Sepakbola Indonesia "Rek Kieu Wae, Euy?"

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Sepakbola Indonesia

Kesuksesan penyelenggaraan turnamen sepakbola bertajuk Piala Presiden 2015 membuat Mahaka Sports and Entertainment selaku penyelenggara, ketagihan menggelar turnamen sepakbola. Kabar terbaru, bulan November akan digelar Indonesian Championship Jenderal Sudirman Cup.

Bagi masyarakat Indonesia yang haus akan tontonan sepakbola nasional, hal ini tentunya menjadi kabar baik di tengah persepakbolaan Indonesia yang masih tak keruan, mengingat akan diiukti kesebelasan-kesebelasan papan atas Indonesia. Namun di sisi lain, latah turnamen seperti ini akan membuat kita semua melupakan duduk perkara sepakbola Indonesia saat ini.

Tak adanya kompetisi liga tentunya merupakan buah dari pembekuan PSSI oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Sementara lahirnya tunamen satu ke turnamen lainnya, akan membuat kedua belah pihak ini tetap berjalan dengan pendiriannya masing-masing.

Turnamen memang akan membuat para pemain, pelatih, dan segala aspek sepakbola nasional, bisa kembali berkompetisi dan memiliki pendapatan. Namun tentu saja ada yang terlupakan dari penyelenggaraan turnamen ini: pembinaan pemain.

Dalam sebuah negara, untuk memajukan sepakbola tentunya dibutuhkan pembinaan yang baik dari usia muda. Adanya piramida kompetisi pun bertujuan agar meningkatkan kualitas pemain dengan level-level kompetisi yang berbeda-beda. Tujuan akhirnya tentu saja kekuatan timnas yang meningkat.

Bagi kesebelasan yang mengikuti sebuah turnamen, mereka yang bertanding hanyalah kesebelasan-kesebelasan tertentu. Di Piala Jenderal Sudirman misalnya, hanya 14 kesebelasan ISL dan satu PS TNI saja yang berkompetisi. Apa kabarnya dengan mereka yang bermain di Divisi Utama dan Liga Nusantara?

“Kami mengambil inisiatif untuk menggelar Indonesia Championship Cup Jenderal Sudirman,” ungkap Panglima TNI, Jenderal Gatot, yang juga merupakan dewan perlindungan turnamen, seperti yang dinukil dari Detiksport. “Sesuai arahan Bapak Presiden, sepakbola harus terus berjalan dan dapat mencerminkan sebuah transparansi serta tata kelola yang lebih baik dalam penyelenggaranya. Untuk itu turnamen ini siap menjalankan amanat tersebut.”

Pihak penyelenggara sebenarnya tak berhak disalahkan atas adanya turnamen demi turnamen. Mahaka misalnya, mereka hanyalah EO yang bisa memanfaatkan situasi sepakbola nasional saat ini. Yang perlu disoroti tentunya bagaimana Menpora dan PSSI yang bertikai, membiarkan hal seperti ini terjadi.

Dari kubu Menpora, setelah membekukan PSSI, rencana pembenahan lewat Tim Transisinya cenderung berjalan lambat, bahkan mulai tak jelas muaranya. Sementara dari kubu PSSI, mengabaikan pembekuan ini dan malah tengah menyiapkan kompetisi baru tahun depan.

Di sinilah letak permasalahan sepakbola Indonesia yang sebenarnya. Kedua kubu ini bersikeras dengan pemikirannya masing-masing. Menpora tak mau duduk bersama dengan PSSI untuk menyelesaikan kisruh ini, sementara PSSI tak mau melunak meski telah dibekukan.

Bisakah Mahaka Menengahi Konflik Ini?

Satu hal menarik dari penyelenggaran Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman ini adalah turnamen ini mendapatkan restu dari PSSI (terkait keikutsertaan kesebelasan ISL) dan pemerintah dalam hal ini Menpora.  Ini artinya, Mahaka berada di tengah-tengah dua belah pihak yang saling bersinggungan ini.

Mahaka pun memiliki hubungan yang bagus dengan kesebelasan-kesebelasan ISL. Bahkan pada Piala Jenderal Sudirman, Persipura Jayapura yang awalnya enggan mengikuti turnamen selama sepakbola Indonesia dibekukan Menpora, menyatakan kesiapannya untuk ambil bagian.

Keberhasilan penyelengaraan Piala Presiden, dengan babak final digelar di Jakarta meski sang finalis Persib Bandung yang memiliki pendukung tak akur dengan suporter ibu kota, menunjukkan bahwa Mahaka bisa menjalankan kompetisi. Lantas mengapa tidak jika Mahaka berkolaborasi dengan PT. Liga Indonesia, selaku pemegang hak penyelenggara Liga Indonesia?

Mahaka kemudian harus melobi agar kesebelasan-kesebelasan ISL dan juga kesebelasan Divisi Utama serta Liga Nusantara untuk mendukungnya agar  roda kompetisi bisa berputar. Setelah itu, Mahaka meyakinkan PSSI, PT. Liga, dan Menpora sebagai bagian dari penyelenggara kompetisi ini.

Jika melihat kisruh sepakbola yang pernah terjadi di Italia dan juga di Vietnam, situasi yang dihadapi sepakbola Indonesia saat ini kemungkinan akan lebih cepat diselesaikan dengan adanya gerakan dari kesebelasan-kesebelasan itu sendiri. Klub-klub profesional harus mendesak mereka yang bertikai agar segera berdamai dan menggulirkan kembali kompetisi.

Tapi yang terjadi saat ini, kesebelasan-kesebelasan ISL masih berada di pihak PSSI, berusaha agar Menpora mencabut pembekuan PSSI. Sementara Menpora, dan juga sebagian dari kita, beranggapan bahwa PSSI merupakan organisasi yang harus dibenahi demi kemajuan sepakbola Indonesia. Sedangkan dalam sejarah sepakbola di dunia, tampaknya terbilang jarang, atau mungkin belum pernah ada, organisasi sepakbola yang berhasil mengalahkan pemerintah di negaranya (sila koreksi jika salah).

Pada akhirnya bola panas ini masih terus bergulir, tak jelas rimbanya. Kita selaku pecinta sepakbola Indonesia, hanya bisa melihat miris dengan pertikaian dari PSSI dan Kemenpora ini. Dan jika kedua kubu ini tetap memegang egonya masing-masing, jangan harap sepakbola Indonesia akan kembali berjaya dalam waktu dekat.

Rek kieu wae, euy? (mau begini aja, nih?)

Komentar