Mengapa Kesebelasan Ibu Kota Totaliter Lebih Mudah Juara?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengapa Kesebelasan Ibu Kota Totaliter Lebih Mudah Juara?

Pertama, pemusatan sumber daya. Sentralisasi merupakan hal yang lazim dilakukan oleh penguasa di negara-negara totalitarian, artinya seluruh potensi sumber daya potensial dikerahkan ke ibu kota karena disanalah para pemimpin, birokrat, tentara dan mereka yang memiliki jabatan tinggal. Pembangunan dilakukan di berbagai sektor mulai dari infrastruktur, perekonomian hingga klub sepakbola lokalnya. Seperti yang dilakukan oleh Erich Mielke terhadap Dynamo Berlin, selama ia menjabat klub diberikan fasilitas dan finansial yang memadai bahkan seluruh pemain terbaik Jerman Timur bermain untuk Dynamo Berlin karena pengaruhnya.

Kedua, rakyat yang fanatik. Fanatik atau fanatisme yang dimaksud di sini mungkin lebih menyerupai perlakuan warga Korea Utara kepada Kim Jong Un saat ini. Kebanggaan dan kecintaan yang mereka pupuk terhadap pemimpinnya secara psikologis berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari termasuk ketika membela kesebelasan sepakbolanya. Coba sedikit kita bayangkan ketika Sir Alex Ferguson menjabat sebagai manajer Manchester United, kharisma yang diberikan Ferguson sangat berpengaruh terhadap moral dan performa pemain di lapangan. Tidak sedikit pemain yang ingin bertahan maupun datang ke Manchester United karena faktor keberadaannya. Bahkan kita yang hanya duduk manis di depan tv saja merasa kehilangan ketika ia memutuskan pensiun.

Ketiga, pemimpin yang otoriter. Gaya kepemimpinan tegas a la militer yang diterapkan oleh pemimpin membuat rakyat segan dan tunduk kepada pemimpinnya. Anggap saja hairdryer treatment yang kerap diberikan oleh Ferguson ketika ada pemainnya yang membandel. Hasilnya jauh dari kata mengecewakan, 38 titel ia berikan ketika menjajah Setan Merah selama 26 tahun. Ketakutan akan hukuman yang diberikan menuntun mereka untuk berbuat sesuai aturan dan arahan pemimpinnya.

Baca juga:

Sir Alex dan Petuahnya Untuk Para Rival

10 Hal Menarik dari Buku Terbaru Sir Alex


Mungkin ketakutan semacam itulah yang juga dirasakan oleh Antal Szabo ketika mengucapkan kalimat yang mengawali tulisan ini. Mendengar berita bahwa lawan mereka dihadiahi hairdryer treatment tepat sebelum pertandingan final, ia pun ‘rela’ gawangnya kebobolan sehingga timnya kalah di Piala Dunia. Adalah sebuah telegram yang dikirim langsung oleh kepala negara yang kental akan paham fasisnya, “Vincere o morire!”, “Menang atau mati!”, tulisnya. Benito Mussolini pun Juara Dunia.
Penulis saat ini tinggal di Leeds, Inggris. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Bungkoes

foto: beyondthefieldofplay

Komentar