Saatnya Mewaraskan Para Pemegang Hak Suara

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Saatnya Mewaraskan Para Pemegang Hak Suara

Jelang akhir 2018, teriakan Edy Out atau suara publik yang meminta Edy Rahmayadi mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI cukup nyaring terdengar. Awal 2019, pada Kongres PSSI 2019 di Bali, Edy Rahmayadi mewujudkan itu. Ia resmi melepas jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI yang sejatinya baru akan usai pada 2020.

Jabatan Ketua Umum PSSI tampaknya memang menjadi kursi panas. Edy Rahmayadi baru memimpin selama dua tahun. Dia bukan orang pertama yang lengser sebelum masa bakti usai. Ada Sjarnoebi Said yang hanya bertahan sebelum dua tahun. Azwar Anas juga mundur karena tekanan publik. Sementara itu nama-nama seperti Nurdin Halid, Djohar Arifin, hingga La Nyalla Mattalitti, tak pernah nyaman "memimpin" persepakbolaan Indonesia sampai akhirnya diganti (paksa).

Salah satu faktor Ketum PSSI tak pernah tidur dengan nyenyak adalah prestasi Indonesia yang terus jeblok. Edy misalnya, selain karena rangkap jabatan, kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 yang langsung tersingkir sejak fase grup adalah puncak dari kekecewaan masyarakat. Itu membuat gejolak tuntutan mundur padanya semakin mengalir deras. Belum lagi soal dinamika lain yang membuat sepakbola Indonesia jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan terbaru soal pengaturan skor yang melibatkan anggota Exco PSSI.

Tak sedikit yang beranggapan bahwa Edy dianggap gagal hingga muncul gerakan "Edy Out" karena Gubernur Sumatera Utara ini dianggap kurang pengetahuan soal sepakbola Indonesia. Edy juga tak lepas dari tuduhan mempolitisasi jabatan Ketua Umum PSSI sebagai batu loncatan karier politiknya sebagaimana beberapa pendahulunya yang kental dengan nuansa politik.

Saat Edy terpilih, tak sedikit publik yang lebih menginginkan sosok Kurniawan Dwi Yulianto-lah yang jadi Ketum PSSI. Rekam jejaknya sebagai Legenda Timnas Indonesia dianggap lebih kompeten karena cukup tahu betul soal segala hal tentang sepakbola Indonesia sebagaimana yang ia pernah jalani sebagai pemain. Namun Si Kurus nyatanya kalah telak dari Edy. Ia bahkan tak mendapatkan satu suara pun dari total 107 voters pada Kongres Luar Biasa 2016. Edy Rahmayadi, sementara itu, menang dengan mengumpulkan 76 suara.

Tapi soal siapa Ketum PSSI yang tepat sebenarnya bukan tentang seperti apa latar belakang sosok tersebut. Seorang pesepakbola bahkan legenda timnas sekalipun tidak jadi jaminan akan bisa membuat PSSI lebih baik. Saat PSSI dipimpin Maulwi Saelan yang merupakan bintang timnas di era 1950an pun prestasi sepakbola Indonesia tetap biasa saja.

Mungkin Davor Suker (Kroasia) dan Guðni Bergsson (Islandia) menjadi dua contoh mainstream jika orang berlatar belakang sepakbola seharusnya memimpin federasi. Namun jika melihat federasi sepakbola lain, khususnya yang sepakbolanya cukup sukses saat ini, banyak dari mereka yang sebenarnya tidak punya latar belakang sepakbola tapi bisa memimpin sepakbolanya jadi lebih baik.

FFF sebagai federasi sepakbola Perancis, yang baru juara Piala Dunia 2018, sejak 2011 dipimpin oleh Noël Le Graët yang sebelum terjun ke dunia sepakbola lebih dikenal sebagai politisi dan pebisnis. Belgia yang kini bisa melahirkan generasi emas yang menghiasi sepakbola top Eropa pun Royal Belgian Football Association-nya dipimpin oleh François De Keersmaecker (2006-2017), seorang yang sebelumnya dikenal sebagai ahli hukum. Thailand yang beberapa tahun belakangan jadi salah satu kekuatan baru negara Asia dipimpin oleh Worawi Makudi (2008-2015) yang dikenal sebagai politisi sebelum terjun ke dunia sepakbola.

Lalu bagaimana mereka bisa membuat sepakbola di negaranya menjadi lebih baik?

Tentunya banyak faktor. Salah satu faktornya adalah beberapa negara punya sosok selain ketua umum yang berkontribusi besar terhadap perwujudan visi dan misi mereka. Contohnya Belgia yang punya Michel Sablon. Sablon yang pada 2012 hingga 2014 menjabat sebagai Direktur Teknik adalah bapak revolusi sepakbola Belgia lewat cetak biru yang dibuatnya sehingga memiliki kurikulum yang bisa melahirkan talenta-talenta seperti Eden Hazard, Kevin De Bruyne, Vincent Kompany, Thibaut Courtois, dan masih banyak lagi.

Dalam sebuah organisasi, tentu penting seorang ketua memiliki orang-orang yang kapabel untuk menggerakkan dan mewujudkan tujuannya. Maka dari itu, dengan serangkaian kegagalan yang diperoleh sepakbola Indonesia, jangan-jangan orang-orang di bawah Ketua Umum-nya lah yang tidak kapabel sehingga kurang bisa memetakan problem sepakbola Indonesia dan menemukan solusi yang tepat?

Jika dilihat, meski dalam 10 tahun terakhir PSSI dipimpin oleh empat orang berbeda, pengurus PSSI adalah orang yang itu-itu saja. Joko Driyono, Iwan Budianto, Gusti Randa, Johar Lin Eng, hingga Dwi Irianto alias Mbah Putih adalah sedikit nama orang-orang lama di PSSI. Dua nama terakhir terlibat pengaturan skor (match-fixing) belakangan ini dan sudah resmi jadi tersangka. Jika pengurus PSSI daerahnya nakal seperti itu, boleh jadi visi dan misi dari hulu tak sampai ke hilir, dalam hal ini ke sepakbola daerah.

Sosok Joko Driyono tentu seorang yang tahu segalanya soal sepakbola Indonesia. Dia sempat berkarier sebagai pemain, manajer, hingga akhirnya terjun ke operator liga dan pengurus PSSI. Pengetahuannya soal sepakbola Indonesia harusnya paling wahid. Tapi kenapa sepakbola Indonesia masih saja begini?

Edy memilih lengser karena tekanan yang ada. Tapi Joko Driyono dan kolega masih betah. Bahkan mundurnya Edy sendiri didukung oleh mayoritas pemegang hak suara di Kongres PSSI tersebut. Maka tak berlebihan rasanya jika menilai pengurus PSSI ini memang sudah lekat dengan satu rezim meski berganti-ganti ketua.

Maklum juga publik sudah kehilangan kepercayaan pada rezim PSSI saat ini. Kini sepakbola Indonesia sedang diguncang isu pengaturan skor. Tak sedikit pengurus PSSI yang terlibat. Semua itu diungkap oleh kepolisian, bukan federasi. Bahkan ketika kepolisian sudah menangkap dan membuktikan bahwa sejumlah nama terbukti bersalah dan mencederai sportivitas sepakbola lewat pengaturan skor, PSSI masih gagap menghadapi isu ini.

Sejumlah hukuman memang telah diberikan oleh Komdis PSSI pada sejumlah pihak yang terlibat pengaturan skor. Namun hanya sebatas menghukum pelaku. Mafia atau otak itu semua tetap tidak/belum bisa/mau ditangani oleh (Komdis) PSSI alias bebas berkeliaran. Berbeda dengan Satgas Anti-Mafia Bola yang dibentuk Kepolisian Republik Indonesia memang untuk membongkar sistem, yang artinya berupaya memutus pengaturan skor ini dari akarnya.

Pengurus PSSI sendiri tampak kurang bisa bekerja sama dengan satgas kepolisian ini. Pemanggilan terhadap sejumlah pengurus PSSI mengalami hambatan. Bahkan Joko Driyono yang berstatus Wakil Ketua Umum PSSI sebelum jadi plt Ketua Umum ini masih punya utang untuk dimintai keterangan, sebelumnya menunda pemeriksaan tersebut terkait pelaksanaan Kongres PSSI ini. Nama Joko Driyono (bersama Andi Darussalam) sempat disebut-sebut terlibat pengaturan skor di Liga 3 yang melibatkan PS Ngada dan Persekam Metro FC.

Oleh karenanya, saat ini hal yang harus diselesaikan bukan tentang siapa sosok yang pantas menjadi Ketum PSSI pengganti Edy Rahmayadi, melainkan tentang bagaimana caranya agar PSSI bisa membuka diri.

Ketum PSSI dipilih oleh pemegang hak suara yang diwakili oleh perwakilan klub dan Asprov PSSI. Orang-orang yang bisa menentukan siapa Ketum PSSI adalah pengurus-pengurus PSSI itu sendiri. Yang menjalankan program PSSI pun pengurus-pengurus PSSI yang dalam salah satu syaratnya adalah minimal mendapatkan satu dukungan dari anggota PSSI.

Jadi jangan teralihkan dengan pertanyaan "Siapa yang layak jadi Ketum PSSI?". Selama pengurusnya masih (beg)itu-(beg)itu saja, sepakbola Indonesia pun kemungkinan masih akan begini-begini saja. Selama pengurus PSSI khususnya para pemegang hak suara terjebak dengan alur rezim yang ada, pergantian Ketua Umum PSSI nantinya hanya akan jadi simbolis dan agenda semata tanpa dampak apa-apa buat sepakbola Indonesia.

Teruntuk para suporter yang ingin PSSI berbenah, teriakan "[Masukan nama Ketum di sini] Out" sudah berkali-kali terbukti bukan solusi perbaikan PSSI dan sepakbola Indonesia. Demo sebesar apapun pada PSSI, seperti yang terjadi pada kongres kemarin misalnya, kemungkinan besar tidak akan berpengaruh besar karena nasib para pengurus PSSI ini ada di tangan para pemegang hak suara.

Kesebelasan yang kalian dukung adalah para pemegang hak suara tersebut. Asprov di daerah tempat kalian tinggal adalah para voters yang bisa mengubah nasib sepakbola Indonesia. Mereka-lah yang seharusnya kalian "bangunkan". Bisa dibilang, mewaraskan para pemegang hak suara inilah yang bisa merevolusi PSSI seperti yang selama ini digaungkan.

Selama kesebelasan yang kalian dukung tiap pekan hanya manggut-manggut saja mengikuti rezim PSSI yang ada saat ini, selama para Asprov daerah masih iya-iya saja kata atasan, jangan harap ada perubahan besar dalam tubuh sepakbola Indonesia.

Komentar