Antara Juanfran, Atleti, dan Real

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Antara Juanfran, Atleti, dan Real

Hidup menyimpan berjuta kejutan. Lahir di tengah keluarga yang menggilai Real Madrid, belajar sepakbola di La Fabrica (akademi Real Madrid), tetapi mencapai puncak karier bersama Atlético Madrid. Inilah kisah Juan Francisco Torres Belén alias Juanfran.

Kita mengenal Madrid sebagai salah satu kesebelasan paling glamor di dunia. Sudah bukan hal aneh jika jebolan La Fabrica justru bersinar bersama kesebelasan lain. Hanya segelintir dari mereka yang berhasil menjadi tulang punggung skuat utama Los Blancos.

Gembar-gembor filosofi `Zidanes y Pavones` yang diusung oleh Florentino Pérez tak lebih dari sekadar angin lalu. Semua tenggelam oleh Galacticos-Galacticos baru yang dibeli dengan harga mahal dari pelbagai belahan dunia. Juanfran muda mengalaminya langsung.

Pria yang lahir di Crevillent pada 9 Januari 1985 ini pernah merasakan tempaan Castilla. Ia bahkan berkesempatan untuk promosi ke tim utama pada 2004 dan sempat tampil sebanyak enam kali. Namun persaingan yang begitu ketat membuatnya terpaksa angkat kaki pada 2006. Ia berlabuh di Osasuna.

Meski telah berpisah, hidup beberapa kali tetap mempertemukan Juanfran dengan El Real. Bukan pertemuan biasa, melainkan pertemuan yang membentuk karier seorang Juanfran. Yang pertama adalah ketika dia menyelamatkan Osasuna dari degradasi tepat dalam laga terakhir musim 2008/09. Tendangannya dari jarak jauh membawa Osasuna menang 2-1. Lawannya? Real Madrid.

Performa Juanfran, yang kala itu bermain sebagai pemain sayap, di Osasuna membuatnya dilirik oleh Atléti. Dia didatangkan ke Vicente Calderón pada awal tahun 2011. Dalam debutnya, dia menelan kekalahan 1-3. Yang dilawan? Real Madrid.

"Aku sangat berterima kasih kepada Madrid atas tahun-tahun yang kulalui di sana, [mulai dari] cara mereka memperlakukan dan [hingga cara] melatihku, tetapi sekarang aku adalah pemain Atlético Madrid dan aku menyadari bahwa aku membela warna [seragam] terbaik," ucap Juanfran kepada laman resmi UEFA menjelang Final Liga Champions 2014 melawan Madrid.

Kita semua sama-sama tahu, Madrid meraih La Decima setelah menang 4-1 atas Atléti dalam laga di Lisbon tersebut.

***

Juanfran telah lebih dari 300 kali membela Atléti di seluruh kompetisi. Angka yang menjadikannya sebagai salah satu pemain Atléti dengan jumlah penampilan terbanyak di era mileninum ketiga ini.

Kesuksesan Juanfran mematenkan diri di skuat utama Los Rojiblancos tidak bisa terlepas dari peran pelatih Diego Simeone. Nama terakhir memaksanya mengubah posisi menjadi bek kanan, posisi yang kemudian mengantarkan dirinya dipanggil ke Tim Nasional Spanyol pada 2012.

Peran Simeone bagi Atlético begitu besar. Dia adalah pelatih yang mampu mengubah status kesebelasan dari nomor dua asal ibukota menjadi salah satu kesebelasan papan atas Eropa. Sebagaimana sepakbola adalah olahraga yang berlandaskan kerjasama tim, maka peran Simeone bagi individu pemain lebih besar lagi.

Meyakinkan para pemain bahwa ide permainannya merupakan jalan eksak menuju kejayaan merupakan salah satu kualitas terbaik yang dimiliki Simeone. Sebut saja Gabi, Diego Godín, Koke, Saúl Ñíguez, hingga Antoine Griezmann. Semua tunduk pada El Cholo, termasuk Juanfran.

Idenya simpel: korbankan segalanya dan berikan yang terbaik bagi tim. Semangat pantang menyerah itulah yang kemudian dapat kita lihat dalam setiap permainan Atléti. Keras dan lugas.

"Aku hanyalah bagian kecil dari sejarah kesebelasan ini. Ketika aku sudah berhenti bermain, aku tidak ingin orang-orang mengingatku sebagai seseorang yang bermain dalam 300 atau 400 laga. Aku lebih ingin dikenang sebagai seseorang yang memberikan segalanya dalam setiap pertandingan," jelas Juanfran kepada Marca, seraya menggambarkan prinsip lain Simeone: tidak ada satupun pemain yang lebih besar dari tim.

Tentu wajar jika Juanfran menjadi salah satu idola publik Vicente Calderón. Totalitasnya kepada kesebelasan membuatnya memiliki legitimasi penuh atas cinta dari para suporter, bahkan setelah Final Liga Champions 2016.

Malam itu, 28 Mei di Stadion Giuseppe Meazza, menjadi malam yang tidak pernah dilupakan sepanjang karier Juanfran. Dia, setidaknya dalam periode waktu normal, adalah pahlawan. Berkat insting dan pengalaman sebagai winger, dia merangsek maju, melepaskan umpan matang untuk diselesaikan Yannick Carrasco yang membuat skor menjadi imbang 1-1.

Laga berlanjut hingga babak adu penalti. Hanya ada satu penendang yang gagal. Dia bernama Juanfran. Sebuah kegagalan yang mampu dimaksimalkan oleh tim lawan untuk memenangi pertandingan. Sial, sang lawan (lagi-lagi) bernama Real Madrid.

Komentar