Mengingat Legenda Sardinia yang Terlupakan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengingat Legenda Sardinia yang Terlupakan

Karya: Aditya Nugroho

Tak ada Sardinia di Serie-A musim ini. Nihilnya kehadiran kesebelasan dari Pulau Sardinia di musim 2015-2016 kali ini, semacam mengingatkan kembali kalau sepakbola Sardinia memang telah lama menjadi karib dengan ironi.

Cagliari, kesebelasan terbesar dari pulau tersebut, harus menerima kenyataan terdegradasi ke Serie-B. Dalam klasemen akhir musim 2014-15 lalu, mereka menempati posisi ke-18 klasemen. Setelah sanggup bertahan di Serie-A dalam 12 musim terakhir, kesebelasan yang identik dengan warna merah dan biru itu akhirnya harus merasakan kembali turun ke Serie-B.

Kenyamanan Gli Isolani, julukan Cagliari, di Serie-A memang begitu terganggu dalam beberapa musim terakhir sebelum terdegradasi beberapa bulan lalu. Mantan presiden mereka, Massimo Cellino, ikut andil memberikan masalah tambahan ketika memperbolehkan penonton memasuki stadion Is Arenas --kandang sementara Cagliari pengganti Sant’Elia—meski terdapat larangan bertanding tanpa penonton akibat stadion yang tidak memenuhi standar keamanan. Cagliari pun didenda 10 ribu euro oleh pengelola Serie-A dan dihukum kekalahan 0-3 atas Roma, yang saat itu bertindak sebagai kesebelasan tamu.

Permasalahan infrastruktur stadion ini memang cukup menggambarkan betapa sulitnya Cagliari untuk berdiri sejajar dengan klub-klub dari daratan utama Italia. Padahal, Rossoblu memiliki cerita yang layak dikenang sepanjang masa ketika berturut-turut tahun 1969 dan 1970 menduduki posisi runner-up dan juara Serie-A.

Atas kejayaan singkat itu, publik Sardinia begitu mengagungkan nama penyerangnya, siapa lagi kalau bukan Luigi ‘Gigi’ Riva. Penyerang tajam yang terkenal dengan tendangan keras kaki kirinya ini hijrah ke Cagliari pada 1963 dari kesebelasan Legnano.

“Ketika kali pertama datang, saya memiliki kesan bahwa pulau ini adalah tempat di mana penjahat diasingkan,” kenang Riva suatu kali.

Namun demikian, ternyata pulau itu adalah rumahnya, tempat di mana Riva menjalankan karier sepakbolanya hingga pensiun. Tidak hanya itu, pemain berjuluk Rombo di Tuono atau Suara Petir ini tampil sebagai pencetak gol terbanyak Serie-A sebanyak tiga kali selama membela Cagliari.

Kesetiaan Riva kepada Cagliari juga telah teruji. Dua kali ia menolak tawaran dari Juventus, klub tersukses di Italia. “Saya bisa mendapatkan gaji tiga kali lipat di Juventus, namun Pulau Sardinia telah membentuk saya sebagai manusia. Ini adalah rumah saya,” tegasnya.

Di kancah internasional, Riva juga yang mengharumkan nama Cagliari karena hingga kini masih memegang rekor pencetak gol terbanyak timnas Italia dengan 35 gol dari 42 penampilan. Tidak mengherankan jika Cagliari kemudian mempensiunkan seragam bernomor punggung 11 yang digunakan Riva.

Bagaimanapun, Riva tidaklah sendirian dalam membawa Cagliari meraih kejayaan singkat pada akhir dekade 1960an. Ada peran besar dari pelatih Manilo Scopgino. Pelatih berjuluk “Sang Filsuf” ini dipuji karena keahliannya dalam membaca permainan.

“Ia adalah seorang motivator yang membuat pemainnya merasa penting,” puji Angelo Domenghini, mantan pemain sayap Cagliari.

Ketika musim 1968-1969 berakhir, di mana Cagliari tampil sebagai runner-up di bawah Fiorentina, manajemen mendatangkan dua penyerang tambahan untuk menyokong ketajaman Riva. Mereka adalah Sergio ‘Bobo’ Gori dan Domenghini, dua penyerang Inter Milan yang menjadi bagian Il Grande Inter arahan Helenio Herrera. Keduanya didatangkan untuk ditukar dengan pasangan Riva di depan, Roberto Bonisegna.

Pertukaran ini memberikan keuntungan bagi Cagliari. Gori dapat bermain sebagai penyerang kedua di belakang Riva, sementara Domenghini menempati posisi sayap kanan. Sedikit mengingatkan pada sosok sayap kanan legendaris Torino yang meninggal muda, Luigi Meroni, kelihaian Domenghini di sisi kanan serangan tim memang tidak perlu diragukan. Ia tidak hanya memiliki kecepatan sebagai atribut wajib pemain sayap pada era itu, namun juga memiliki naluri gol yang tinggi dan visi yang baik.

Kepindahannya ke Cagliari tidak sia-sia. Domenghini tampil sebanyak 30 pertandingan mencetak delapan gol pada musim 1969-1970. Kontribusi ini terbayar dengan scudetto. Pemain kelahiran kota Lallio ini kelak memperkuat Cagliari selama empat musim, lalu hijrah ke Roma, Hellas Verona, Foggia, Olbia dan mengakhiri karir di Trento pada 1979. Ia mencetak 98 gol dari total 390 laga kompetisi Seri A.

Sedikit menengok ke belakang, Domenghini memang seperti ditakdirkan untuk meraih banyak trofi dalam kariernya. Sebelum merebut lima trofi bersama Inter, ia sempat meraih titel Coppa Italia bersama klub tempatnya mengawali karier, Atalanta. Dalam laga final, pemain kelahiran 1941 ini bahkan mencetak hattrick ke gawang Torino.

Keberhasilan merebut titel juara bersama Cagliari membuat Domenghini dan lima rekannya dipanggil untuk memperkuat timnas Italia di Piala Dunia 1970. Selain trio Riva-Gori-Domenghini, juga terdapat kiper Enrico Albertosi, bek Pierluigi Cera dan gelandang bertahan Communardo Niccolai. Ditopang pemain-pemain ini, timnas Italia pun berhasil melaju hingga babak final. Hanya timnas Brasil yang diperkuat fantastic five Pele, Gerson, Rivelino, Jairzinho dan Tostao-lah yang mampu menghentikan mereka.

Ironisnya, kesuksesan memang tidak selalu berbanding lurus dengan popularitas. Domenghini kerap tersenyum getir ketika wartawan maupun publik tidak memandangnya sebagai bintang utama.

“Ketika masih memperkuat Inter, mereka selalu membicarakan (Luis) Suarez, (Sandro) Mazzola, dan (Mario) Corso. Di Cagliari, mereka membicarakan Riva,” ujarnya seperti dikutip dari Storie Di Calcio. Terdengar nada cemburu dari perkataan itu, yang tentu saja manusiawi.

Pemain dengan kisah seperti Domenghini memang tidak sedikit. Berperan sama besar –hanya kalah dalam urusan mencetak gol atau kebintangan di lapangan- namun mendapat porsi perhatian yang tidak banyak. Di era sekarang, mungkin kisahnya seperti Sergio Busquets bagi Lionel Messi, Youri Djorkaeff bagi Zinedine Zidane, atau Gennaro Gattuso bagi Ricardo Kaka. Ia seperti seorang sidekick bagi sang pemeran utama.

Perannya memang tidak terlalu terlihat, namun pemeran utama tidak akan mampu menang tanpa kehadirannya. Di dunia fiksi, karier Domenghini sedikit mengingatkan kita pada sosok Taro Misaki dalam film Kapten Tsubasa, Kazuhiro Hiramatsu pada film Shoot!, Luigi pada Super Mario Bros, ataupun seorang Samwise Gamgee yang begitu tulus membantu Frodo Baggins dalam trilogi Lord of the Rings.

Tetapi dengan koleksi gol dan gelar yang didapat, tidak ada alasan bagi Domenghini untuk berkecil hati. Bagi Inter, Cagliari dan timnas Italia, ia tetaplah seorang legenda. Dari kontribusinya pula, wajah Pulau Sardinia bertransformasi dari sebuah pulau tak terawat menjadi destinasi wisata terkenal dengan pantai yang indah, serta menjadi tempat berlibur orang-orang kaya di atas kapal pesiarnya.

Domenghini boleh tak populer, namun dari permainannya ini lahirl peman-pemain sayap kanan ofensif Italia pada generasi setelahnya, seperti Bruno Conti, Diego Fuser, Attilio Lombardo hingga Francesco Moriero. Kebetulan, hari ini (25/8) Domenghini berulang tahun ke-74.

Selamat ulang tahun, legenda!

Penulis cukup sering menulis tema ekonomi sepakbola, dapat dihubungi melalui akun twitter: @aditchenko.

Komentar