Memantik Amarah Lewat Surat Ala Chimbonda

Backpass

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Memantik Amarah Lewat Surat Ala Chimbonda

Pascal Chimbonda tidak setenar Zinedine Zidane, Thierry Henry, atau bahkan William Gallas. Namun nama-nama itu pernah berada di dalam bus dan hotel yang sama dengan Chimbonda pada Piala Dunia 2006 di Jerman. Ketika Prancis takluk dari Italia di final, Chimbonda tengah duduk meratapi kekalahan dari bangku pemain cadangan.

Kekalahan itu bukan satu-satunya hal yang ia sesali sebagai pesepakbola. Kepada media, ia mengungkapkan penyesalan terbesar dalam kariernya justru datang dari tulisannya sendiri. Loh bagaimana bisa?

Pada 7 Mei 2006, berlangsung partai pamungkas musim liga Inggris 2005/06 antara Arsenal kontra Wigan Athletic. Pertandingan itu berakhir dengan skor 4-2 untuk Arsenal. Henry menjadi pahlawan pada laga terakhir yang dimainkan di stadion Highbury dengan mencetak hat-trick.

Setelah peluit panjang ditiup wasit, pemain Wigan tertunduk lesu termasuk Chimbonda. Rasa kecewa tampak menyelimuti anak asuh Paul Jewell. Chimbonda mengekspresikan rasa kecewa itu dengan menulis sebuah surat, lengkap dengan amplop yang tertutup rapi. Dalam surat tersebut, ia meminta agar manajemen Wigan menjual dirinya ke klub lain.

Paul Jewell adalah orang pertama yang membaca tulisan Chimbonda. Ia menerima surat itu langsung dari tangan Chimbonda yang masih berkostum lengkap, tepat di ruang ganti pemain. Sebagai manusia, kita memang perlu menahan amarah. Sebagai manusia pula, kita sebaiknya tidak memancing amarah orang lain.

Tulisan Chimbonda datang di waktu dan tempat yang sama sekali salah. Adalah wajar jika pemain sudah tidak kerasan di klub lalu memohon agar dijual. Namun, pemain bisa melakukannya di kantor sang manajer dan dalam situasi yang kondusif. Chimbonda tidak butuh itu. Ia hanya butuh selembar surat, suasana ruang ganti pasca pertandingan, dan momen kekalahan untuk melakukannya.

“Ya, saya memberikan (surat) itu padanya,” aku Chimbonda kepada Independent. Ia juga mengaku bahwa tindakan itu adalah sebuah kesalahan. Meski pada awalnya ia kaget karena reaksi Jewell yang menerima surat itu tidak seperti yang ia harapkan.

“Manajer saya bilang bahwa di Inggris, Anda harus mengajukan permintaan tertulis jika ingin dijual. Ini tidak seperti di Prancis. Saya tidak tahu persis teknisnya seperti apa. Dia hanya bilang kalau ingin pergi, maka silakan buat permintaan transfer. Lantas saya lakukan seperti yang dikatakan. Saya berikan surat itu kepadanya setelah pertandingan. Kostum masih saya kenakan. Saya tidak menyangka dia langsung membuka surat itu. Saya pikir dia akan pulang dan membukanya di rumah, tapi dia buka surat itu di sana”, ujar Chimbonda sebagaimana dilansir dari independent.co.uk.

Chimbonda benar, ia hanya melakukan apa yang Jewell katakan. Namun ia lupa satu hal, yaitu tata krama. Chimbonda mungkin pemain hebat pada masa itu. Namun tingkah pemain bernomor punggung 2 itu bikin Jewell kesal hingga tak mampu berkata apa-apa.

“Saya sedang berdiri di sana, siap untuk menjabat tangan para pemain ketika mereka datang dari atas lapangan sekaligus memberikan ucapan selamat atas musim yang luar biasa,” ucap Jewell sebagaimana dilansir dari Guardian. Perlu diketahui, saat itu Wigan duduk di posisi 10 klasemen akhir liga Inggris. Torehan itu mencetak rekor klub sebagai posisi tertinggi sepanjang keikutsertaan Wigan di Liga Primer Inggris. Alih-alih gembira atas rekor tersebut, wajah Jewell langsung datar setelah menerima surat dari tangan Chimbonda.

“Pemain itu [Chimbonda] mendatangi saya, masih dalam kostum yang lengkap, lalu memberikan surat yang intinya ia minta dijual, lengkap dengan ucapan terima kasih kepada saya dan juga pihak klub atas pertolongan kami sepanjang musim,” ujar Jewell dikutip Guardian.

Hari itu, perasaan Jewell campur aduk. Ada rasa gembira karena Wigan tampil oke sepanjang musim. Ada juga rasa kecewa karena pemain andalannya minta cabut, dan tentu saja rasa kesal atas ulah Chimbonda.

Meski baru satu musim berkostum Wigan, tapi Chimbonda sudah tampil apik. Pada akhir musim 2005/06, ia meraih penghargaan PFA Premier League team of the year untuk posisi bek kanan. Adanya nama Chimbonda dalam skuat bertabur bintang liga Inggris itu jelas menimbulkan kehebohan. Pasalnya, nama-nama seperti Gary Neville dan Paulo Ferreira yang sudah langganan mengisi pos tersebut disingkirkan oleh Chimbonda yang kurang dari setahun merasakan atmosfer liga Inggris.

Satu musim yang gilang-gemilang itu melambungkan nama Chimbonda. Tak heran ia dipanggil Timnas Prancis. Tak heran pula ia begitu congkak sampai-sampai menulis surat kepada manajemen Wigan agar menjual si “bintang”.

Sejak tulisan itu viral, serangan demi serangan meluncur deras ke arah Chimbonda. Selain manajer, ada pemilik klub dan suporter Wigan yang juga melampiaskan amarah.

Sebelumnya Chimbonda ditransfer dari SC Bastia. Adapun mahar yang dibayarkan Wigan hanyalah sebesar 500 ribu paun saja. Sejak peristiwa itu, ia dibanderol Dave Whelan (pemilik Wigan) dengan harga 6 juta paun. Nominal itu diberikan agar klub-klub berpikir dua kali untuk meminang jasa Chimbonda. Whelan juga mengancam, selama belum ada klub yang merogoh kocek hingga 6 juta paun, maka Chimbonda harus main di tim cadangan Wigan sampai masa kontrak berakhir.

“Saya kira, pemilihan waktunya sangat amat jahat,” kata Whelan kepada Telegraph pada 8 Mei 2006 (satu hari setelah “tulisan” Chimbonda viral). Sang pemilik menambahkan, bahwa permintaan Chimbonda sebetulnya bukan masalah besar baginya. Ia dengan tegas berkata bahwa Wigan tidak akan menahan para pemain jika memang sang pemain ingin pergi. Hanya saja memang, pemilihan waktu Chimbondia sangat tidak tepat.

Hubungan yang kurang baik antara Chimbonda dan klub membuat Tottenham Hotspur bersedia mengamankan talenta asal Prancis itu. Akan tetapi proses negosiasi itu berjalan alot. Daniel Levy (pemilik Spurs) sampai harus menyertakan Danny Murphy dan Andy Reid sebagai bagian dari saga transfer. Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah karena harga yang tidak sesuai. Saat itu, Levy dikabarkan menggoda Wigan dengan nominal 3,5 juta paun (kurang 2,5 juta dari banderol yang dipasang Whelan).

Akhirnya, kesepakatan antara Levy dan Whelan tercapai pada 31 Agustus 2006 (hari terakhir transfer musim panas). Ada beberapa versi terkait mahar yang dibayarkan Spurs. Wigan Today mengabarkan harga sang pemain 5,3 juta paun, tapi versi Independent sebesar 4,5 juta paun. Entah mana yang benar, karena kebenaran sesungguhnya adalah Chimbonda telah berganti kesebelasan.

Bulan April musim 2006/07 jadi bulan yang mungkin ditunggu-tunggu oleh suporter Wigan. Pasalnya, pada bulan itulah Spurs tandang ke markas Wigan. Itu artinya, sang penulis surat bakal menyambangi mantan klubnya.

Saat hari itu tiba, sebanyak 16.506 orang hadir memadati stadion DW, markas Wigan. Chimbonda turun sebagai starter dan tiap kali ia menyentuh bola, cemooh dan kata-kata pedas berhamburan. Papan skor menunjukkan angka 3-3 pada akhir pertandingan tersebut. Memang dari enam gol itu tak ada yang dicetak Chimbonda, tetapi ia berkontribusi dalam “menghangatkan” suasana pertandingan.

Chimbonda telah menyesali perbuatannya. Namun suporter Wigan mengabaikan rasa sesal itu. Mereka merasa perlu menghujat Chimbonda dengan caci maki bernuansa rasis. David Phytian, 54 tahun, adalah salah satu di antara suporter itu.

Berdasarkan pemberitaan Wigan Today, Phytian dijatuhi hukuman larangan menonton sepakbola di stadion selama tiga tahun. Putusan itu dikeluarkan oleh Kejaksaan Wigan pada Juni 2007 setelah menyelidiki kasus tindakan rasis Phytian terhadap Chimbonda. Ia terbukti secara sengaja berbuat rasis. Dalam pembelaan Phytian, ia melakukan hal itu karena kesal dengan perbuatan Chimbonda terhadap Wigan pada 7 Mei 2006 silam.

Seorang petugas intelijen Wigan bernama Jerry Broad berkata, “kami telah bekerja sama dengan Wigan Athletic Football Club dalam kampanye kami tentang ‘Kick Racism Out of Football’. Oleh sebab itu, kami akan mengambil tindakan serius bagi siapa saja yang melakukan kejahatan rasis”, sebagaimana dikutip Wigan Today.

Apa yang dilakukan Chimbonda pada 7 Mei 2006 tentu tidak tepat, tetapi merespons hal itu dengan melakukan ujaran kebencian yang berujung rasis sama tidak tepatnya. Seperti yang pernah dibilang Mahatma Gandhi bahwa mata dibalas mata hanya akan membuat dunia buta. Pun dengan kasus Chimbonda. Amarah dibalas dengan amarah hanya akan membuat manusia kalah.


Simak prediksi dan penerawangan "Mbah" Rochi Putiray soal Liga 1 Indonesia 2019:


Komentar