Pemuda Rendah Hati dari Jardim Peri

Backpass

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pemuda Rendah Hati dari Jardim Peri

Kevin De Bruyne berusaha menjangkau bola yang meluncur deras di sisi kiri pertahanan Everton. Dengan sekali sontekan, ia berhasil melepaskan umpan menuju kotak penalti. Gabriel Jesus berlari untuk menyambut umpan De Bruyne. Sejurus kemudian, Gabriel berhasil menyambut umpan tersebut dengan sundulan tarik. Gol! Manchester City berhasil menggandakan keunggulan atas Everton dalam lanjutan Liga Primer Inggris, Sabtu (31/3).

Usai mencetak gol, Gabriel berlari ke sudut lapangan sambil melakukan selebrasi. Ia mengacungkan jempol dan kelingking tangannya, lalu menempelkannya di ujung kuping—berpose seperti seorang yang sedang menelepon.

“Kapan pun aku mencetak gol untuk Manchester City, ibu selalu meneleponku. Tepat saat bola mengoyak jaring gawang, maka teleponku akan berdering. Tak peduli apakah ia sedang berada di Brasil atau sedang menyaksikanku di bangku penonton, ia pasti akan menelepon. Jadi aku berlari ke sudut lapangan, meletakkan tanganku ke ujung telinga, dan berkata: Alo Mae!"

Begitulah penjelasan Gabriel Jesus ketika menceritakan tentang arti selebrasinya setiap kali mencetak gol ke gawang lawan. Gabriel memang dekat dengan ibunya. Berkat didikan sang ibulah, ia menjadi seperti sekarang ini.

***

Jardim Peri terletak di utara Sao Paulo, Brasil. Kawasan itu bukanlah tempat yang nyaman dan aman untuk ditinggali; kekerasan dan kriminalitas sudah menjadi napas kehidupan sehari-hari di kawasan tersebut.

Di salah satu sudut Jardim Peri, di sebuah bangunan kecil beratapkan seng, Vera Lucia tinggal bersama empat anaknya. Merawat empat orang anak di tengah lingkungan yang keras tentu bukan perkara mudah. Beban semakin terasa bagi wanita yang akrab disapa Dona Vera itu, karena harus membesarkan dan merawat empat anaknya seorang diri, setelah sang suami meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas.

Namun hidup dalam kesengsaraan dan kesulitan tak membuat Dona Vera ciut lalu menyerah begitu saja pada nasib. Ia berusaha sebisanya untuk mendidik empat orang anaknya dengan baik. Ia merupakan seorang ibu yang penuh perhatian dan cerewet bagi anak-anaknya. Satu waktu, Dona Vera pernah berpesan pada anak-anaknya, “Jika kau berkulit hitam dan miskin, maka kau harus belajar dengan sungguh-sungguh.”

Si bungsu, bocah lelaki yang gemar keluar rumah untuk bermain bola, ia beri nama Gabriel Fernando de Jesus. Anak itu sangat diperhatikannya. Ia sangat khawatir si bungsu terpapar pergaulan buruk di luar sana. Saking khawatirnya, Vera sering mengendus bau napas Gabriel untuk memastikan ia tak merokok ketika berada di luar rumah. Tak pernah ada semerbak bau nikotin dari mulut si bungsu. Gabriel tak pernah mengecewakannya dan selalu mematuhi setiap nasihat ibunya.

Adapun kenakalan yang kerap Gabriel kecil lakukan, adalah ia sering memecahkan kaca rumah tetangga saat bermain bola. Pada suatu hari yang cerah, bersama kawan-kawannya Gabriel bermain bola di jalanan—tepat di depan sebuah rumah. Penghuni rumah itu bernama Ismael de Oliviera. Belum lama bermain, tiba-tiba terdengar suara bola menghantam kaca rumah Ismael. Dari luar rumah, Ismael mendengar teriakan, “Maaf Ismael, aku yang menendang bola itu!” Teriak seorang bocah dari luar yang tak lain adalah Gabriel.

Beruntung Ismael tak pernah menyimpan amarah pada bocah itu karena kelakuannya. Ia malah sangat mengagumi kemampuan bermain sepakbola Gabriel. “Aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Aku selalu mengembalikan bola kepadanya saat ia sudah meminta maaf. Ia sangat baik ketika bermain bola. Ia buat hancur bocah-bocah lain yang menjadi lawannya. Aku selalu yakin suatu saat ia akan menjadi pesepakbola profesional yang hebat,” puji Ismael.

Selain bermain bola, Gabriel kecil juga gemar menyaksikan pertandingan Corinthians. Bersama kawannya yang bernama Anderson, yang merupakan putra Ismael, ia kerap mengunjungi sebuah bar untuk menyaksikan Corinthians berlaga.

Saking seringnya mengunjungi bar tersebut, pelayan di bar itu sudah sangat akrab dengan Gabriel dan Anderson. Pelayan itu bernama Giselle Xavier, seorang wanita muda yang manis. Dengan manis manja, Giselle sering menggoda Gabriel kecil dengan membisikinya bahwa ketika Gabriel sudah besar, Giselle berjanji akan mengajaknya berkencan.

Si bocah yang digoda tampaknya terlalu pemalu. Ia hanya tersenyum sambil tersipu menanggapi godaan Giselle. Di usianya yang masih sangat belia ketika itu, hanya sepakbola yang mampu membuatnya tertarik; yang ada di dalam pikirannya hanya sepakbola dan sepakbola.

Saat usia Gabriel menginjak delapan tahun, ia bergabung dengan sebuah klub junior bernama Pequeninos do Meio Ambiente. Pemilik sekaligus pelatih klub tersebut, Jose Francisco Mamede, adalah pelatih pertamanya.

“Aku masih ingat saat ia pertama kali datang ke sini. Ia datang kemari mengenakan sandal jepit. Dan di hari latihan pertamanya, ia mencetak gol dengan melewati tiga orang anak yang badannya lebih besar darinya. Aku lalu begumam, ‘Anak ini punya sesuatu yang spesial,’” kenang Mamede.

Selain dari sang ibu, Gabriel juga mendapatkan pendidikan karakter dari pelatih pertamanya ini. Mamede sangat penuh perhatian kepada anak-anak asuhnya di klub.

“Klub ini ada untuk anak-anak jalanan. Aku akan sangat marah jika ayah mereka merokok di tepi lapangan saat menyaksikan anak-anaknya berlatih. Jika kamu merokok dan menggunakan bahasa yang buruk, maka anakmu juga akan mengikutimu,” tegas Mamede.

Gabriel dikenal dengan nama panggilan “Tetinha” oleh kawan-kawannya di klub juniornya ini. “Tetinha” memiliki arti “mudah sekali”. Nama panggilan tersebut melekat kepada Gabriel karena saat pelatih atau kawan-kawannya memintanya mencetak gol lagi, Gabriel akan berteriak, “Tetinha!”

Saat timnya menderita kekalahan, Gabriel kecil akan menangis. Ia seakan tak sanggup menanggung pahitnya kekalahan.

“Dia akan menangis sejadi-jadinya. Dia sangat membenci kekalahan bahkan ketika permainan baru mencapai setengah babak. Bayangkan ketika ia kalah di final turnamen lokal,” sebut Mamede.

Ketika usianya menginjak tiga belas tahun, ia bergabung bersama klub amatir bernama Associacao Atletica Anhanguera. Selang tiga tahun setelahnya, tepatnya pada 2013, bakat Gabriel dideteksi oleh akademi Palmeiras, dan langsung direkrut oleh mereka. Gabriel langsung menunjukkan kebolehannya di akademi Palmeiras. Di tahun pertamanya, ia berhasil menjadi top skor klub dengan mencetak 54 gol dari 48 pertandingan.

Berkat penampilannya yang terus menanjak, pada 2014 ia direkrut oleh tim Palmeiras senior. Dia resmi bergabung bersama tim Palmeiras senior pada 27 Agustus 2014. Sedangkan debutnya sendiri di tim tersebut terjadi pada tanggal 7 Maret 2015. Ia masuk menggantikan Leandro Pereira di menit ke-73 saat Palmeiras menghadapi CA Bragantino.

Gabriel semakin berkembang bersama Palmeiras. Selama dua musim membela Palmeiras, Gabriel mencetak 28 gol dari 83 penampilan.

Ketika telah menjadi pemain profesional di Palmeiras, Gabriel tak pernah lupa pada kampung halamannya. Ia sering pulang ke Jardim Peri hanya untuk menemui teman-temannya, dan bermain sepakbola jalanan seperti yang dulu ia lakukan.

“Dia tetap sama seperti dulu. Pemalu, sederhana, normal,” ungkap salah seorang tetangganya di Jardim Peri, Jose Neto.

Karir internasionalnya bersama tim nasional Brasil dimulai saat ia diikutsertakan di Piala Dunia U-20 yang dihelat di Selandia Baru pada 2015. Gol pertamanya di ajang tersebut terjadi saat Brasil berhadapan dengan Nigeria. Pada 2016, ia masuk dalam rencana Carlos Dunga di ajang Copa America Centenario, namun Gabriel gagal membela Brasil di ajang tersebut karena terbentur masalah visa.

Gabriel baru menjalani debutnya bersama tim nasional Brasil senior pada September 2016, dalam pertandingan menghadapi Ekuador dalam kualifikasi Piala Dunia 2018. Di pertandingan perdananya itu, ia langsung mencetak dua gol.

Pada Januari 2017, bakat Gabriel terdeteksi oleh pelatih Manchester City, Pep Guardiola. Ia pun diboyong City dengan mahar 27 juta paun.

“Saat itu aku punya banyak tawaran. Tapi pilihanku jatuh pada Manchester City, semua karena aku ingin bermain di bawah arahan Pep Guardiola,” jelas Gabriel.

Sebelum pergi meninggalkan Brasil menuju tanah Britania, Gabriel sempat pulang ke Jardim Peri. Ia menemui teman-teman kecilnya, bermain sepakbola, dan menari samba di jalanan.

***

Kesuksesan Gabriel Jesus adalah buah dari bakat dan bimbingan yang baik dari orang-orang di sekitarnya. Walau tumbuh di lingkungan yang keras, namun bimbingan yang diberikan oleh ibunya—juga Mamede—mampu membentengi Gabriel dari pergaulan yang tidak baik, hingga saat ini ia berhasil meraih mimpinya menjadi seorang pesepakbola profesional.

Perjalanan karir Gabriel sendiri masih panjang. Banyak prestasi bisa diraih Gabriel dengan karir yang masih panjang tersebut; ia tentu akan mengejar prestasi-prestasi itu. Tapi satu hal yang pasti, jadi sehebat apapun Gabriel di masa depan, bimbingan yang ia dapatkan dari sang ibu akan membuatnya tetap membumi dan rendah hati.


Simak opini dan komentar redaksi Panditfootball terkait jadwal Liga 1 yang belum juga rilis di Kamar Ganti Pandit lewat video di bawah ini:



Komentar