapi kebutuhan.

Oleh karena itu, meskipun sudah ketahuan, kecintaan itu tak bisa dibendung. Di pertandingan final, kami mencari cara lain agar bisa tetap menonton timnas berlaga. Apalagi lawannya Malaysia, yang kemarin sudah dihancurkan 5-1 di penyisihan grup. Optimisme sedang meningkat. Maka hari di mana pertandingan itu dilangsungkan, strategi dijalankan. Saat kami menonton, asrama tidak kami biarkan kosong. Teman-teman yang tidak terlalu suka dengan sepakbola, kami minta bantuan agar tetap di asrama, sekaligus menginstruksikan kepada beberapa adik tingkat untuk berada di asrama, agar tidak kelihatan seperti kosong dan tidak ada aktivitas kegiatan yang berlangsung.

Namun sayang, Football Is A Stage of Drama, kata legenda sepakbola, Pele. Timnas yang diunggulkan dari segala sisi, ternyata kalah menyakitkan di leg pertama. Dan kekalahan itu tidak bisa dibalas dengan agregat yang sama ketika bermain di leg kedua di GBK.

Sekarang Boaz sudah berumur 30 tahun. Lini tengah tidak lagi mengandalkan Firman Utina, tapi ada nama Evan Dimas di sana. Pemain timnas tak lagi sama, kekuatan sepakbola kita sudah jauh berbeda. Tapi percayalah, suporter kita masih mempunyai semangat yang menggelora, masih menyanyikan lagu yang sama. Maka bayar semua loyalitas dan militansi itu dengan gelar juara...

#AyoIndonesia

“I eat football, I sleep football

I breathe football, I am not mad

I am just Passionate”

-Thierry Henry-

Penulis adalah seorang mahasiswa ekonomi semester VII di UMM Malang, seorang milanisti dan berasal dari kota daeng Makassar, bisa di hubungi lewat FB : Irsyad Madjid dan beredar di twitter dengan akun @Irsyad_Madjid. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

Komentar