Menikmati Tayangan Sepakbola di Daerah Terpencil

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menikmati Tayangan Sepakbola  di Daerah Terpencil

Dikirim oleh: Musafirul Huda*

Penulis mengikuti program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) pada September 2013 hingga Agustus 2014. Inti dari program tersebut adalah menjadikan sarjana sebagai tenaga pendidik di daerah yang termasuk dalam kategori terdepan, terluar, dan tertinggal.

Daerah-daerah tersebut biasanya sulit dijangkau dan diakses pemerintah seperti pedalaman Aceh, perbatasan Kalimantan, NTT, Maluku, dan di pelosok Papua. Mengajar di daerah yang penuh keterbatasan tentu berbeda dengan mengajar di daerah perkotaan atau di Pulau Jawa pada umumnya. Saya terbilang beruntung karena mengajar di Dusun Utaseko, Desa Were III, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada, Flores; tepatnya di sebuah SMP yang baru satu tahun berdiri, SMPN 6 Golewa.

Rekan-rekan di Pulau Jawa, adakah yang pernah mendengar nama dusun di atas?-red.

Membayangkan hidup di tempat terpencil tentu saja sulit. Apalagi, saya selama menjadi mahasiswa selalu mendapatkan fasilitas air, listrik, sinyal komunikasi, dan internet yang seakan tanpa batas. Di tempat saya mengajar, aliran listrik disuplai dari generator tenaga air yang menyala tiap pukul 18.00 hingga 6.00 pagi.

Mimpi buruk itu pun datang. Baru tinggal dua bulan, generator rusak. Hal tersebut membuat saya terpaksa menikmati sisa-sisa hari hingga Agustus tahun berikutnya dalam kegelapan total.

Permasalahpun muncul: saya tak bisa menikmati tayangan sepakbola dalam bentuk apapun selama setahun. Saya pun sudah membulatkan tekad untuk tidak menyaksikan pertandingan liga top Eropa dan tentu saja Piala Dunia 2014.

Alasan tersebut bukannya tanpa dasar. Meski ada beberapa warga yang kelebihan finansial dengan memiliki televisi dan parabola, tapi siaran tetap tidak dapat kami terima. Jangankan sepakbola luar negeri, pertandingan Liga Indonesia sekalipun tidak bisa kami saksikan.  Di zaman yang serba menggunakan uang, tentu ada harga yang harus dibayarkan untuk menikmati tayangan sepakbola. Hal tersebut belum mampu dijangkau oleh warga di kampung kami—di sebagian wilayah di republik ini pun barangkali demikian.

Masyarakat di kota-kota besar di Pulau Jawa barangkali bisa mengakalinya dengan mencari tautan streaming. Tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan di sini; di tempat yang sinyal internet EDGE saja timbul tenggelam dimakan angin dan bukit-bukit yang menjulang tinggi.

Di balik semua keterbatasan tersebut, saya tidak berkecil hati dan tetap mengabdi sebagai pendidik. Uniknya, hampir semua murid di kelas mengikuti perkembangan sepakbola luar negeri. Sehingga ketika saya membahas bab sepakbola di kala senggang, mereka tetap nyambung dalam pembicaraan.

Umumnya, kesebelasan idola mereka dikategorikan seperti ini (1) Fans Real (mereka lebih suka menyebut Real Madrid dengan Real, bukan seperti kita yang menyebutnya dengan Madrid), (2) Fans Barcelona dan (3) Gabungan antara mereka yang bukan fans Real dan Barca. Golongan ketiga ini biasanya penggemar kesebelasan Liga Italia yang kebanyakan AC Milan dan kesebelasan big four Liga Inggris ditambah Manchester City (baca: Liverpool-red).

Mudah bukan mengambil hati mereka? Cukup sedikit pengetahuan tentang kesebelasan idola dan dalam sekejap saya semacam menjadi pundit bagi mereka. Tak lupa—tentu saja—saya merecoki mereka dengan hal-hal yang berbau Manchester United, kesebelasan favorit saya.

Real Madrid dan Barcelona, sebagai kesebelasan dengan penggemar mayoritas, tentu memegang peranan penting dalam setiap pembicaraan. Tiap akhir pekan atau tengah pekan saat mereka bermain di Liga Spanyol ataupun Liga Champions, setiap anak yang bertemu dengan saya pasti menanyakan skor kesebelasan kesayangan mereka. Untuk itu saya selalu membuat persiapan. Sehabis sholat subuh, saya berusaha untuk mencari tahu di sejumlah situs berita dan situs sepakbola untuk mendapatkan setidaknya hasil pertandingan lewat sinyal EDGE dari gawai (gadget) lama yang sering kehabisan daya baterai.

Sekitar pukul setengah tujuh pagi, saya tiba di sekolah dan mulai membuka pintu-pintu kelas (sekolah kami tidak ada penjaga sekolah, sehingga kunci ruangan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab saya setiap pagi dan siang sepulang sekolah). Saat satu-persatu anak datang dan mengucapkan salam, dimulailah pertanyaan-pertanyaan polos tersebut: “Semalam, Real menang tidak pak guru?” atau “Barca menang atau kalah pak guru?”.

Tentu saja sebagai pundit terpercaya, dengan gaya yang meyakinkan sembari mengatur kebersihan kelas, mulailah saya menjelaskan skor pertandingan, pencetak gol, dan sedikit jalannya pertandingan yang itupun saya dapatkan dari situs berita sepakbola.

Rutinitas yang lucu mamang, tetap dengan antusias anak murid terhadap kesebelasan yang mereka idolai, terselip rasa bangga karena bisa menjadi pemberi informasi bagi mereka. Belum lagi kalau ada El Clasico, atmosfernya pun terbawa sampai sekolah. Kehadiran saya di kelas pun amat ditunggu untuk menceritakan jalannya pertandingan.

Pembicaraan yang paling sering adalah tentang dua ikon kesebelasan tersebut, Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Sebagai penggemar Manchester United, tentu saya masih menyimpan nostalgia dengan Ronaldo, sehingga sering seringlah saya berada di pihak Real untuk masalah yang satu ini. Bahkan tak jarang anak murid ada yang meniru habis gaya rambut dari Ronaldo, tentu saja tak bertahan lama karena harus berhadapan dengan Bagian Kesiswaan yang tanpa ampun memotong habis gaya rambut yang aneh-aneh itu.

Sesekali saya juga menyelipkan cerita tentang Timnas Indonesia, bukan yang senior tentunya, tetapi tentang timnas U-19 yang waktu itu sedang harum namanya. Bukan hanya prestasi di lapangannya, tetapi juga keberhasilan anggota timnas U-19 mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah S1 di Universitas Negeri Yogyakarta, almamater saya. Karena bukan sekali dua kali, dulu semasa kuliah saya menonton latihan timnas baik senior, U23 ataupun U19 di lapangan UNY dan itu saya ceritakan ke anak murid dengan bangga.  Tak lupa juga saya ceritakan sedikit untuk memotivasi mereka kalau rajin belajar dan berlatih, tentu segala keinginan mereka bisa tercapai seperti para Garuda Muda. Dan terakhir, ada sedikit candaan untuk anak murid yang sering saya katakan pada mereka, “Kalau kau tak mau rajin belajar, banyak-banyak lah bermain bola, tetapi lebih baik lagi kalau kau melakukan keduanya.”


*Penulis merupakan pengajar muda yang saat ini sedang menempuh Pendidikan Profesi Guru di Universitas Nusa Cendana Kupang, beredar di dunia maya via @koloni_musafir.

Ilustrasi: themiamihurricane.com

Komentar