Diva Plin-Plan Menatap Eropa

Backpass

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Diva Plin-Plan Menatap Eropa

Frankfurt adalah salah satu kota termahal di Jerman. Selain karena biaya hidup di sana tinggi, Frankfurt juga rutin menyelenggarakan pameran seni yang harganya sudah pasti wah. Fakta bahwa Frankfurt adalah ibukota ekonomi Jerman, semakin mempertegas bahwa kawasan ini lekat dengan kemewahan.

Eintracht Frankfurt adalah klub sepakbola kebanggaan warga Frankfurt yang berdiri pada 8 Maret 1899. Identik dengan kemewahan kotanya, klub itu pun dijuluki “diva”, seorang penyanyi yang jamak ditemui di panggung-panggung opera.

Pada 4 November 1995, Eintracht Frankfurt mampu mengalahkan Bayern Munchen dengan skor telak 4-1, tapi ketika melawan klub medioker, Eintracht Frankfurt seolah tidak berdaya. Bahwa Eintracht Frankfurt sering menang lawan klub papan atas Bundesliga tapi secara mengejutkan kalah oleh klub papan bawah, membuatnya dijuluki “Launische Diva” atau “Diva yang Plin-Plan”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plin-plan adalah suatu kondisi di mana individu suka ganti-ganti keinginan. Dalam ilmu psikologi, orang yang plin-plan sering disebut kepribadian ganda dan kini disebut sebagai Gangguan Identitas Disosiatif (GID).

Bayangkan ada orang yang sehari-harinya ceria, ramah, dan suka bercanda, tapi terkadang ia bisa berubah menjadi sangat pemarah atau juga pemurung. Ia pun juga sering gonta-ganti pendapat. Ia suka mengubah janji atau rencana yang sudah dibuat, dan sering kali hal itu dilakukannya pada menit-menit terakhir.

Pada umumnya, dalam diri seseorang yang mengalami GID, terdapat identitas inang (host identity), yakni identitas/kepribadian asli si penderita, dan satu atau beberapa identitas pengganti (alter identity).

Setiap identitas bisa bergantian dalam mengambil alih kesadaran (yang muncul dan menguasai tubuh) dan pergantiannya biasa terjadi dengan cepat. Ketika salah satu identitas mengambil alih kesadaran penderita, identitas lain bisa jadi tak menyadari hal tersebut dan tidak memiliki memori yang dialami oleh identitas yang mengambil kendali pada saat itu.

Musim lalu, Eintrach Frankfurt tampil kurang meyakinkan di liga Jerman. Menelan kekalahan sebanyak 14 kali dan hanya mampu menang 11 kali sepanjang musim, membuat Launische Diva harus puas berada di posisi 11 klasemen. Kendati tampil kurang baik di Bundesliga, pada ajang DFB Pokal, Eintracht Frankfurt melaju hingga babak final meski akhirnya kalah 1-2 oleh Borussia Dortmund.

Namun musim ini, Eintracht Frankfurt tampil meyakinkan. Memasuki pekan ke-25, Launische Diva sudah mengoleksi 12 kemenangan. Jumlah itu telah melewati total kemenangan pada musim lalu. Eintracht Frankfurt untuk sementara berada di peringkat keempat dan hanya berjarak satu poin dengan FC Schalke 04 yang meraih 43 poin.

Jika Eintracht Frankfurt tampil konsisten hingga akhir musim, bukan tidak mungkin Launische Diva akan kembali tampil di Eropa musim depan. Hal itu tentu saja akan jadi catatan manis bagi klub. Pasalnya, penampilan terakhir Eintracht Frankfurt di Eropa terjadi pada musim 2013/14. Itu pun di Liga Europa. Di kasta tertinggi Eropa, Eintracht Frankfurt sudah absen selama 24 tahun.

Prestasi Eintracht Frankfurt di Eropa tidak sementereng kehidupan kotanya. Meski demikian, bukan berarti Launische Diva tidak pernah berjaya di Benua Biru.

Pada musim 1959/60, Eintracht Frankfurt tampil mengejutkan dalam turnamen Piala Eropa (sekarang Liga Champions) dengan melangkah ke final, bertemu dengan Real Madrid. Tercatat, sebanyak 127.621 orang menyaksikan jalannya pertandingan yang digelar di stadion Hampden Park, Glasgow, Skotlandia, tersebut.

Kendati skor akhir adalah 3-7 untuk kemenangan Real Madrid, tapi sejarah telah mencatat Eintracht Frankfurt sebagai klub yang berani menentang dominasi Real Madrid di Eropa. Kegigihan dan semangat juang mereka untuk melawan aristokrat sepakbola Eropa dari ibukota Spanyol, adalah sebuah cerita yang inspiratif – sebuah cerita dari tim tak dikenal yang berupaya mendobrak tatanan permainan yang sudah mapan.

Sebelum sampai ke partai final, publik tidak ada yang mengenal Eintracht Frankfurt. Di partai semifinal, Eintracht Frankfurt bertemu dengan Glasgow Rangers, klub asal Skotlandia. Sebagaimana dikisahkan Uli Hesse dalam bukunya berjudul “Tor – The Story of German Football”, ketika rombongan Skotlandia itu mendarat di Jerman, manajer mereka yang bernama Scot Symon menanggapi pertanyaan media dengan nada meremehkan: “Eintracht? Siapa mereka?”

Scot Symon sedang dalam proses membangun Rangers, sebuah klub asal Glasgow yang kemudian mendominasi sepakbola Skotlandia di awal periode 1960-an. Setelah tiga gelar liga berturut-turut, Rangers menjelma kesebelasan yang disegani dan sarat pengalaman di Piala Eropa. Juara Skotlandia itu juga sadar bahwa final kali ini akan dimainkan di Hampden Park, yang mana akan jadi keuntungan karena tampil di hadapan pendukung sendiri.

Sebelum pertandingan, para pemain Rangers dilaporkan berjudi tentang berapa banyak gol yang akan disarangkan ke gawang Eintracht Frankfurt. Sekali lagi, hal itu dilakukan karena sang lawan hanyalah Eintracht Frankfurt. Sekadar perbandingan, pada tahun itu Rangers sudah menjuarai liga tak kurang dari 30 kali, sementara Eintracht Frankfurt hanya mampu sekali juara liga sejak klub itu berdiri. Namun nyatanya, hal itu tidak membuat Eintracht Frankfurt gentar.

Sejak menit awal, anak-anak Jerman tampil menyerang. Menit kedelapan, Eintracht Frankfurt mendapat hadiah penalti, tapi gagal dieksekusi dengan baik. Gol pertama barulah muncul pada menit ke-27. Namun segera dibalas beberapa menit berselang oleh Rangers. Kedudukan 1-1 pun bertahan hingga peluit babak pertama dibunyikan.

Memasuki babak kedua, Eintracht Frankfurt tidak mengendorkan serangan. Gol demi gol terus berdatangan yang membuat keriuhan luar biasa di Waldstadion, kandang Eintracht Frankfurt. Konon, pertandingan itu disaksikan 80.000 orang yang memadati segala penjuru stadion. Berkat penampilan dan dukungan luar biasa, Eintracht Frankfurt menghancurkan Rangers di leg pertama dengan skor telak, 6-1.

Leg kedua yang digelar pada 5 Mei 1960 jadi kesempatan Rangers untuk merespon kekalahan memalukan di Jerman. Meski peluang untuk lolos ke final sangat kecil, tapi Scot Symon masih optimistis dan berjanji tetap tampil maksimal.

Benar saja, Rangers lebih dulu mencetak gol melalui sepakan McMillan. Namun keunggulan itu hanya sementara. Memasuki menit ke-12, Eintracht Frankfurt cetak gol balasan. Meski berstatus tim tamu, tapi Eintracht Frankfurt sama sekali tidak menurunkan tensi serangan. Bahkan enam gol kembali bersarang di gawang Rangers. Skor akhir 6-3 membuat Eintracht Frankfurt lolos ke final dengan unggul agregat 12-4.

Kisah menakjubkan lain terjadi pada musim 1979/80. Kala itu, sepakbola Jerman sedang merajai turnamen Piala UEFA. Bagaimana tidak? Seluruh peserta yang berpartisipasi hingga babak semifinal adalah wakil dari Jerman. Mereka adalah VfB Stuttgart, Borussia Monchengladbach, Bayern Munchen, dan Eintracht Frankfurt.

Di semifinal, Eintracht Frankfurt berhasil menghentikan langkah Bayern Munchen. Meski sempat kalah 2-0 pada leg pertama di Olympiastadion, Eintracht Frankfurt membalikkan keadaan di leg kedua. Bertanding di Waldstadion, Eintrach Frankfurt tampil lebih percaya diri. Bruno Pezzey memecah kebuntuan pada menit ke-31 dan berhasil ia gandakan pada menit ke-87. Skor akhir 2-0 untuk keunggulan Eintrach Frankfurt.

Dikarenakan agregat sama kuat, 2-2, maka partai semifinal itu harus diselesaikan dengan babak perpanjangan waktu. Melalui pertandingan yang ketat, akhirnya Eintrach Frankfurt berhasil menang berkat dua gol Harald Karger dan penalti dari Werner Lorant. Dengan hasil itu, Eintrach Frankfurt berhak lolos ke partai final melawan Borussia Monchengladbach yang di partai semifinal lain mengalahkan VfB Stuttgart dengan agregat 3-2.

Kala itu format turnamen di partai final masih menggunakan sistem dua leg. Pada leg pertama di Bokelbergstadion, Borussia Monchengladbach, mereka dikalahkan tuan rumah dengan skor 3-2. Namun ketika leg kedua dimainkan di Waldstadion pada 21 Mei 1980, Eintrach Frankfurt berhasil menang 1-0. Agregat 3-3 membuat Eintrach Frankfurt keluar sebagai juara dengan keunggulan gol tandang.

Sudah 38 tahun berlalu sejak Launische Diva berjaya di level Eropa. Kini, diva plin-plan mulai berani mengintip sisa-sisa kejayaan mereka. Jika semesta berkehendak, bukan tak mungkin musim depan Eintracht Frankfurt akan kembali ke panggung Eropa. Syaratnya hanya satu: harus menjaga tren positif sampai akhir musim.

Melabeli sikap individu yang plin-plan sebagai kepribadian ganda tak akan membuat nasib penderita menjadi lebih baik. Justru hal tersebut bisa jadi menambah masalah baru, seperti misalnya penderita mulai menyakiti dirinya sendiri.

Untuk dapat tampil di kompetisi Eropa, klub manapun termasuk Eintracht Frankfurt harus punya tekad yang kuat. Dikarenakan orang plin-plan tidak memiliki memori yang dialami oleh identitas yang mengambil kendali pada saat itu, maka cara terbaik adalah dengan terus mengingatkan Eintracht Frankfurt bahwa mereka pernah dan punya potensi berjaya di Eropa.

Komentar