Karena Hidup Terus Berjalan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Karena Hidup Terus Berjalan

Oleh: Soni Indrayana


Selain kematian dan perubahan, dunia tidak menjanjikan kepastian.

Saya rasa kalimat tersebut tidak sulit dipahami. Dan yakinlah: kehidupan hari kemarin tidak akan sama dengan kehidupan esok hari. Semuanya pasti berubah. Semuanya pasti berganti seiring berjalannya waktu.

Cinta pun begitu. Mencintai itu lumrah, namun bukan berarti dengan cinta semuanya akan tetap sama. Kita tidak bisa menutup diri terhadap segala kemungkinan.

Dalam semesta sepakbola, beberapa pemain memilih mencintai klub mereka dengan sepenuh hati. Cinta adalah alasan utama bagi orang-orang seperti Paolo Maldini, Javier Zanetti, Antonio Di Natale, Ryan Giggs, dan Francesco Totti mengakhiri karier di klub yang mereka bela dalam jangka waktu yang lama (Totti belum pensiun, tapi hampir dapat dipastikan bahwa Totti akan pensiun di AS Roma dan menjadi bagian dari direksi klub) dan kemudian melanjutkan pengabdian di klub-klub yang menjadikan namanya harum itu. Masih banyak contoh-contoh yang lain, tapi bukan itu yang hendak dibahas.

Orang pacaran diharapkan move on setelah putus dan pacarnya berubah status menjadi mantan. Hal yang sama berlaku dalam sepakbola. Move on adalah salah satu metode untuk melangkah maju. Tidak, tidak. Bukan berarti mengenang masa lalu itu haram, tapi yang jelas masa lalu harus ditinggalkan dan diganti dengan masa kini.

Ayo kita mulai bahas soal Sepakbola saja biar tidak terlalu baper.

Coba perhatikan bagaimana seorang Sinisa Mihajlovic yang pernah menjadi pemain bintang di Lazio dengan tendangan bebasnya, mulai musim 2015/2016 adalah seorang pelatih bagi klub rival, AC Milan, yang notabene juga adalah musuh bebuyutan Internazionale, klub tempat Mihajlovic mengakhiri kariernya sebagai pesepakbola.

Di Lazio, Miha adalah pujaan. Selama enam musim di Olimpico, ia menghadiahkan gelar Piala Winners 1998/99, Coppa Italia musim 1999/2000  dan 2003/04, UEFA Supercup 1998/1999, dan yang paling prestisius tentunya gelar scudetto pada musim 2000/01. Di Inter? Miha masih sempat menyumbang tenaga untuk dua trofi Coppa Italia musim 2004/05 dan 2005/06, serta scudetto yang disebut-sebut sebagai hadiah calciopoli pada tahun 2006. Ketika kini Miha diangkat menjadi pelatih Milan, tentu ada kejutan di dalamnya (terlepas dari prestasinya membawa Sampdoria menjadi klub papan atas Serie-A musim lalu). Ia adalah legenda Lazio, dan pensiun di Inter. Dua klub ini sudah menjadi rival Milan sejak lama.

Sebelumnya, pria yang akrab disapa Miha ini mengungkapkan bahwa ia mencintai Inter dan sulit baginya melatih AC Milan. Daripada dikatakan menjilat ludah, lebih baik disebut sebagai move on saja bukan? Lagipula kalau Miha menjilat ludah, ia tentu harus move on dulu dari masa lalunya.

Di Jerman ada nama Matthias Sammer yang dalam lima tahun terakhirnya sebagai pemain membela Borussia Dortmund (1994-1999). Sammer juga sempat menjadi pelatih Dortmund selama empat tahun sejak 2000. Selama membela Die Borussen  sebagai pemain, Sammer mempersembahkan raihan dua trofi liga Jerman (1994/95 dan 1995/96), dua trofi DFB Supercup (1995 dan 1996), dan satu gelar juara Liga Champions pada musim 1996/97.

Setelah pindah haluan menjadi pelatih, Sammer memberikan gelar juara Bundesliga musim 2001/02 serta membawa Dortmund mencapai posisi runner-up pada DFB Pokal tahun 2003 dan UEFA Supercup setahun sebelumnya. Dengan semua raihan itu, layaklah rasanya Sammer disebut salah satu orang yang berjasa bagi Dortmund. Tapi bagaimana setelahnya?

Kini Matthias Sammer malah menjabat posisi direktur di lawan abadi Dortmund, FC Bayern Munchen. Entah apa yang menjadi alasan utama, tapi yang jelas Sammer mampu move on dari Dortmund yang mengisi hari-harinya selama kurang lebih sepuluh tahun. Sekilas seperti pengkhianatan, tapi tanpa faktor move on, pengkhianatan pun sulit dilakukan.

Kembali ke Italia, ada nama Leonardo Araujo. Gelandang Brasil ini adalah salah satu pemain yang pernah membela AC Milan selama lima tahun dalam kurun waktu 1997-2001 dan 2002-2003. Pasca purna tugas sebagai pemain, ia diangkat menjadi pemandu bakat dan memiliki jasa besar dalam mendatangkan pemain-pemain bintang AC Milan di era kepelatihan Carlo Ancelotti, diantaranya adalah Ricardo Kaka dan Alexandre Pato.

Selain menjadi pemandu bakat, Leo juga menjadi direktur teknik AC Milan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai pelatih di awal musim 2009/10 saat Carlo Ancelotti memutuskan untuk move on dengan pindah ke London; menuju Chelsea di akhir musim sebelumnya.  Meskipun mengawali karier kepelatihannya di Milan dengan serangkaian hasil buruk, toh pada akhirnya Leonardo tetap mampu menjaga level permainan Milan sebagai tim papan atas eropa dengan gaya main ultra offensive dalam formasi 4-4-2 fantasista walaupun saat itu baru saja ditinggal Kaka, sang megabintang.

Perjalanan karier Leonardo di Milan berakhir saat ia berselisih paham dengan presiden Silvio Berlusconi. Hanya semusim mengomandoi Milan, Leonardo kemudian mengundurkan diri pada akhir musim dan posisinya digantikan oleh Massimiliano Allegri. Apa yang terjadi kemudian? Tidak sampai setahun pasca lengser dari jabatan pelatih AC Milan, Leonardo malah menerima pinangan Massimo Moratti, presiden Internazionale, dan didaulat menjadi pelatih baru menggantikan Rafael Benitez. Inter yang kala itu hancur-hancuran di tangan Benitez setelah berjaya dengan treble winners, dibawanya melambung tinggi ke posisi dua klasemen dan nyaris merebut posisi teratas dari tangan klub lamanya, Milan. Berbeda saat di Milan, Leonardo malah menghadiahkan trofi Coppa Italia bagi Inter. Sesuatu yang tidak pernah diberikannya selama menjadi pelatih di Milan. Sakit hati lalu move on? Tentu saja.

Masih di Italia, kali ini kita bahas Paulo Sousa: pelatih Fiorentina pengganti Vincenzo Montella sejak 2015/16. Sekilas, penunjukan Sousa adalah wajar mengingat ia berprestasi selama menangani klub Swiss, FC Basel. Namun yang menarik adalah, Sousa merupakan mantan pemain Juventus yang meraih gelar Liga Champions pada tahun 1996. Tidak perlu dijabarkan lebih lanjut betapa bencinya supporter Fiorentina pada Juventus. Para pendukung Fiorentina pada awalnya menentang kehadiran Sousa di Artemio Franchi.

Hanya memperkuat Juventus selama dua tahun, barangkali tidak sulit bagi pria Portugal ini untuk move on melupakan Juventus, yang sulit dan mau tidak mau harus dilakukannya dengan persembahan prestasi adalah membawa segenap penggemar Fiorentina untuk move on dari kenangan akan masa bermain yang penah ia jalani bersama Juventus. Tapi paling tidak, pramusimnya bersama Fiorentina berjalan baik.

Thiery Henry juga tidak jauh berbeda. Memainkan 254 lama bersama Arsenal dengan sumbangsih 174 gol, dua gelar liga musim 2001/02 dan 2003/04, serta FA Cup dan Community Shield dalam kurun waktu delapan tahun, maka layaklah ia disebut sebagai salah satu legenda Arsenal. Tahun 2007 ia pindah ke Barcelona. Meski hanya dua tahun di sana, Henry bergelimang gelar dan mendapatkan sebuah trofi yang belum pernah ia raih, Liga Champions. Padahal tahun 2006, ia nyaris membawa Arsenal juara Liga Champions saat menantang Barcelona di partai puncak. Keberhasilan Henry, terlepas dari jam bermainnya di Barcelona, adalah hasil dari move on yang ia lakukan. Bayangkan apabila ia tetap di Arsenal yang malah tidak pernah lagi juara liga sejak terakhir kali diraih bersama Henry nyaris satu dekade silam.

Semua kisah yang dijabarkan di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah move on di dunia sepakbola. Masih banyak kisah-kisah menarik lainnya seperti Carlos Tevez, Samir Nasri, Kolo Toure, Andrea Pirlo dan lain-lain. Musim 2015/16 juga akan diwarnai dengan para pelaku move on baru lainnya seperti Bastian Schweinsteiger, Arturo Vidal, Maurizio Sarri, Pedro Rodriguez dan Andrea Pirlo yang meninggalkan Juventus setelah euforia empat scudetto beruntun.

Kalau mereka yang berprestasi untuk klub dan negara saja bisa move on, kalau mereka yang menorehkan kenangan manis bersama satu klub saja bisa memulai cerita berbeda dengan kesebelasan lain, kok kita move on dari pacar saja susah?

Belajarlah dari para pesohor dunia sepakbola. Tinggalkanlah yang lama. Karena hidup terus berjalan...


Penulis adalah seorang mahasiswa yang berdomisili di Pekanbaru. Penyuka psikologi, film, buku, sepakbola, dan lagu. Dapat dihubungi di akun Twitter @soniindrayana.

Komentar