Soner Ertek, Pengubah Hidup Radamel Falcao

Backpass

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Soner Ertek, Pengubah Hidup Radamel Falcao

Radamel Falcao mungkin tak akan pernah lupa pertandingan babak 16 besar Coupe de France 2013/14, yang mempertemukan Monts d’Or Azergues Foot dan AS Monaco. Bukan karena klub yang dibelanya berhasil menang 3-0. Bukan juga karena malam itu ia mencetak gol. Tapi pada malam itulah ligamen di lutut kirinya koyak dan mengubah perjalanan karier sang penyerang.

Memasuki menit ke-40, Falcao mendapat operan dari Joao Moutinho. Bola diterima dengan satu sentuhan, lalu ia berbalik badan tanpa menghentikan laju bola. Gerakan itu dilakukannya secara tiba-tiba, sehingga membuat bek lawan gagal membaca pergerakan Falcao. Alhasil, Soner Ertek – pemain belakang MDA – yang sudah kalah beberapa langkah tak punya pilihan selain menjegal El Tigre.

Falcao jatuh, tetapi wasit tidak menganggapnya sebagai pelanggaran. Melihat ada pemain yang mengerang kesakitan, kiper lawan segera membuang bola ke luar lapangan. Tim medis lantas masuk dan memberi pertolongan sebagaimana mestinya. Setelah beberapa saat, tim medis memberi sinyal bahwa Falcao tidak dapat melanjutkan pertandingan. Pria yang lahir pada 10 Februari 1986 itu pun ditandu keluar. Falcao tidak hanya mengakhiri pertandingan lebih cepat – musim itu selesai lebih dini baginya.

Sebelum malam nahas itu, tak kurang dari sepuluh gol sudah Falcao persembahkan untuk Monaco. Jauh sebelum menjadi andalan Monaco, Falcao memang terkenal garang di depan gawang lawan.

Dicelakai Satu Orang, Menyelamatkan Satu Keluarga

Mengawali karier di Lanceros Boyaca, Falcao tercatat sebagai debutan termuda dalam sejarah liga profesional Kolombia. Saat itu usianya baru 13 tahun 199 hari. Kendati hanya main sebanyak delapan kali, ia setidaknya cetak satu gol.

Bakatnya kemudian dilirik tim junior River Plate. Pada usia 15 tahun, ia resmi berkostum klub asal Argentina itu. Barulah di usianya yang ke-19, pelatih tim utama River Plate memberi kepercayaan padanya. Tak butuh waktu lama bagi Falcao tuk membuktikan diri. Debut di bulan Maret, ia cetak gol pertama kali di bulan Oktober. Tak tanggung-tanggung, saat itu ia langsung sumbang dua gol. Setelah hari itu, gol demi gol terus berdatangan.

Tampil dalam seratus pertandingan untuk River Plate, Falcao mencetak 41 gol. Fakta itu membuat klub-klub Eropa tertarik. Menurut laporan majalah Ole, setidaknya AC Milan, Aston Villa, Benfica, dan Porto mengajukan tawaran resmi pada 2008. Sebenarnya, ia nyaris berseragam Benfica andai direksi klub setuju mengupah Falcao 70 ribu Euro per pekan. Namun akhirnya ia berlabuh ke rival Benfica di liga Portugal, yaitu FC Porto.

Bersama The Dragoes, Falcao membukukan 41 gol dari 51 penampilan di Liga Portugal. Tidak hanya subur di liga domestik, ia juga produktif di level Eropa. Pada musim keduanya di Portugal, Falcao mencetak 17 gol dari 14 pertandingan di Europa League. Catatan tersebut memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Jurgen Klinsmann.

Tampil cemerlang di Portugal, Falcao hijrah ke negara tetangga, Spanyol. Atletico Madrid yang menjadi pelabuhan selanjutnya. Mahar yang dibayarkan Los Rojiblancos, konon, mencapai angka 50 juta Euro. Nominal itu sekaligus menjadikan Falcao sebagai pemain termahal yang pernah dibeli Atletico pada waktu itu.

Kemesraan Falcao dengan Europa League terus berlanjut. Di musim pertamanya, El Tigre berhasil keluar sebagai top skor pada kompetisi itu. Ia punya andil besar dalam mempersembahkan trofi Europa League, setelah mengandaskan Athletic Bilbao di final. Hal itu menjadikan dirinya sebagai pesepakbola pertama yang menjuarai Europa League dua kali di dua klub berbeda. Sayangnya, hubungan Falcao dan Atletico Madrid hanya bertahan dua musim. Selama berkostum Atletico, total ia torehkan 57 gol.

Usai menimba ilmu di Spanyol, Falcao mencoba peruntungan di Perancis. Pada awal musim 2013/14, ia bergabung dengan Monaco. Debutnya pun berlangsung manis. Ketika tampil melawan Bordeaux, ia mencetak gol di menit ke-88 untuk memastikan Monaco pulang dengan tiga poin. Pasca pertandingan, ia katakan kepada jurnalis bahwa gol tersebut adalah bukti bahwa ia menyukai sepakbola Prancis dan akan menghormati kontrak jangka panjang selama lima tahun.

Namun ia hanya tampil prima setengah musim. Cedera ACL yang didapat saat tampil di kompetisi Coupe de France, memaksa Falcao absen berbulan-bulan. Cedera itu tentu saja merugikan Monaco. Claudio Ranieri, pelatih saat itu mengaku kehilangan sosok Radamel Falcao di lini depan. Apalagi klub berjuluk Les Rouge et Blanc itu tengah bersaing ketat di puncak klasemen liga dengan PSG.

Tidak hanya Monaco, rasa kehilangan itu juga dirasakan tim nasional Kolombia beserta seluruh masyarakatnya. Wajar saja: Falcao menderita cedera ACL pada 22 Januari 2014 sementara Piala Dunia akan dimulai pada 12 Juni di tahun yang sama. Falcao, dengan statusnya sebagai pemegang rekor gol terbanyak di timnas, jelas sangat dibutuhkan.

Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah salah satu ligamen dalam sendi lutut yang menghubungkan tulang paha dan tulang tibia (tulang kering pada tungkai bawah kaki). Fungsinya sebagai penjaga kestabilan lutut. Ligamen sendiri adalah pita-pita keras yang menghubungkan tulang dengan tulang. Jadi, bagaimana mungkin Falcao bermain sepakbola jika penyambung antar tulangnya rusak.

Proses penyembuhan cedera ini pun memakan waktu lama. Untuk kembali berjalan normal, penderita butuh waktu 1-2 hari. Tapi bukan berarti ACL sudah sembuh. Penderita akan merasakan bahwa lututnya tidak stabil, mudah goyang, dan timbul rasa nyeri. Hal itulah yang menyebabkan penderita cedera ACL tidak bisa melakukan olahraga berat. Untuk olahragawan, pemulihan ACL memerlukan waktu paling cepat enam bulan. Itu pun bila dilakukan dengan metode operasi.

Operasi penyembuhan ACL dinamakan Arthroscopy. Operasi tersebut bertujuan untuk merekonstruksi ACL yang rusak dengan dua buah urat pengganti. Kondisi ACL pasien memang tak bisa kembali seperti semula. Kemungkinan urat buatan itu hanya dapat mengembalikan sekitar 80 persen fungsi lutut.

Ertek, penyebab cedera Falcao, sontak mendapatkan teror. GiveMeSport melaporkan, Soner Ertek mengaku ia dan keluarganya mendapat ancaman pembunuhan.

“Setelah pertandingan itu, wartawan ingin berbicara kepada saya. Saya tahu mereka bukan ingin membicarakan kemampuan bertahan saya. Setibanya di rumah, istri saya Selvinaz ketakutan karena telepon berdering tak henti-hentinya. Bahkan mereka menghubungi e-mail, Facebook, dan Twitter saya. Hampir semuanya menggunakan akun berbahasa Spanyol,” ujar pemain berkebangsaan Turki tersebut.

“Orang-orang asing itu terus meneror saya dan keluarga sepanjang minggu. Ancaman pembunuhan pun seringkali saya terima lewat internet. Mereka bahkan mengedit foto saya bersandingan dengan Andres Escobar dengan caption “The Most Wanted Man in Colombia”. Tentu saja itu mengerikan” lanjut Ertek berkisah saat diwawancarai Brendan Simpson, jurnalis senior GiveMeSport.

Teror tersebut akhirnya reda setelah Falcao menyampaikan rasa terima kasih kepada Ertek atas penyesalannya melalui Twitter. Falcao juga menambahkan, apa yang menimpa dirinya adalah hal wajar dalam sepakbola. Meskipun twit itu tidak mempercepat proses pemulihan Falcao, tetapi setidaknya telah menyelamatkan kehidupan sebuah keluarga.

Bukankah Hidup Ada Perhentian?

Setelah divonis menderita cedera ACL, kehidupan Falcao berubah. Tidak masuk daftar skuad Kolombia untuk Piala Dunia 2014, tergusur Dimitar Berbatov di AS Monaco, dan luntang lantung pada masa peminjamannya di Inggris, tentu membuat karier El Tigre terancam. Maklum, beberapa pesepakbola gagal tampil bersinar setelah terkena cedera ACL. Sebut saja Michael Owen dan Abou Diaby. Mereka adalah korban dari jahatnya cedera ACL. Tidak lama setelah pulih, Owen memutuskan gantung sepatu, sementara Diaby saat ini masih tanpa klub alias berstatus free agent.

Meski demikian, tidak semua pesepakbola bernasib buruk pasca cedera ACL. Alessandro Del Piero, Xavi, dan Ruud van Nistelrooy adalah nama-nama yang mampu bangkit, lantas kembali ke performa terbaik setelah menepi cukup lama dari lapangan hijau.

Menurut dr. Tania Savitri, dokter muda yang sedang menjalani pendidikan FIFA Football Medicine Diploma dari F-MARC, proses penyembuhan ACL turut dipengaruhi faktor psikologis. Penderita dengan motivasi yang baik, menunjukkan progress penyembuhan yang pasti lebih baik. Dokter lulusan Universitas Indonesia itu menambahkan, ketakutan atau trauma akan terjadinya cedera berulang pasti ada. Namun itu harus dilawan, karena percuma saja jika proses rehabilitasi dilakukan tanpa diiringi dengan motivasi yang kuat.

Selain dapat ditinjau dari segi medis dan psikologis, cedera ACL juga dapat ditinjau secara filosofis. Hal ini penting untuk menakar seberapa besar kemampuan penderita untuk mengambil hikmah dari penderitaan yang dialami.

Menurut Karl Jaspers, penderitaan adalah salah satu situasi batas yang secara blak-blakan menantang manusia untuk mewujudkan dirinya. Situasi tersebut mendua: kepada eksistensi diberi kemungkinan untuk berkembang maju atau mundur, tergantung keputusan manusia sendiri dalam berkonfrontasi dengan penderitaan yang dialami.

Filsuf asal Jerman itu meyakini bahwa segala bentuk penderitaan bersifat destruktif juga konstruktif bagi manusia. Penderitaan bersifat destruktif sebab merusak dan menggerogoti jiwa raga manusia sedikit demi sedikit. Namun, penderitaan juga merupakan sesuatu yang baik, yakni kesempatan bagi manusia untuk terus berkembang. Jika manusia punya keberanian dan ketabahan hati untuk menerima dan menanggung penderitaan, maka ia akan tumbuh melaluinya.

Dalam situasi sedang menderita, manusia mudah menjadi dirinya sendiri daripada saat dalam kondisi beruntung. Manusia yang selalu beruntung tidak akan ditempa. Mereka yang tak pernah ditempa, akan cenderung menjadi dangkal dan tidak dapat berkembang lebih baik.

Radamel Falcao jelas menderita. Ia menunjukkan gestur kecewa ke arah Soner Ertek pada malam itu. Tetapi ia ambil penderitaan itu sebagai momentum untuk bangkit. Melalui akun twitter-nya, Falcao berkicau: “tidak peduli apapun situasinya, Tuhan punya rencana lebih baik yang sudah dipersiapkan untuk hidup anda.”

Adapun rencana Tuhan untuk Falcao adalah membawanya ke Manchester United dan Chelsea. Di sana, kehidupan Falcao sama sekali berbeda. Sebelum cedera ACL, Falcao hampir selalu jadi pilihan utama. Kini, ia harus puas tampil beberapa kali dari bangku cadangan. Bersama setan merah, Falcao hanya mencetak empat gol. Di Chelsea bahkan lebih tragis lagi: Ia jadi pilihan ketiga Mourinho dan hanya bisa mencetak satu gol dari sepuluh penampilan.

Namun ia tidak menyerah. Selesai mengarungi masa pinjaman, Falcao kembali ke Stade Louis II. Musim 2016/17 jadi pembuktian bahwa Falcao belum habis. Ia membukukan catatan yang cukup apik. Dari 29 kali penampilan di liga, tercatat 21 gol ia lesakkan. Di kompetisi Liga Champion, ia mencetak lima gol dari delapan pertandingan. Musim ini saja, Falcao sudah mencetak 22 gol untuk Monaco.

Saya jadi teringat lirik lagu Sang Penghibur yang diciptakan Piyu “Padi”: Bukankah hidup ada perhentian? Tak harus kencang terus berlari...

Fragmen kehidupan Falcao sempat berhenti oleh tindakan Ertek, justru ketika ia sedang kencang-kencangnya berlari. Namun perhentian itu tidak menyudahi langkahnya. Nyatanya ia masih sanggup berlari dan kembali menjadi andalan di lini depan Monaco.

Komentar