Pembawa Damai di Pantai Gading

Backpass

by Redaksi 21

Redaksi 21

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pembawa Damai di Pantai Gading

Didier Drogba cukup dikagumi oleh jutaan penggemar sepakbola di seluruh dunia. Banyak juga yang melihat sosok Drogba sebagai satu-satunya legenda sepakbola dengan hasrat bertanding yang tak tertandingi, salah satu talenta yang mungkin bisa dibilang lebih kuat dari Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.

Dengan karakter pantang menyerah yang ditunjukkannya, tak mengherankan jika karier Drogba sangat sukses. Tiga gelar Liga Inggris, dua gelar Piala Liga, empat gelar Piala FA, dua gelar Community Shield, dan satu gelar Liga Champions adalah torehan yang ia raih di level klub. Selain itu, Drogba pun meraih 20 gelar individu, termasuk ketika ia dinobatkan sebagai pemain terbaik Afrika dan sebagai pencetak gol terbanyak Pantai Gading sepanjang masa.

Berbagai penghargaan yang Drogba raih tidak didapatnya dengan mudah. Drogba melewati masa kecilnya dengan kelaparan. Ia juga harus menuju Prancis seorang diri ketika masih berumur lima tahun. Namun perjuangan itu berbuah manis dengan berbagai penghargaan. Rakyat Pantai Gading bahkan menganggap Drogba sebagai dewa karena ia berhasil membawa perdamaian negaranya.

Lebih Fokus ke Pendidikan

Ketika kecil, Drogba dipanggil “Tito”. Nama tersebut dipilih oleh ibunya yang sangat mengidolakan Presiden pertama Yugoslavia, Josip Broz Tito. Drogba kecil lahir di Abidjan, ibu kota Pantai Gading, tanggal 11 Maret 1978. Ia harus hidup dengan kelaparan yang menimpa warga desa dan keluarganya. Pertumbuhan Drogba cukup terhambat malnutrisi, yang membatasi pertumbuhan fisiknya. Orang tua Drogba yang hanya pekerja bank lokal memiliki pendapatannya pas-pasan. Apalagi saat itu Pantai Gading sedang dilanda krisis ekonomi.

Bagi mereka, menerima kiriman uang dari kerabat yang telah terlebih dahulu pindah ke Prancis merupakan salah satu harapan untuk melanjutkan hidup sehari-hari. Keluarga Drogba rutin mendapat kiriman uang dari pamannya, Michael Goba. Goba adalah salah satu dari orang-orang pertama yang mengungsi dari Pantai Gading ke Prancis karena krisis ekonomi. Di Prancis, Goba berkarier sebagai pesepakbola. Gajinya, sebenarnya, lebih rendah dari rekan-rekannya.

Orang tua Drogba kemudian terpikir untuk mengirim sang anak ke Prancis demi mendapat kehidupan yang layak, karena krisis ekonomi tak kunjung berakhir. Akhirnya, Goba membantu Drogba untuk berangkat ke Prancis. Namun bantuannya sebatas mengirim uang penerbangan, dan Drogba harus berangkat sendiri karena pada saat itu Goba memiliki masalah kartu identitas sehingga tidak bisa menjemput Drogba.

Perjalanan itu cukup berat bagi Drogba karena umurnya baru lima tahun dan belum sekali pun melihat pesawat. Untuk menjaganya tetap aman dan segera bertemu pamannya, orang tua Drogba menuliskan “Didier Drogba pergi untuk bertemu Michael Goba di Paris” dengan sepotong kertas yang digantungkan.

Singkat cerita, Drogba akhirnya bertemu dengan pamannya di bandara Charles de Gaulle, Paris. Setelah beberapa bulan sang anak tinggal di Prancis, orang tua Drogba berpandangan bahwa Drogba hanya akan fokus untuk pendidikan dan tidak menjadikan sepakbola sebagai prioritas utama, berbeda dengan Goba yang menjadikan sepakbola sebagai pekerjaanya.

Namun, Goba tidak setuju dan sangat ingin menjadikan Drogba sebagai pesepakbola. Setelah berdiskusi dengan orang tuanya, akhirnya Goba memasukkan Drogba ke sebuah akademi sepakbola tanpa mengesampingkan kebutuhan akademis.

Setelah tinggal tiga tahun dan lancar berbahasa Prancis, Drogba memberanikan diri untuk berkata kepada pamannya bahwa ia tidak betah di Prancis dan ingin kembali ke Pantai Gading.

Drogba pernah berkata ketika diwawancarai tentang masa kecilnya di Prancis: “Saya ingat kehidupan awal saya di Prancis. Saya menangis hampir setiap hari. Bukan karena saya tinggal di sana, tapi selama itu saya jauh dari orang tua dan saya sangat merindukan mereka”.

Mendengar keluhan dari Drogba, Goba tidak bisa menolak dan setuju untuk memulangkan Drogba ke Pantai Gading. Tapi, sayangnya ketika ia kembali, Pantai Gading sedang dalam puncak krisis ekonomi. Situasi ini sampai pada titik di mana orang tua Drogba tidak bisa membayar biaya sekolah dan berakibat Drogba harus keluar dari sekolah. Selama tiga tahun, untuk mengisi waktu kosongnya, Drogba memilih untuk bermain sepakbola di tim lokal dan berlatih bersama teman-temannya di lapangan terdekat.

Melihat keadaan Drogba yang prihatin karena tidak bersekolah, orang tua Drogba kembali meminta Goba untuk membawanya ke Prancis. Untungnya Goba masih bisa membantu Drogba untuk kembali tinggal di Prancis.

Dalam kedatangan yang kedua ke Prancis, orang tua Drogba masih berharap Goba memprioritaskan pendidikan Drogba. Goba menyetujuinya. Drogba fokus menyelesaikan pendidikannya dan sepakbola hanya menjadi kegiatan paruh waktu. Ia pun melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahan hingga mendapatkan gelar sarjana di Universitas Maine dan sedikit mulai fokus bermain sepak bola di Le Mans.

Drogba lebih tertarik untuk menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu daripada langsung fokus untuk menjadi pesepakbola profesional. Pada akhirnya ia pun mendapatkan gelar sarjana akuntansi pada usia 21. Hingga kini ia terdaftar sebagai akuntan resmi. Bukan tanpa sebab ia ingin fokus dulu kepada akademisnya, ia ingin mewujudkan harapan orang tuanya yang ingin Drogba mendapat pendidikan yang layak.

Membawa Perdamaian di Pantai Gading

Didier Drogba adalah legenda. Dia adalah pemain Afrika pertama yang mencetak 100 gol di Liga Primer Inggris. Selain menjadi kebanggaan benua Afrika, Drogba telah meninggalkan jejak sejarah yang tak terlupakan bagi rakyat Pantai Gading secara khusus dan masyarakat dunia secara umum.

Banyak pesepakbola telah menggunakan pengaruh ketenaran mereka untuk efek yang besar. Memasukkan nama mereka ke dalam suatu produk iklan, mensponsori sebuah badan amal, bahkan hingga untuk terjun ke dunia politik. Drogba sedikit berbeda. Ia memanfaatkan ketenarannya dari sepakbola untuk menghentikan perang di negaranya sendiri.

Ceritanya begini: Pantai Gading lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia pada 2006. Kepastian diraih setelah Pantai gading mengalahkan Sudan 3-1. Ruang ganti Pantai Gading pada saat itu penuh dengan kegembiraan. Namun, di balik kegembiraan itu, para pemain memiliki kekhawatiran yang dalam. Pada saat itu Pantai Gading sedang terlibat perang saudara yang menewaskan empat ribu orang dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi.

Kapten tim nasional Pantai gading mengundang media untuk masuk ke ruang ganti dan menyerahkan mikrofon kepada Drogba yang sudah menjadi ikon nasional pada saat itu.

Sambil berlutut dengan seluruh pemain Pantai Gading, Drogba berkata: “Pria dan wanita Pantai gading,” katanya dengan wajah tegas dan tulus. “Dari utara, selatan, timur, dan barat. Kami membuktikan hari ini bahwa semua orang Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama untuk lolos ke Piala Dunia.

“Kami berjanji kepada anda, bahwa perayaan ini akan mempersatukan orang-orang. Sekarang kami memohon, berlututlah, maafkanlah, saling memaafkan, maafkanlah.

“Satu negara di Afrika dengan banyak kekayaan tidak boleh hancur karena perang ini. Tolong, letakkan semua senjata, mulailah untuk pemilihan, semua akan lebih baik.”

Mengangkat lutut dan berdiri, senyum lebar terlihat di wajah parah pemain. Mereka mulai bernyanyi. “Kami ingin bersenang-senang, jadi berhentilah menembakkan senjatamu,” mereka berkata.

Permohonan Drogba di ruang ganti itu tidak sia-sia. Pemerintah dan para pasukan penentang untuk mengadakan gencatan senjata memulai perdamaian. Pada awal 2007, kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai resmi yang menandai berakhirnya perang saudara secara resmi.

“Melihat kedua pemimpin berdampingan untuk lagu kebangsaan, sangat istimewa,” kata Drogba kepada Telegraph pada 2007, beberapa bulan setelah kesepakatan damai. “Saya merasa saat itu Pantai gading lahir kembali.”

Perjalanan menuju perdamaian yang utuh, pada akhirnya, terbukti sangat sulit. Pada 2010, pemilu yang dicanangkan akan digelar tak kunjung berlangsung. Perang pecah lagi. Walau demikian, Drogba akan selalu diingat atas usahanya untuk mencoba mengakhiri perang saudara.


Simak opini dan komentar Rochy Putiray terkait para pemain Indonesia yang berkarier di luar negeri:



Komentar