Arsenal yang Kompak dalam Kebaikan dan Keburukan

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Arsenal yang Kompak dalam Kebaikan dan Keburukan

Karya Yusuf Abdul Qohar


Ada satu trofi yang sangat dirindukan pendukung Arsenal: gelar juara Liga Primer Inggris. Trofi tertinggi dalam piramida kompetisi di negeri Ratu Elizabeth telah lama tak singgah di etalase piala di Emirates Stadium. Trofi yang telah belasan tahun tak kunjung singgah -- layaknya mantan yang sudah satu dasawarsa tak pernah menyapa, hilang ingatan akan perawakannya tapi tetap menggetarkan hati ketika namanya diucapkan.

Pendukung Arsenal adalah yang paling sering menghadapi cercaan, hal serupa dialami pendukung Liverpool. "10 tahun tanpa gelar" atau "20 tahun tanpa trofi Liga Primer" adalah cap yang kerap dijadikan amunisi pendukung kesebelasan lain untuk menyerang Gooners dan Liverpudlian. Bahkan ajaibnya, pendukung Arsenal dan Liverpool bisa saling bertukar ejekan satu sama lain.

Terlepas dari semua itu, kedua pendukung memiliki kesamaan, yaitu kerap berbesar hati dan membanggakan sejarah klub serta pemain-pemain bintang yang pernah membela klub kesayangan mereka. Yang membedakan adalah Arsenal masih langgeng bersama manajer Arsene Wenger hingga saat ini dan dapat menjuarai Piala FA dua kali berturut-turut, sementara Liverpool telah delapan kali merombak manajerial klub hingga ditangani oleh Brendan Rodgers saat ini.

* * *

Saya teringat kisah-kisah masa lalu pendukung Arsenal beberapa tahun silam, terutama sebelum menjuarai Piala FA secara emosional dan dramatis pada tahun 2014. Sebagian besar pendukung Arsenal adalah manusia berjiwa besar dan pemaaf, hanya sebagian kecil yang memberontak dan ingin perombakan besar-besaran dalam manajerial dan kepelatihan Arsenal.

Kita tentu ingat ketika Arsenal berpeluang mengakhiri nir-gelar di laga final Piala Carling edisi 2010-11. Sudah barang tentu banyak yang mengunggulkan Arsenal daripada Birmingham yang saat itu terseok di zona degradasi klasemen Liga Primer. Ditambah skuat Arsenal saat itu sedang sehat walafiat, suatu momen langka yang hanya beberapa kali terjadi di skuat Arsenal.

Kenyataan memang begitu menyakitkan, hasil akhir pertandingan di luar dugaan banyak pihak. Arsenal dipermalukan lewat gol yang dicetak oleh Nikola Zigic di paruh babak pertama. Beruntung Robin van Persie bisa menyelamatkan muka Arsenal menjelang babak pertama usai. Naas, cedera RvP kambuh saat pertandingan menyisakan 20 menit di waktu normal. Masuknya duo striker yang lebih segar, Lord Bendtner dan Chamakh, bahkan tak dapat membalikkan keadaan.

Kejadian konyol nan tragis terjadi di menit akhir babak kedua. Kesalahan komunikasi antara Koscielny dan Szczesny berakibat fatal. Hasil akhir pertandingan tersebut akan terus melekat di ingatan Gooners, terlebih bagi mereka yang berekspektasi besar pada saat itu.

Old Trafford 2011, Andfield dan Stamford Bridge 2014. Emirates Stadium melawan Monaco 2015. Hanya menyebut beberapa. Terlalu banyak aksi "cemerlang" yang tercatat dalam buku hitam Arsenal kala dibawah asuhan Arsene Wenger. Dan hebatnya lagi pendukung Arsenal mudah memaafkan kenangan "manis" tersebut dalam tempo beberapa pekan saja.

Jampi-jampi untuk melupakan kenangan "manis" itu sederhana saja: "Zulizuka kudhakbumuluk Wenger hufttt gegethkasadhy." Kalau di-Inggris-kan kira-kira berarti: "In Wenger we trust."

* * *

Hasil akhir 0-2 pada laga pertama Arsenal pada musim ini kontra West Ham United adalah bukti Wenger tak pernah meninggalkan filosofi Arsenal Way-nya.

Victroia Concordia Crescit. Victory Comes from Harmony (maknanya: kemenangan datang dari keharmonisan). Begitu slogan bersahaja yang menggambarkan Arsenal dari masa ke masa.

Sayangnya, keharmonisan tim kerap disalahartikan oleh pemain Arsenal sendiri. Harmonisasi atau kekompakan dalam membangun serangan dan pertahanan yang baik tentu berakhir dengan hasil yang baik pula. Lain halnya jika kekompakan disalahgunakan. Misalnya saat salah satu kawan setim sedang tampil di bawah performa, pemain lain sekonyong-konyong melakukan hal yang sama agar keharmonisan tim tetap terjaga. Kompak dalam kebaikan, kompak pula dalam keburukan. Filosofis memang, tapi berujung pada kesemrawutan.

Sampai pada titik tertentu, jatuh ke lubang yang sama adalah sebuah keniscayaan yang selalu dapat diterima oleh pendukung Arsenal. Bahkan sampai titik tertentu, Arsenal "telat panas" adalah sebuah atribut yang tak boleh ditinggalkan oleh siapapun yang membela klub ini. Padahal jika mampu mengawali dan mengakhiri musim dengan mulus, kenapa mesti pilih skenario yang sama setiap musim?

foto: commons.wikimedia.org

Penggemar sepak bola layar kaca setiap akhir pekan. Kontributor beberapa media (kurang terkenal) dan narablog (yang juga kurang terkenal). Bisa dihubungi melalui akun twitter: Bisa dihubungi melalui akun twitter: @yusabdul

Komentar