Persib Bandung Butuh Racikan Baru

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi 62684

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Persib Bandung Butuh Racikan Baru

Halaman kedua

Dalam pola 4-2-3-1, sebenarnya tak masalah memiliki pemain seperti Febri atau Atep yang tidak memberikan banyak kesempatan full-back (inside forward) untuk menyerang. Hanya saja biasanya strategi seperti ini dibarengi dengan dua jangkar perebut bola.

Pola 4-2-3-1 a la Mourinho ketika di Chelsea misalnya, yang sering menduetkan Nemanja Matic dan John Obi Mikel (keduanya gelandang bertahan murni) untuk mengakomodasi kreativitas trio gelandang serang mereka; Willian, Oscar, dan Eden Hazard. Chelsea saat itu juga menempatkan dua full-back yang berorientasi pada pertahanan; Cesar Azpilicueta (sekarang jadi bek tengah) dan Branislav Ivanovic (asalnya bek tengah).

Sementara seperti yang kita tahu, lini tengah Persib saat ini justru menjadi celah terbesar dalam pertahanan Persib. Hariono memang gelandang perebut bola jempolan, salah satu yang terbaik di Indonesia. Namun Hariono bukan tipikal lone fighter, gelandang bertahan dalam 4-1-2-3 misalnya. Ia harus ditemani oleh gelandang yang juga siap membantunya; yang pada 2014 kerap diemban oleh Konate.

Konate memang menjadi salah satu figur paling vital dalam skuat Persib 2014. Ia merupakan penyeimbang Persib dalam menyerang maupun bertahan. Ia bisa meng-cover Firman Utina yang tidak terlalu baik dalam bertahan. Staminanya yang kuat menyisir area depan kotak penalti pertahanan atau milik lawan membuat Persib kerap unggul di lini tengah.

Dedi Kusnandar sebenarnya bisa meng-upgrade kualitas yang biasanya dimainkan oleh Firman Utina. Hanya saja gelandang serang Persib, entah itu Gian Zola, Maitimo atau Essien, bukan gelandang seperti Konate yang bisa menyeimbangkan lini tengah dalam bertahan maupun menyerang. Maka dari itu seringkali kita melihat lawan-lawan Persib dengan mudahnya mencetak gol lewat serangan balik atau bersumber dari area depan kotak penalti.

Situasi-situasi di atas disebutkan dengan asumsi Persib bermain dengan skuat terbaiknya. Di atas tidak menyebut tentang aturan wajib starter U23 yang sebenarnya punya andil dalam menurunnya kualitas permainan Persib.

Salah satu yang paling terasa adalah kehadiran Henhen Herdiana di sisi kanan Persib. Henhen merupakan pemain U23 yang paling sering dimainkan Persib, sembilan kali main dari total 11 kali bermain. Hanya saja ia tak bisa bermain seperti Supardi yang menjadi penghuni full-back kanan Persib pada 2014.

Persib gemar menyerang lewat sayap, tapi Henhen bukan pemain yang bisa membangun serangan dari sayap. Mayoritas operan yang ia lakukan diarahkan ke pemain bek tengah yang berada paling dekatnya, Vladimir Vujovic. Kombinasinya dengan Febri, pemain sayap yang tidak memberikan kesempatan untuk full-back menyerang, memang seimbang, sehingga Persib tidak terlalu banyak kebobolan. Namun kemampuan build-up yang tidak mumpuni dari Henhen membuat Persib tidak memiliki banyak variasi build-up, yang pada 2014 kemampuan Supardi membangun serangan dari full-back kanan justru menjadi kekuatan utama serangan.

Supardi sendiri mulai kembali mengisi bek kanan Persib sejak menit pertama pada dua laga terakhir (menghadapi Persiba dan Barito). Dari dua laga tersebut, 10 kali Supardi mencatatkan umpan silang. Jumlah tersebut jauh lebih banyak yang ditorehkan oleh Henhen yang dalam lima pertandingan terakhir hanya mencatatkan tujuh umpan silang saja.

Djanur harus mulai tinggalkan 4-2-3-1

Dengan skuat yang ada saat ini, meski tak kalah berkualitas, permainan Persib memang tidak bisa seperti yang Djanur harapkan, yaitu seperti pada 2014. Menurut saya pribadi, pemain tidak sepenuhnya salah. Karena pelatih-lah yang punya peranan penting dalam membentuk pola permainan tim.

Persib punya kelemahan saat wajib menurunkan pemain U23, tapi yang perlu disadari juga semua kesebelasan pun mengalami hal serupa. Adanya aturan U23 ini tentu tak bisa jadi alasan tim pelatih mengenai menurunnya kualitas Persib.

Maka satu-satunya cara yang bisa mengubah kualitas permainan Persib adalah adalah tim pelatih, khususnya Djanur, mengubah skema permainan Persib dengan orientasi memaksimalkan pemain-pemain terbaiknya.

Contohnya, Djanur harus memikirkan bagaimana caranya memanfaatkan Carlton Cole sebagai target man, bukan menyuruh penyerang asal Inggris tersebut bermain lebih agresif seperti Ferdinan atau Djibril Coulibaly. Atau cara lain dalam memaksimalkan umpan-umpan akurat Essien, dengan catatan ia harus dilindungi dua pemain bertahan seperti Kim Jeffrey Kurniawan dan Hariono, selama ini Essien selalu didampingi Maitimo, gelandang yang tak aktif dalam bertahan.

Pada Liga 1 2017 ini, Persib dihuni oleh 27 pemain. Skuat ini terbilang gemuk, karena pada 2014 mereka hanya diperkuat oleh 21 pemain. Dengan skuat yang ramping, ditambah sesuai dengan kebutuhan tim, Persib pun selalu bisa memainkan winning team.

Sementara itu pada musim ini, Persib terus melakukan rotasi di segala lini. Rotasi memang diperlukan, hanya saja dengan catatan tim tersebut harus sudah memiliki komposisi terbaiknya. Hanya duet bek tengah dan Febri Hariyadi yang tidak mendapatkan rotasi (kecuali saat absen).

Carlo Ancelotti, pelatih Bayern Muenchen, pernah berkata, "Strategi yang sama tidak akan bisa terus memenangkan pertandingan". Hal itu tentu perlu diamini, karena setiap lawan punya pendekatan strategi yang berbeda, yang membuat setiap pelatih harus siap mengantisipasi segala perubahan strategi tersebut.

Persib bukan tanpa upaya perubahan. Mencoba pemain seperti Billy Keraf, menempatkan Tantan sebagai penyerang tengah, mencoba Supardi di pos bek kiri, mengubah-ubah komposisi lini tengah, hingga yang terbaru menempatkan Gian Zola di posisi sayap. Namun dengan skema yang sama, menyerang lewat sayap yang sering disebut mapay gawir oleh bobotoh, perubahan-perubahan tersebut kurang signifikan karena hanya sekadar pergantian pemain.

Chelsea bisa mendapatkan momentum untuk menjadi juara Liga Primer setelah kalah dari Arsenal dan langsung mengubah pola bermain secara ekstrem pada laga berikutnya; bermain dengan pola 3-4-3 sejak awal. Hal seperti itu, bermain dengan pola baru, tidak hanya sekadar 4-2-3-1, mungkin, yang diperlukan Persib saat ini. Karena lawan-lawan Persib belakangan ini mengakui betul bahwa permainan Persib sangat mudah ditebak.

***

Jika dianalogikan, Persib saat ini dengan Persib saat juara 2014 bagaikan satu restoran (kesebelasan) yang memiliki bahan-bahan (pemain-pemain) yang sedikit berbeda tapi masih dalam kualitas yang sama-sama tinggi. Namun bahan-bahan berkualitas tersebut harus dimasak dan diracik (taktik permainan) dengan cara yang berbeda untuk menghasilkan menu yang berbeda pula meskipun sama-sama enak (kemenangan).

Saya sadar untuk memasak dan meracik bahan-bahan tersebut butuh keahlian yang bisa jadi berbeda. Maka dari itu, koki (pelatih kepala) harus senantiasa bisa fleksibel mempelajari menu baru dan mengetesnya di dapur (lapangan latihan) sebelum menyajikannya di atas meja (pertandingan) restoran.

Kalau sang koki tidak bisa melakukannya, jangan salahkan para konsumen (penonton) yang meminta agar sang koki untuk diganti (padahal mereka mungkin bisa ganti restoran saja, ya, hehehe). Sialnya, dari tadi saya masih belum melibatkan "pemilik" restoran ("manajer") ke dalam analogi ini.

Komentar