Balada Timnas Perempuan Palestina

Editorial

by redaksi

Balada Timnas Perempuan Palestina

Di tengah marabahaya mematikan, di antara tank-tank dan puing-puing yang berserakan, beberapa perempuan nekat bermain sepakbola. Mereka bermain dengan fasilitas seadanya, dengan lapangan yang bukan lapangan sesuai standar, dengan bola yang sudah buluk dan robek di sana-sini.

Samar Moussa bercerita bagaimana timnas perempuan Palestina terbentuk. Direktur Olahraga Universitas Betlehem yang kelak menjadi pelatih timnas perempuan Palestina pertama itu memulai segalanya bersama Honey Thaljieh, orang yang kelak menjadi kapten timnas perempuan Palestina yang pertama.

Keduanya menjadi duet penuh semangat yang sangat bergairah membentuk kesebelasan perempuan. Sangat sulit. Sedikit sekali perempuan Palestina yang bisa diajak bermain sepakbola. Amat sedikit. Membentuk sebuah kesebelasan merupakan perkara mendasar yang harus mereka atasi lebih dulu.

Thaljieh sendiri mengenal sepakbola dari kakak-kakaknya yang laki-laki. Ia bermain bersama anak laki-laki yang menjadi teman kakaknya. Dan itu terus berlangsung hingga ia remaja. Apa boleh bikin, sekali lagi sangat sulit mencari perempuan yang mau diajaknya bermain sepakbola.

Pertama, resiko keamanan. Palestina, biar bagaimana pun, merupakan wilayah konflik yang paling berbahaya di Timur Tengah. Kedua, soal penerimaan masyarakat yang masih menganggap aneh perempuan bermain bola. Ada juga soal syariat, sehingga cukup banyak gadis yang ingin bermain bola tak mendapatkan izin dari keluarga.

Susah payah Samar dan Thaljieh mencari pemain. Pelan-pelan mulai terbentuk kumpulan pemain. Akhirnya bisa membentuk, mula-mula, 11 orang.

Persoalan berlanjut: tak ada tempat latihan. Satu-satunya lapangan berjarak 10 mil dari kampus Universitas Betlehem. Itu pun harus melewati pos penjagaan Israel yang dijaga oleh tank-tank yang menyeramkan. Bukan pilihan yang ideal jika memaksa berlatih di sana. Merepotkan. Dan berbahaya.

Terpaksalah mereka berlatih di ruang-ruang terbuka seadanya, dengan lapangan yang nyaris tanpa rumput, juga dengan ukuran yang jauh dari standar. Itu pun dengan jumlah pemain yang sering tak lengkap. Ada saja yang tak bisa datang. Karena tak mendapatkan izin dari keluarga, karena tak lolos pemeriksaan keamanan Israel, dll., dsb.

Maklum, masa-masa itu memang masa yang benar-benar sulit. Pada periode di mana Samar Moussa dan Thaljieh mencoba membentuk kesebelasan perempuan, eskalasi kekerasan antara Israel dan Palestina sedang tinggi-tingginya. Pada 2000-2005 itu merupakan periode Intifada jilid 2. Kehidupan di Palestina benar-benar sulit, dan kehidupan normal nyaris terhenti.

Tema sepakbola perempuan cukup sering kami ulas, lebih banyak ketimbang mengulas futsal. Berikut beberapa artikel tentang sepakbola perempuan yang pernah kami turunkan:

Nadine Kessler Pesepakbola Perempuan Terbaik Dunia 2014
Fokus Italia untuk Sepakbola Perempuan
Menggugat FIFA Sejumlah Pesepakbola Perempuan Diancam
FIFA Gandakan Alokasi Anggaran untuk Sepakbola Perempuan
Patah Leher, Pemain Perempuan Ini Tak Ingin Diganti
Kisruh Penggunaan Rumput Buatan pada Piala Dunia Perempuan 2015
Dugaan Pengaturan Skor di Sepakbola Wanita
Lewat Sepakbola Perempuan Iran Ingin Merasa "Happy"
Apa Untungnya Jadi Tuan Rumah Piala Dunia Perempuan?



Ketika timnas perempuan Palestina akhirnya bisa mengikuti sebuah turnamen di Abu Dhabi pada 2008, mereka harus pergi di Mesir lebih dulu supaya bisa berkumpul bersama. Ini menjadi momen awal kebangkitan sepakbola perempuan Palestina setelah terhenti sepanjang 2007. Timnas perempuan Palestina mulai dicatat FIFA memainkan pertandingan pada 2005, berlanjut ke 2006, dan terhenti karena kecamuk konflik dengan Israel sepanjang 2007.

Samar Moussa berkisah, saat mereka semua berkumpul di Mesir itulah�ia baru bisa melihat semua 20 pemain timnas perempuan Palestina. Pemain dari Jalur Gaza yang dikuasai Hamas, yang lokasinya terpisah dari Tepi Barat yang menjadi domisili Samar, Thaljieh dan mayoritas pemain, tidak pernah bisa melintasi wilayah Israel untuk bergabung dengan rekan-rekannya di Tepi Barat.

Perempuan di Jalur Gaza memang lebih sulit lagi bergerak. Di bawah kekuasaan Hamas yang konservatif, perempuan tak leluasa berada di jalan raya, apalagi untuk bermain sepakbola. Saat Hamas memenangkan pemilihan umum pada 2007, perempuan secara resmi dilarang bermain sepakbola. Tapi sepakbola masih dimainkan secara sembunyi-sembunyi, khususnya di dalam kampus dan sekolah dan di acara-acara tertutup yang dibuat para pelajar perempuan.

Namun, saat Israel melakukan serangan pada musim panas 2008, sepakbola nyaris mustahil bisa dimainkan lagi di Jalur Gaza. Tak ada lapangan yang bisa dipakai sebab banyak fasilitas pendidikan, yang selama ini dipakai untuk bermain bola secara sembunyi-sembunyi, rusak akibat serangan Israel itu.

Saat mereka berkumpul di Mesir dalam rangka persiapan menghadapi turnamen di Abu Dhabi, barulah mereka semua bisa benar-benar merasakan bermain di lapangan yang sebenarnya, lapangan dengan rumput hijau terhampar, lapangan dengan ukuran standar.

Mereka berasal dari rentang usia yang beragam, antara 12 tahun hingga 23 tahun. Kebanyakan masih berstatus pelajar atau mahasiswi. Saat timnas perempuan Palestina terbentuk pertama kali pada 2003, sebagian pemain beragama Islam, sebagian beragama Kristen. Pelatihnya, Samar Moussa, seorang muslim. Kaptennya, Honey Thaljieh, seorang Kristen.

Menurut Fida, salah seorang pemain sepakbola Palestina, tak ada ketegangan politik dan agama di antara para pemain perempuan yang berlatar belakang agama berbeda-beda itu. Tak ada isu Islam vs Kristen. Respek berjalan dengan sendiri. Di bulan Ramadhan, pemain yang muslim tak keberatan melihat rekan Kristen-nya meminum air, dan pemain beragama Kristen dengan senang hati membantu menyiapkan makanan dan minuman agar rekan-rekannya bisa berbuka puasa.

"Islam dan Kristen bukanlah masalah. Ini sepakbola. (Perbedaan) agama tak penting lagi saat kami sudah mulai bermain bola," kata Fida.

Asyik, bahkan walau di sana tak ada jargon bhineka tunggal ika, bukan?

1297426410-inauguration-of-palestinian-womens-football-league_586590

Atmosfir stadion di Tepi Barat saat pembukaan Liga Sepakbola Perempuan Palestina�(10/02/2011)



Ketika mereka bisa pergi ke Mesir untuk persiapan turnamen di Abu Dhabi, dan akhirnya benar-benar pergi ke Abu Dhabi untuk bertanding, semuanya menjadi jauh lebih membahagiakan. Tak penting lagi bagaimana hasil akhirnya. Di turnamen yang berlangsung pada 2008 itu, mereka bertanding tiga kali, dan tiga-tiganya kalah. Dalam tiga laga itu, mereka kebobolan 11 gol.

Tapi siapa peduli?

Hala, salah seorang anggota skuat timnas Palestina yang berasal dari Jalur Gaza, mengatakan bahwa ia sangat senang bisa pergi ke Mesir dan Abu Dhabi. "Timnas memperbaiki berbagai hal. Itu membantu saya berhubungan dunia yang baru, dan itu membuatku berkesempatan melihat negara lain dan bertanding dengan lawan yang hebat," katanya.

Secara politik, mereka memberi pesan yang sangat kuat bahwa Palestina itu memang ada, memang nyata, dan mereka selayaknya manusia yang lain. Melalui para perempuan yang bermain sepakbola itulah, Palestina hadir dengan wajah yang manusiawi, bukan horor dan menyeramkan, bukan pula teroris sebagaimana dibayangkan oleh banyak orang di Barat.

Bahkan mereka tak merasa sulit jika harus menerima tawaran bertanding dengan kesebelasan Israel. "Saya tak punya masalah jika mesti bermain dengan kesebelasan Israel karena kita semua manusia," kata Thaljieh.

Ups, tapi Thaljieh, kan, Kristen. Biasa, toh, orang di sini menganggap pukul rata Kristen-Yahudi sama-sama memusuhi Islam -- di mana Palestina selalu diidentikkan dengan Islam tanpa peduli di sana pun ada penganut agama lain.

Tapi, perlu digarisbawahi, itu bukan hanya menjadi opini Thaljieh. Simak apa yang dikatakan Hala, pemain muslim dari Gaza. Katanya: "Jika bertanding melawan kesebelasan Israel itu ditujukan untuk perdamaian dan pembebasan, kenapa tidak?"

Itu juga yang dikatakan oleh Ghada, pemain muslim rekan Hala yang sama-sama dari Gaza. Ia bilang: "Saya akan senang jika itu terjadi (bertanding melawan Israel)... ini untuk memperjelas bahwa saya tidak menentang perdamaian. Saya siap jika itu untuk perdamaian. Jadi saya sangat senang bertanding dengan mereka."

Apakah dengan itu mereka tak lagi nasionalis? Ah, kadang orang kelewat tergesa menilai.

Mereka sangat bangga dengan identitasnya sebagai orang Palestina. Bagi mereka Palestina adalah hal sangat�penting bagi hidup mereka. Melalui sepakbola, mereka, para perempuan itu, ingin mengatakan bahwa kecintaan terhadap tanah air bisa diutarakan dengan nada yang berbeda, dengan nada lebih gembira,�tidak terlalu menyeramkan.

"Kami ingin menyampaikan pesan pada dunia bahwa Palestina adalah negeri yang hebat dan ini negeri yang mencintai kedamaian, juga negeri dengan pemain-pemain yang bagus. Untuk memperlihatkan sisi paling baik dari Palestina dan juga mengibarkan bendera bangsa kami setinggi-tingginya di seluruh dunia."

Itu kalimat bergelombang yang diucapkan oleh Honey Thaljieh, si Kristen yang meletakkan fondasi sepakbola perempuan di Palestina.

Kalimat itu mengutarakan nada yang cerah dan penuh semangat�dari manusia-manusia yang terhimpit berbagai penindasan: kolonialisme Israel, peperangan yang mematikan,�patriarki yang mencengkeram, juga politik yang memecah-belah.

Inilah balada perempuan-perempuan yang mencintai sepakbola, sebesar cinta mereka kepada Palestina.




Sumber cerita:

Internet:�electronicintifada.net, theguardian.com, discoverfootball.de,�english.alarabiya.net, dan lain-lain

Buku: Muslim Women and Sport,�khususnya bab 10 (editor: Tansin Benn, Gertrud Pfister, Haifaa Jawad)

Komentar