Gerhana Matahari Total Premier League

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Gerhana Matahari Total Premier League

Pencapaian Leicester City bertahan di papan atas Liga Primer 2015/2016 begitu menghebohkan jagat sepakbola dunia. Apa yang ditunjukkan skuat asuhan Claudio Ranieri tersebut langsung membuktikan bahwa apapun bisa terjadi di sepakbola.

Banyak yang kemudian menyukai kisah Leicester City ini, termasuk kisah sang bomber andalan, Jamie Vardy, dan pahlawan lainnya, Riyad Mahrez. Tak sedikit juga yang kemudian berharap Leicester City tetap berada di puncak klasemen hingga akhir musim untuk menegaskan bahwa uang tak selamanya bisa berkuasa.

Para penggemar Liga Primer pun semakin bangga dengan liga favoritnya tersebut. Ketatnya persaingan papan atas serta Chelsea yang terseok-seok setelah menjadi juara pada musim sebelumnya, membuat Liga Primer dianggap sebagai liga terbaik dunia.

‘Dianggap’. Saya memasukkan kata tersebut pada paragraf di atas karena masih ada keraguan mengenai pandangan tersebut. Saya tidak menyangsikan Liga Primer sebagai liga yang kompetitif. Tapi di balik kompetitifnya Liga Primer, khususnya seperti sekarang ini, ada hal lain yang sebenarnya justru membantah kualitas Liga Primer sebagai liga terbaik dunia itu sendiri.

Berbicara tentang kompetitif, tulisan “Liga Spanyol Terlalu Mudah?” sudah cukup jelas membahasnya. Liga Spanyol disebut tidak kompetitif karena hanya tiga kesebelasan saja yang bersaing menjadi juara, sementara Liga Primer Inggris disebut kompetitif karena banyak kesebelasan, bahkan sekarang Leicester (yang musim lalu nyaris terdegradasi) berpotensi besar menjadi juara.

Hal tersebut perlu kita akui sebagai fakta. Tapi yang perlu ditekankan, bukan berarti Liga Spanyol tak lebih baik dari Liga Primer. Toh, seperti yang kita ketahui, Liga Spanyol berhasil melahirkan kesebelasan juara Eropa atau bahkan dunia dalam diri Barcelona yang bahkan (masih) sulit ditaklukkan. Jika Liga Spanyol tidak lebih baik dari Liga Primer, mengapa Arsenal yang jelas-jelas kesebelasan papan atas Liga Primer tidak mampu mengalahkan Barcelona?

Kompetitifnya Liga Primer saat ini sebenarnya memang ambigu. Di satu sisi, Liga Primer sekali lagi membuktikan bahwa sulit bagi kesebelasan manapun untuk mendominasi Liga Primer layaknya Bayern Munchen di Jerman, Juventus di Italia, atau Paris Saint-Germain di Prancis. Tapi di sisi lain, dengan Leicester kini berada di puncak klasemen, bisa jadi ini adalah kemunduran bagi Liga Primer.

Kemunduran di sini dikhususkan pada kesebelasan-kesebelasan papan atas; Manchester City, Manchester United, Arsenal, Liverpool dan Chelsea. Mereka patut tidak senang terhadap situasi saat ini. Bukan karena mereka tak bisa atau sulit juara musim ini, tapi karena Man City malah berkutat dengan masalah di luar lapangan (soal Pep Guardiola), Man United terus tertekan sepanjang musim bersama Louis van Gaal, Arsenal terancam gagal lagi bersama Arsene Wenger, Liverpool masih kepayahan ke empat besar, dan Chelsea yang langsung terperosok setelah juara.

Selain itu, kompetitifnya Liga Primer bisa jadi tak berarti apa-apa (tak menjadi prestasi) selain untuk Liga Primer itu sendiri (liga yang menarik untuk disaksikan, diikuti, hingga dikomersialisasi). Karena di Liga Champions atau di Europa League, di level yang lebih tinggi, kesebelasan Liga Inggris dianggap sebelah mata.

Manchester City berpotensi melangkah ke babak perempat final (catat: untuk pertama kalinya) karena ‘hanya’ menghadapi Dynamo Kiev. Sementara Chelsea, meski masih punya kans untuk lolos ke babak berikutnya, cukup ketakutan dan dianggap tak memiliki kekuatan untuk menaklukkan Paris Saint-Germain bahkan oleh manajernya sendiri, Guus Hiddink. Di Europa League, memang dipastikan akan ada wakil Inggris di babak delapan besar karena Manchester United dan Liverpool saling berhadapan satu sama lain. Tapi perlu dicatat, keduanya berlaga di Europa League karena United tersisih dari Liga Champions dan Liverpool tak lolos ke Liga Champions.

Bahkan musim lalu ketika Chelsea dengan yakin menjuarai Liga Primer, atau ketika kesebelasan-kesebelasan papan atas berkompetisi untuk juara seperti biasanya tanpa mencantumkan Leicester dan Tottenham sebagai kandidat, kesebelasan Inggris yang berkompetisi di Eropa berguguran lebih dini. Tak ada satupun kesebelasan Inggris yang mencapai perempat final Liga Champions 2014/2015 dan hanya Everton yang melangkah ke babak 16 besar Europa League pada musim tersebut.

Memang, dalam 10 tahun terakhir, terdapat Chelsea yang berhasil menjuarai Liga Champions pada 2012. Tapi dengan kemunduran-kemunduran yang sudah terjadi seperti yang terlihat sekarang ini, Liga Primer tak benar-benar menunjukkan diri sebagai liga terbaik, yang bisa menghasilkan kesebelasan terbaik. Liga Primer hanya liga yang asyik sendiri.

Keberadaan Leicester dan Tottenham di dua teratas klasemen terjadi karena kesebelasan-kesebelasan papan atas Liga Inggris sedang mengalami kemunduran. Kasarnya, Leicester dan Tottenham di papan atas bukan karena mereka telah naik level, tapi karena kesebelasan papan atas yang tampil buruk musim ini.

Tottenham misalnya, punya kans ke puncak klasemen pada pekan ke-28, setelah Leicester bermain imbang. Tapi mentalitas mereka sebagai kesebelasan juara, apalagi saat itu menghadapi derby London menghadapi West Ham, belum teruji benar di mana akhirnya mereka kalah. Mereka memang sempat ke puncak klasemen pada pekan ke-29, namun hanya 13 menit, atau sebelum Alexis Sanchez mencetak gol penyama kedudukan dan memaksakan hasil imbang 2-2 pada pertandingan Tottenham menghadapi Arsenal.

Tottenham menjadi satu-satunya kesebelasan yang tidak mengalami kemunduran, namun masih berada dalam level yang sama. Buktinya, jika pada pekan ke-29 ini Spurs mengantongi 55 poin, pada musim lalu mereka sanggup mengoleksi 50 poin di pekan ke-29. Dua musim sebelumnya, 53 poin diraih dari 29 laga. Tiga musim sebelumnya, 54 poin juga pada pekan ke-29. Hanya saja pada musim-musim sebelumnya, dengan poin tersebut, Tottenham tak menempati peringkat dua, berada di peringkat empat, lima bahkan tujuh. Itu yang membedakan, walau mereka sebenarnya berpotensi menjadi lebih besar pada musim depan karena saat ini dihuni oleh para pemain muda.

Sementara itu, kolumnis Eurosport, Richard Jolly, menyebutkan apa yang dialami Leicester musim ini seperti yang dialami Ipswich Town pada musim 1961/1962. Kala itu, Ipswich menjadi juara (untuk pertama kalinya dan satu-satunya yang mereka raih) karena kesebelasan papan atas lain seperti Arsenal, Everton dan Liverpool, tampil mengecewakan. Secara tidak langsung Richard mengatakan bahwa Leicester, jika menjadi juara musim ini, lebih karena faktor kesebelasan lain, khususnya kesebelasan papan atas, yang mengalami kemunduran, bukan karena Leicester memang benar-benar telah siap menjadi kesebelasan papan atas yang lahir berkat persaingan ketat Liga Primer.

Boleh jadi yang ditulis Richard memang benar. Bahkan kalau ditelisik lebih jauh, tak hanya kesebelasan papan atas saja yang mengalami kemunduran. Kesebelasan lain seperti Everton, Aston Villa, Newcastle United, dan Swansea City mundur dengan versi masing-masing. Everton tak terlalu ditakuti musim ini dan hanya mampu berkutat di papan tengah, Aston Villa hampir dipastikan akan terdegradasi, Newcastle United belanja besar-besaran namun belum beranjak dari zona degradasi, Swansea City terseok-seok di awal musim sebelum akhirnya mulai membaik pada putaran kedua serta Crystal Palace yang sempat mengejutkan pada awal musim tampil buruk pada paruh kedua.

Karenanya, musim ini memang menjadi anomali tersendiri. Bukan karena kompetitifnya Liga Primer menghasilkan Leicester sebagai kesebelasan kuat baru, melainkan karena saat ini memang menjadi momen langka yang jarang terjadi di Liga Primer di mana sejumlah kesebelasan mengalami kemunduran.

Sementara di tengah kemunduran beberapa kesebelasan, Leicester City bersama Claudio Ranieri muncul sebagai fenomena. Seperti gerhana matahari total yang menjadi salah satu fenomena di tahun 2016 ini karena terjadi 33 tahun sekali di Indonesia, menyaksikan Leicester City pada akhir musim 2015/2016 mengangkat trofi juara Liga Primer pun akan menjadi fenomena langka lainnya yang terjadi di 2016 ini.

Sekali lagi, Liga Primer musim ini momen langka. Leicester (hanya) akan mengulangi momen Ipswich juara pada 1962 atau Blackburn Rovers pada Liga Primer 1995. Setelah itu, persaingan papan atas Liga Primer tampaknya akan kembali normal seperti musim-musim sebelumnya.

Gerhana_Leicester_Bahasa_Indonesia

Musim depan, dengan apa yang terjadi pada musim ini, persaingan Liga Primer diprediksi akan kembali menjadi milik kesebelasan-kesebelasan papan atas. Selain kedatangan Pep Guardiola ke Manchester City, Juergen Klopp mungkin sudah mulai terbiasa dengan atmosfer Liga Primer bersama Liverpool. Selain itu, Chelsea akan tampil dengan kekuatan baru bersama manajer anyar. Pun begitu dengan Arsenal dan Manchester United yang entah masih akan bersama Arsene Wenger dan Louis van Gaal atau tidak.

Jadi, untuk apa yang terjadi saat ini, jangan terlalu mengagung-agungkan Liga Primer semakin kompetitif. Musim ini hanya momen langka. Jadi mari kita nikmati saja ‘gerhana’ Premier League yang belum tentu akan terjadi lagi di masa yang akan datang ini.

Komentar