Rumput Stadion yang Berakar pada Mentalitas Bangsa

Editorial

by Dex Glenniza 28881

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Rumput Stadion yang Berakar pada Mentalitas Bangsa

Perawatan rumput stadion sepakbola berdasarkan FIFA

Meskipun perencanaan dan penjadwalan sudah diatur, FIFA juga memberikan standar lainnya dalam hal perawatan rumput. Secara umum, rumput membutuhkan lima hal utama untuk bertahan hidup: air, cahaya, karbondioksida, oksigen, dan nutrisi.

Stadion di Indonesia, termasuk GBLA dan GBK, biasanya menggunakan jenis rumput manila atau Zoysia matrella. Jenis rumput ini memang merupakan jenis rumput terbaik untuk pertandingan sepakbola.

Kami pernah membahas mengenai jenis-jenis rumput di lapangan sepakbola dalam tulisan di About the Game detikSport berikut ini.

Secara umum, FIFA mensyaratkan perawatan stadion mengandung empat faktor, yaitu estetika (keindahan), keamanan, penampilan permainan, dan jangka waktu yang panjang.

Perawatan rumput harus dilakukan secara rutin, tapi harus menyesuaikan dengan jumlah pertandingan. Rumput juga harus kering dan tumbuh merata. Drainase (saluran air) juga menjadi faktor penting dalam perawatan rumput. Secara logika, ketika cuaca panas, drainase yang baik dibutuhkan untuk menurunkan suhu panas di permukaan lapangan, sedangkan ketika cuaca hujan, hal ini akan mengurangi genangan air.

Selain itu, FIFA juga mengatur pengecekan permukaan lapangan harus dilakukan setiap hari, pembersihan dilakukan setiap setelah stadion digunakan (biasanya 30-35 jam), pembasmian lumut setiap tahun, dan pembasmian gulma dan es (pada stadion yang terletak di daerah bermusim dingin).

Hal di atas berlaku untuk semua jenis rumput, baik rumput asli, rumput artifisial, dan juga termasuk rumput sintetis.

***

Jesse Pritchard, manajer lapangan di North Carolina yang lapangan stadionnya sempat dipakai untuk konser band U2 pada Oktober 2009, mengatakan bahwa konsekuensi rusaknya rumput tidak bisa ditoleransi biar bagaimanapun juga.

Ia tahu jika konser U2 mendatangkan banyak keuntungan finansial untuk stadionnya. Tapi itu tak lantas membuatnya malas untuk mempersiapkan grass cover terbaik dengan memasang dan membongkarnya sesegera mungkin.

“Saya harus mendapatkan jaminan jika rumput akan hijau kembali pada akhir pekan,” ujarnya seperti yang kami kutip dari Washington Post. “Lamanya waktu akan membuat rumput kehilangan cahaya matahari dan oksigen, itu akan membunuh rumput. Anda harus memastikan rumput tetap aman dan bisa dimainkan setelah acara, acara apapun itu.”

Ia melanjutkan dengan nada yang lebih profesional: “Saya tahu (stadion) saya memiliki banyak uang untuk mengganti rumput yang rusak, tapi tetap saja tidak ada alasan yang tepat untuk mengganti rumput jika memang tidak harus diganti.”

Melihat pernyataan Pritchard di atas, untuk kemudian berkaca kepada apa yang terjadi di GBLA, pertanyaan yang mengherankan adalah: Dengan menganggap persiapan yang tidak serius dan tidak profesional, apakah 400 juta rupiah adalah harga yang sesuai untuk mengganti rumput di GBLA?

Pada akhirnya, seperti rumput yang juga memiliki akar dan meskipun “ujung-ujungnya duit”, masalah kita di Indonesia tetap berakar pada mentalitas.

Foto: bobotoh.id

Komentar