Benci untuk Mencinta Bayern

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Benci untuk Mencinta Bayern

Terdapat banyak alasan untuk membenci Bayern München. Mulai dari arogansi atas puluhan trofi, kekuatan finansial, hingga hobi mengoleksi pemain-pemain potensial di seantero Jerman. Dominasi Bayern seakan dipandang seperti seorang diktaktor bagi para pembencinya. Padahal, Bayern sebenarnya tidak sejahat itu.

Bayern terlahir dari semangat perlawanan. Pada 27 Februari 1900, setelah Münchner TurnVerein 1879 (klub atletik München 1879) memutuskan bahwa para pemain sepakbolanya tidak boleh bergabung dengan Asosiasi Sepakbola Jerman (DFB), sebelas anggotanya memutuskan untuk keluar dan membentuk klub sepakbola sendiri di sebuah restoran bernama Gisela (sebuah cafe dengan nama sama terdapat di Stadion Allianz sebagai bentuk penghormatan).

Pun setelah berdiri, perjuangan Bayern jauh dari kata mudah. Mereka harus dua kali melakukan merjer demi menghindari kebangkrutan. Yang pertama dengan Münchner Sport Club (MSC) pada 1906. Penggabungan ini merupakan salah satu momen historis karena Bayern meninggakan identitas warna hitam dan menggantinya dengan warna merah milik MSC, yang dipertahankan hingga sekarang. Pada era ini pula nama Bayern mulai sampai ke telinga publik, setidaknya di kota München.

Setelah berpisah dengan MSC pada 1919, Bayern bergabung dengan Turn- und Sportverein 1890 Jahn München. Mereka baru (kembali) berdiri sendiri pada 1923.

Tiga tahun setelah pecah kongsi dengan Turn- und Sportverein 1890 Jahn München, Bayern berhasil memenangi kejuaran Jerman Selatan untuk pertama kali. Mereka juga mulai menemukan kestabilan finansial, sekalipun Jerman sebenarnya tengah dilanda krisis ekonomi di awal 1930an.

Adalah presiden Kurt Launder yang berhasil membawa nama Bayern meroket. Sejak terpilih sebagai presiden pada 1913, ia memang membuat kebijakan-kebijakan non-populer, tetapi terbukti berhasil mengangkat prestasi klub. Salah satu kebijakannya adalah menginvestasi uang untuk pembinaan pemain muda, sebuah hal yang terbilang unik di masanya. Padahal, suporter dan anggota manajemen klub lebih ingin agar uang itu digunakan untuk pembangunan stadion baru.

Bagaimanapun, kebijakan Launder itu berbuah sangat manis. Die Roten (Si Merah) sukses menjuarai kejuaraan nasional pada 1932 di bawah arahan manajer Richard “Little” Dombi.

Sial, Launder dan Dombi memiliki satu ‘dosa tak termaafkan’: mereka adalah Yahudi. Seiring dengan kebangkitan Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman (Partai Nazi) dan Adolf Hitler sebagai pemimpin, Bayern mulai mendapatkan tekanan.

Menteri Pendidikan dan Budaya Bernhard Rust mengumumkan bahwa semua atlet Yahudi dan penganut Marxisme harus diasingkan dari seluruh klub dan organisasi nasional. Bayern, Launder, dan Dombi sempat bertahan, tetapi mereka akhirnya menyerah ketika Nazi membuka kamp konsentrasi pertamanya di Dachau, hanya berjarak sekitar 16 kilometer barat laut München, pada 22 Maret 1933.

Selepas kepergian Launder dan Dombi, prestasi Bayern menurun drastis. Mereka dikucilkan dan dilabeli sebagai Judenklub (bentuk intimidasi terhadap klub Jerman dan Austria yang diketahui berafilisiasi dengan Yahudi selama Perang Dunia II). Namun, tidak berarti Bayern menekuk lututnya secara sukarela di hadapan penguasa lalim. Launder sempat bekerja di balik layar dengan bantuan Siegfried Hermann yang menjadi suksesornya dan mereka tetap memilih pemain serta staf non-Yahudi selama beberapa tahun.

Ketika sudah bersih dari anggota Yahudi, Bayern menjalani menjalani sebuah laga uji coba di Swiss pada 1943. Kebetulan, Launder tengah menjalani pengasingan di sana. Gestapo -- polisi rahasia pemerintahan Nazi -- sempat melarang para pemain untuk bertemu Launder, tetapi ketika mereka melihatnya di tribun stadion, mereka justru bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi kepada Launder, sekaligus bentuk pertentangan terhadap pemerintah.

Berakhirnya era kepemimpinan Nazi pada 1945 tidak serta merta membuat Bayern langsung bangkit. Mereka sempat terdegradasi ke divisi II Oberliga Sud pada 1956 dan tidak langsung mendapatkan tempat ketika Bundesliga terbentuk pada 1963. Mereka baru promosi ke Bundesliga pada 1965.

Dengan mengandalkan pemain-pemain muda hasil binaan akademi klub, seperti Sepp Maier, Franz Beckenbauer, dan Gerd Mueller, Bayern mengakhiri puasa gelar juara Liga Jerman selama 37 tahun. Inilah awal dari kejayaan Bayern.

***

Bayern adalah klub tersukses di Jerman dengan 27 titel juara Bundesliga, 18 DFB-Pokal, 6 Piala Super DFB, dan 6 DFL-Ligapokal. Semuanya merupakan rekor. Di level internasional, Bayern juga digdaya dengan 5 trofi Liga Champions, 1 Piala UEFA (sekarang Liga Europa), 1 UEFA Cup Winners’ Cup, dan 1 Piala Super UEFA.

Dari trofi-trofi tersebutlah kemudian muncul kemapanan. Disertai kebijakan bisnis yang tepat, Bayern mendapatkan kekuatan besar di sisi finansial untuk memajukan klub. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pelbagai aspek pusat latihan klub, Säbener Strasse.

“Untuk bisa menciptakan edukasi sepakbola terbaik, dibutuhkan segala yang terbaik: pelatih, lingkungan, tantangan berdasarkan kelompok umur, kondisi, dan peralatan latihan,” ucap direktur tim muda Bayern, Werner Kern, seperti dikutip dari laman TheseFootballTimes.

Sepanjang sejarahnya, sudah ada banyak pemain-pemain hebat yang lahir dari akademi Bayern. Bahkan, tidak sedikit yang kemudian menjadi legenda bagi klub dan negaranya masing-masing, seperti Bastian Schweinsteiger, Thomas Müller, dan Toni Kroos.

Memang benar bahwa Bayern dapat menggoda seorang pemain dengan mudah berkat iming-iming fasilitas mewah dan gaji tinggi. Perasaan bangga karena membela salah satu klub tersukses dunia pun menjadi daya tarik besar. Namun, satu hal yang kerap terlupakan adalah Bayern tidak selalu mendatangkan pemain ‘jadi’. Mereka membeli pemain potensial untuk kemudian diajari bermain sesuai dengan filosofi klub. Jika ada pemain yang gagal menerapkan filosofi permainan klub, maka Bayern tidak segan untuk menendangnya keluar.

Bayern juga telah berkali-kali membuktikan bahwa mereka peduli terhadap sepakbola Jerman pada umumnya. Borussia Dortmund dan St. Pauli pernah diselamatkan dari kebangkrutan. Mereka bahkan mendesak Bundesliga untuk membagi uang hak siar berdasarkan peringkat akhir, bukan rating.

Yang terpenting, di tengah hujan uang, Bayern tetaplah klub komunitas. Mereka tetap mempertahankan dan menghormati peraturan 50+1 terkait saham kepemilikan klub.

Urusan harga tiket, Bayern jelas sangat mengerti kondisi kantung para suporternya. Sebagai contoh, pada musim 2016-17 lalu, harga tiket musiman Bayern hanya berkisar 67 paun hingga 559 paun. Angka tersebut masih lebih murah ketimbang Barcelona (103 Paun hingga 634 paun), Paris Saint-Germain (336 paun hingga 2.113 paun), Napoli (228 paun hingga 2.000 paun), dan bahkan Leicester City (365 paun hingga 730 paun).

Jika ada alasan lain (yang lebih tepat) untuk membenci Bayern, barangkali itu berasal dari luar sepak bola, tepatnya kecemburuan sosio-kultural. Bayern (dikenal sebagai Bavaria dalam bahasa Inggris dan Indonesia), negara bagian tempat Bayern berasal, adalah salah satu wilayah terkaya di Jerman. Mereka pernah memberikan subsisi sebesar 3,6 juta Euro kepada kota Berlin pada 2011.

Bavaria memiliki baju tradisional sendiri, partai politik sendiri, dan tradisi kuliner sendiri. Menurut Philip Oltermann dalam tulisannya di Guardian, nyanyian yang pertama kali dipelajari oleh setiap suporter non-Bayern di Jerman adalah “Zieht den Bayern die Lederhosen aus”, yang berarti “Lucuti lederhosen (baju tradisional Bavaria) orang-orang Bayern”.

Dengan kebencian dari hampir seluruh penjuru negeri, mencintai Bayern memang pekerjaan berat secara mental bagi para fansnya. Namun sesungguhnya membenci Bayern, yang terus bersikap baik dan mengoleksi trofi, adalah pekerjaan yang tak kalah melelahkan.

Komentar