Hati-hati "Jebakan Batman" Marquee Player

Editorial

by Dex Glenniza 281915

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Hati-hati "Jebakan Batman" Marquee Player

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Pada kenyataannya, baru Persib Bandung saja yang berhasil mendatangkan marquee player. Dengan mendatangkan Michael Essien, ini berarti Persib tidak bisa lagi mendatangkan marquee player, ini berarti mereka tidak bisa lagi mendatangkan “pemain yang pernah bermain di Piala Dunia selama tiga kali putaran terakhir atau liga top dunia” (seperti definisi dari PSSI).

Kemudian nama-nama tenar lainnya seperti Peter Odemwingie (digosipkan ke Madura United), Didier Drogba, Robbie Keane, Dimitar Bebatov, dll, juga digosipkan akan datang ke Indonesia.

Sebenarnya, seperti yang pernah saya tulis juga sebelum Essien datang, kedatangan pemain kelas dunia ini akan meningkatkan nilai kesebelasan, nilai liga, dan nilai negara Indonesia di mata dunia. Pasar sepakbola Indonesia dan Asia Tenggara akan merasakan dampaknya, dan sepakbola akan terpromosikan dengan gencar.


Baca juga: Apakah Liga Indonesia Memang Memerlukan Michael Essien?


Promosi yang gencar dan baik, ditambah pasar yang ideal, berarti akan menghasilkan uang yang banyak, uang yang lebih sehat, yang selanjutnya bisa digunakan untuk meningkatkan infrastruktur, membangun akademi-akademi sepakbola, menambah jumlah pelatih sepakbola melalui pelatihan berlisensi, memperbaiki kualitas wasit melalui pelatihan yang berlisensi juga, dan lain sebagainya.

Hal ini tentunya akan lebih efektif daripada langsung meningkatkan infrastruktur, membangun akademi-akademi sepakbola, menambah jumlah pelatih sepakbola melalui pelatihan berlisensi, dan lain-lainnya sekarang; karena dengan marquee player, market tersebut berarti berhasil diciptakan.

Berseberangan dengan hal di atas, kita memang tidak memerlukan marquee player kalau hanya untuk menambah jumlah penonton atau meningkatkan penjualan kaus. Kita masih jauh dari situ. Penonton kita masih tetap banyak dan akan terus banyak, tapi yang membeli tiket memang belum tentu. Penjualan kaus juga akan laku keras, tapi yang membeli orisinal memang belum tentu juga.

Di luar hal-hal mengesalkan tersebut (mengesalkan untuk kesebelasan karena tidak mendapatkan dampak finansial secara langsung dari konsumen), kedatangan Essien dan marquee player lainnya memang merupakan investasi yang menarik.

Entah nanti bisa jadi pemain tersebut cedera, underperform, atau alasan mengesalkan lainnya, kita tetap akan mendapatkan dampak dari marquee player secara bisnis. Karena, saya ulangi, jika ada kesebelasan yang sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk marquee player, maka kita harus melihatnya dari perspektif pemasaran olahraga.

Hati-hati jebakan marquee player

PSSI mengetuk palu untuk regulasi marquee player pada Kamis (16/03), sementara Essien diperkenalkan kepada publik Bandung pada Selasa (14/03). Apakah kamu bisa melihat pola proses keputusan PSSI ini?

Saya menduga PSSI memutuskan peraturan marquee player setelah mendapati adanya marquee player (Essien) yang masuk. Saya tidak bilang ini sebagai pemakluman, karena kalau bicara kebutuhan, sejujurnya Indonesia tidak butuh-butuh amat dengan marquee player, apalagi sampai harus dibuat peraturannya segala.

Kita bukan Tiongkok yang kaya raya. Kita bukan India yang disokong oleh pebisnis juga. Kesebelasan kita bahkan masih banyak yang mengandalkan pemerintah daerah. PSSI saja sebenarnya mengandalkan pemerintah negara.


Baca juga: Sepakbola Indonesia Tidak Akan Maju Tanpa Bantuan Pemerintah


Untuk satu atau beberapa kasus, kedatangan pemain kelas dunia memang akan memiliki dampak yang sangat positif bagi nilai sepakbola di Indonesia. Tapi dengan dibuat peraturan marquee player ini, sebenarnya secara tidak langsung akan membuat kesebelasan menjadi terjebak.

Anggap saja begini, seorang bos membolehkan karyawannya memiliki dan membawa mobil ke kantor, padahal sebelumnya seluruh karyawan hanya naik motor atau kendaraan umum. Si bos memang tidak mewajibkan, hanya membolehkan. Secara tidak langsung, psikologis para karyawan akan berbicara, “aku sebaiknya memiliki mobil.”

Bayangkan jika karyawan yang sebenarnya tidak mampu membeli mobil tapi memaksakan untuk membeli mobil hanya karena diperbolehkan oleh bos, hanya karena melihat rekannya memiliki mobil yang bagus; maka karyawan tersebut akan tersiksa finansialnya, mungkin akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlilit banyak hutang, dan bahkan membuat masalah baru di kantor: parkir penuh.

Hal ini berlaku untuk kesebelasan-kesebelasan peserta Liga 1. Jangan terbuai dengan rayuan marquee player. Kita tahu kita semua ingin liga lebih berkualitas dengan marquee player, dengan adanya Essien, Drogba, Berbatov, dll. Tapi kita harus sadar dengan adanya kontradiksi.

Jangan sampai masalah-masalah klasik nantinya malah akan berulang, seperti tertunggaknya gaji pemain, kematian suporter, masalah visa dan izin kerja, kekerasan kepada wasit, “pembinaan” pemain usia muda, sepakbola gajah, dan lain sebagainya.

Kesebelasan-kesebelasan di Indonesia seharusnya sudah cukup cerdas untuk tidak terkena “jebakan Batman” melalui peraturan marquee player.

Persib Bandung dan Essiennya mungkin adalah pengecualian. Jangan sampai pengecualian ini berbuah menjadi perang gengsi. Karena sederhana saja, tidak semua kesebelasan itu setajir Persib Bandung. Lagipula yang kaya, kan, belum tentu yang juara.

Komentar