Memahami Para Pecundang Sepakbola melalui Teori Kambing Hitam

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Memahami Para Pecundang Sepakbola melalui Teori Kambing Hitam

Selalu ada kambing hitam di sepak bola. Di negeri yang menjunjung tinggi kejayaan di lapangan hijau, kekalahan bisa sangat sukar diterima, terkadang menjadi kepedihan yang berumur panjang. Perlu obat mujarab untuk meredakannya, setidaknya mengalihkannya sebentar. Kambing hitam memberikan kebutuhan itu.

Maka ketika Laura Basset dengan menyedihkan mencetak gol bunuh diri pada injury time semifinal Piala Dunia Perempuan 2015, banyak orang yang mungkin menduga ia akan menjadi kambing hitam.

Gol bunuh diri yang tragis itu bukan sekadar blunder, tapi sungguh-sungguh mematikan karena menyingkirkan impian Inggris meraih juara dunia. Gol itu membuat Inggris, yang sebenarnya tidak diprediksi bisa melaju sejauh ini, harus puas untuk bergumul di perebutan juara ketiga melawan Jerman.

Tapi Basset tak menjadi kambing hitam. Secara luar biasa pers Inggris, yang biasanya sangat kejam kepada kesalahan-kesalahan elementer apalagi kebodohan-kebodohan menggelikan, justru menjadikan Basset sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan. Publik Inggris memberi respek yang tinggi kepada Basset, juga kepada seluruh anggota skuat Inggris [baca artikel kami tentang kisah Basset ini: Tragedi Laura Basset].

Bandingkan dengan apa yang terjadi pada David Beckham di Piala Dunia 1998. Di perempatfinal Piala Dunia melawan Argentina itu, David Beckham diganjar kartu merah karena melanggar Diego Simeone. Esoknya, surat kabar Daily Mirror memasang headline: “Ten Heroic Lions, One Stupid Boy.”

Pada 2006, Wayne Rooney diganjar kartu merah karena dianggap menginjak Carvalho. Rooney juga disalahkan, tapi Cristiano Ronaldo yang jadi kambing hitam. Dia dianggap memprovokasi wasit, lebih-lebih ia mengedipkan mata kiri pada rekannya. “ You’re Not Winking Anymore,” tulis surat kabar The Sun.

Pada 1986, siapa lagi jika bukan Maradona yang jadi kambing hitam. “Gol Tangan Tuhan” membuat Maradona tak pernah, tak akan pernah, dimaafkan oleh publik Inggris. Bagi Inggris, tak ada pencuri yang lebih durjana selain Maradona. Mereka lebih suka mengkambinghitamkan Maradona ketimbang mengkambinghitamkan Terry Butcher yang tidak menjegal Maradona saat si boncel ajaib itu membawa bola pada menit 56 untuk kemudian mencetak gol terbaik abad-20.

“Orang Inggris kadang terlalu banyak menyimpan cermin sehingga terkadang bingung wajah siapa yang ada di sana,” sindir Si Bengal dari Irlandia, Roy Keane.

Blunder dalam sepakbola sesungguhnya sudah menjadi hal lazim. Tak ada orang yang sempurna, sebagaimana tak ada kesebelasan yang selalu sempurna. Simak rangkaian cerita mengenai berbagai blunder dalam sepakbola:

Ragam Cerita tentang Blunder-blunder dalam Sepakbola.


****

Dalam tradisi Israel [Perjanjian Lama], pada hari raya Grafirat, dua ekor domba disiapkan. Yang seekor disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban pengampunan dosa, dan yang lainnya dibiarkan hidup dan kepadanya diletakkan dosa-dosa umat Israel, lalu bintang itu diusir ke padang gurun. Dalam kalimatnya Andreas Yewanggoe, di buku Agama dan Kerukunan (Jakarta, Gunung Mulia, 2009: hal. 29), dengan itulah dosa-dosa bangsa Israel ikut dibawa menjauh dan umat dipulihkan kembali. Segala kegiatan sehari-hari berjalan lagi seperti biasa, karena krisis sudah lewat.

Agama-agama kuno, tulis Rene Girard, mengatasi kesulitan yang melanda masyarakat dengan upacara korban, yakni dengan melemparkan penyebab penderitaan itu pada suatu sosok. Sosok yang menjadi "kambing hitam" ini bukan cuma diperlakukan sebagai muasal penyebab kekerasan, tapi juga pada semua jenis penderitaan, kesusahan, cobaan, tulah, melapateka dan bala.

Chaos, keruntuhan, kesedihan, kekalahan, bala dan mara jadi terasa lebih ringan dan bisa sedikit diterima jika ada kambing hitam yang bisa dihujani anak panah kebencian dan kemarahan. Korban yang menjadi kambing hitam diubah menjadi obat yang mengagumkan, berbahaya, namun dalam dosis yang pas, ia mampu menyembuhkan semua penyakit, setidaknya segala perasaan sedih, pedih, kalah, dan  tumbang.

Ini sebentuk kekerasan, tapi karena kekerasan ini biasanya bersifat kolektif, itu jadi sesuatu yang wajar dan dibutuhkan. Lagi pula, seperti kata Carl Smitt, ahli hukum dan teoritikus politik dari Jerman, kekerasan yang dilakukan dengan suara bulat akan tampak menjadi sesuatu yang suci.

Bahwa sang kambing hitam mesti menanggung sakit yang panjang, itu tak jadi soal. Simaklah riwayat Moacir Barbosa, kiper Brasil pada Piala Dunia 1950, yang bisa ditahbiskan sebagai kambing hitam paling menyedihkan dalam sejarah sepak bola.

Brasil saat itu bukan hanya menjadi tuan rumah, tapi juga kandidat paling kuat. Brasil dengan telengas membabat Spanyol dan Swedia dengan skor 7-1 dan 6-1. Jangan heran jika pagi jelang final panggung perayaan pesta sudah disiapkan. Sorenya, Stadion Maracana sudah penuh dengan 200 ribu orang yang sedikit pun tak cemas dengan ancaman Uruguay. Skor 1-1 di awal babak kedua sama sekali tak menggoyahkan keyakinan orang Brazil. Brazil juara, itu pasti!

Tapi Alchides Ghigia datang pada menit 81 untuk menggagalkan semua kejumawaan yang datang terlalu dini itu. 3-2 untuk Piala Jules Rimet kedua yang didapatkan Uruguay. Jules Rimet, Presiden FIFA saat itu, memberi kesaksian, Maracana begitu sepi saat wasit George Reader meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. “Kesunyian begitu mengerikan,” kata Jules Rimet.

Baca juga:

cerita mengenai laga menyedihkan final Piala Dunia 1950 yang dalam bahasa Brazil dikenal sebagai Tragedi Maracanazo.


Kesunyian pula yang akhirnya menerkam hidup Barbosa. Entah bagaimana ceritanya, Barbosa tiba-tiba menjadi kambing hitam. Tak peduli Brasil bermain sebelas orang, publik Brazil hanya tahu Barbosa  yang jadi biang keladi. Saat hendak mengunjungi para pemain yang memperkuat kesebelasan Brasil pada Piala Dunia 1994, Barbosa ditolak sang pelatih, Mario Zagallo. Barbosa, dengan jelas, dianggap pembawa sial, kutuk yang harus dijauhi.

“Orang-orang melupakan kekalahan Brazil pada Piala Dunia 1974, 1978 dan 1988, tapi mereka masih terus berbicara tentang kekalahan 1950,” ratap Barbosa. Beberapa saat sebelum meninggal, Barbosa masih tak bisa mendapatkan jawaban kenapa rakyat Brasil terus menerus menyalahkannya. Teresa Borba, karib Barbosa, bersaksi, “Barbosa bahkan menangis di bahuku dan hingga kematiannya ia selalu berkata: Aku tidak bersalah, saat itu kami bersebelas, bukan hanya aku seorang!”

Orang Brazil percaya bahwa untuk membuang sial dibutuhkan kambing berbulu hitam untuk dikorbankan. Lagi pula, Brasil waktu itu masih didominasi orang kulit putih, tak ada yang patut menjadi kambing hitam selain Barbosa, kiper berkulit hitam pertama dalam sejarah Brasil. Kulit hitam untuk kambing hitam. Kombinasi yang pas, bukan?

Lima kali Brazil menjadi juara dunia, lima kali pula kiper kulit putih menjadi pilihan utama (Gilmar pada 1958 dan 1962, Felix Mieli pada 1970, Claudio Taffarel pada 1994, dan Marcos pada 2002).

****

Menariknya, seperti yang ditunjukkan Girard dengan sosok Ayub, kambing hitam juga bisa dianugerahi kesucian yang kadang bersifat ilahiah. Kata Girard, “…bila Ayub bersedia memainkan peranannya dengan patuh sebagai korban yang dikambinghitamkan, niscaya ia akan segera diubah menjadi seorang yang besar, bahkan mungkin sebagai yang sedikit bersifat illahi."

Kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab derita, lalu disakralkan dan dianggap sebagai pembawa perdamaian. Ia tampak sebagai yang terkutuk tapi kemudian hadir sebagai pembawa keselamatan.

David Beckham, kambing hitam di Piala Dunia 1998, barangkali adalah sosok Ayub di lapangan hijau. Ia masih dicemooh saat membawa MU meraih treble pada 1999, apalagi saat gagal membawa Inggris juara di Euro 2000. Tapi Beckham dimaafkan saat berhasil menjebol gawang Yunani dengan tendangan bebasnya di menit terakhir kualifikasi Piala Dunia 2002. Apalagi ia berhasil menjebol gawang Argentina, musuh abadi Inggris, di babak penyisihan grup.

Ia nyaris menjadi kambing hitam lagi saat gagal mengeksekusi tendangan penalti ke gawang Portugal di perempat final 2006. Tapi keputusan untuk melepaskan ban kapten sebagai bentuk tanggung jawab membuatnya selamat karena dengan itu ia menjadi tauladan tentang bagaimana semestinya seorang gentleman ala Inggris. Ia juga tetap menjadi langganan tim nasional sehingga rekor penampilannya untuk Inggris hanya kalah dari Peter Shilton. Ketika Beckham mendapat gelar gelar OBE (Order of the British Empire) dari Sang Ratu, “kesucian” itu tersemat sudah.

Inilah juga yang terjadi pada Laura Basset. Alih-alih dihabisi media dan publik karena kesalahan fatal melakukan gol bunuh diri di injury time, ia malah diangkat levelnya menjadi pahlawan. Ia dielu-elukan, ia dibicarakan sebagai bentuk ideal warga Inggris yang berjuang sebisanya untuk kebanggaan nasional.

Laura memang tidak akan mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris sebagaimana Beckham. Tapi apa yang terjadi setelah gol bunuh dirinya itu sekali lagi memperlihatkan apa yang disebut Rene Girrard sebagai kambing hitam yang justru posisinya menjadi lebih terhormat. Inilah momen ketika "pecundang" berubah menjadi "pahlawan".

Barbosa, tentu saja, tidak masuk ke deretan itu. Seruan Dida, yang meminta rakyat Brazil memaafkan Barbosa tak diindahkan. Lagi pula, Dida, “si hitam itu”, terbukti tak becus menjaga gawang Brazil dari terjangan Thiery Henry di perempat final Piala Dunia 2006. Dida “seakan” dihukum dengan tak dibawa ke Piala Dunia 2010.

Sesungguhnya akan selalu tersedia banyak sekali kambing hitam untuk dosa-dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Lagi pula, bola masih bundar, bukan? Ah, bola lagi toh yang disalahkan? Kambing hitam lagi!

Sumber ilustrasi: https://beattieroad.net/home/tag/scapegoat/

Komentar