Melihat Pembinaan Sepakbola di Jerman yang Perlu Ditiru Indonesia

Cerita

by redaksi

Melihat Pembinaan Sepakbola di Jerman yang Perlu Ditiru Indonesia

Tidak berkaitannya program yang satu dengan lainnya, lemahnya fondasi pembinaan (termasuk kompetisi), hingga ketidakmampuan menjalankan program yang bermutu, merupakan inti masalah kerapuhan sistem pembinaan olahraga untuk meraih prestasi. Hanya dari pembinaan yang baik, nantinya akan membuahkan prestasi berkelanjutan.

Jerman menjadi salah satu negara yang serius menanggulangi isu ini. Semua berawal dari kegagalan mereka Piala Eropa pada tahun 2000 (finis sebagai juru kunci di fase grup). Lalu, mereka kalah dari Brasil di final Piala Dunia 2002. Selanjutnya, mereka kembali gagal lolos ke fase gugur di Piala Eropa 2004.

Raphael Honigstein, dalam bukunya yang berjudul Das Reboot: How German Football Reinvented Itself and Conquered, menjelaskan bahwa kebangkitan sepakbola Jerman berawal dari rasa malu atas hasil yang membuat mereka harus tersingkir dari turnamen-turnamen akbar tersebut.

Federasi Sepakbola Jerman (DFB) membuat sebuah rencana jangka panjang pasca kekalahan mereka di Piala Dunia 2002 Korea Selatan-Jepang. Melalui ketua federasinya saat itu, Gerhard Mayer-Vorfelder, diperkenalkanlah rancangan bernama Das Talentfoerderprogram atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi Program Pengembangan Bakat.

Sebuah rencana yang terkesan sederhana namun dieksekusi dengan begitu serius. Mereka mengerti betul jika pemain yang berkualitas tidak lahir begitu saja. Maka dari itu, mereka fokus kepada pengembangan pelatih dan sarana prasarana, dengan tujuan melahirkan pemain-pemain berbakat.

Sebenarnya, program tersebut sudah menjadi cetak biru untuk perkembangan pembinaan sepakbola di Jerman sejak dua dekade lalu. Akan tetapi dari momentum ini, kebangkitan sepakbola Jerman mulai menjadi sebuah acuan lebih serius yang pada akhirnya menjurus pada prestasi tim nasional mereka.

Pada 2003, Jerman membangun banyak pusat pelatihan yang mumpuni dan memberikan pelatihan kepada para pelatih di sana. Upaya ini dilakukan untuk menemukan bakat-bakat muda Jerman yang berpotensi untuk bermain di klub-klub Bundesliga.

Memberdayakan Pelatih dan Sarana Untuk Menciptakan Pemain Berkualitas

Langkah pembinaan ini melibatkan seluruh lapisan sepakbola di Jerman dalam merancang sistem, pengembangan, dan implementasi. Perwakilan dari federasi akan berkunjung ke negara lain menyambangi klub-klub, sekolah, dan komunitas sepakbola lainnya. Langkah promosi ini untuk menciptakan visi kolektif untuk pengembangan pemain di Jerman nantinya.

Mereka membuat cetak biru untuk gaya permainan Tim Nasional Jerman dan identitas sepakbola bangsa. Hal ini pernah dikatakan oleh Pep Segura, mantan Direktur Teknis La Masia, yang membeberkan mengenai keterkaitan pembinaan di usia muda dengan tim nasional.

“Identitas sistem juniorlah yang seharusnya menentukan identitas tim utama, bukan sebaliknya. Manajer tim utama harus dipilih karena cocok dengan identitas klub,” bebernya dalam situs youthdevelopmentproject.com.

Sejak program yang dikenalkan pada 2003 itu, mereka mengidentifikasi pemain muda yang berpotensi untuk diberikan pembekalan terkait keterampilan teknis dan pengetahuan taktis sejak usia dini. Mencakup 366 wilayah di Jerman, inisiatif yang serius ini mengakomodasi anak-anak berusia 8 hingga 14 tahun yang dilayani seribu lebih pelatih lepas milik DFB.

Menurut Jorg Daniel, pelatih pembinaan di DFB dan Direktur Program Promosi Bakat saat itu, terdapat 27.000 klub yang terdiri dari 1,8 juta pemain junior di seluruh Jerman.

Pelatih yang akan mengajar dalam pembinaan ini harus memegang lisensi UEFA B yang diharapkan dapat mengembangkan potensi dan melatih para pemain ini.

Bagi Jerman, Pasca Piala Eropa tahun 2000 merupakan perihal perubahan filosofi serta mempekerjakan lebih banyak pelatih dan meningkatkan fasilitas. DFB ingin meninggalkan cara bermain tim nasional yang hanya mengandalkan mentalitas semata dan beralih pada pengembangan taktik serta variasi bermain lebih cepat.

Dalam artikel The Guardian pada tahun 2013, Robin Dutt yang merupakan Direktur Olahraga kala itu, menjelaskan bagaimana ia merasakan perubahan yang terjadi dalam sepakbola Jerman.

“Sepakbola Jerman sedang booming, menuai hasil dari strategi yang disusun setelah penampilan buruk mereka di Piala Eropa tahun 2000 lalu. Ketika itu, Jerman menempati posisi terbawah grup. Pasca hasil memalukan itu, sepakbola Jerman dipaksa untuk melakukan perombakan, DFB, Bundesliga dan klub memutuskan bahwa pengembangan pemain lokal yang lebih mahir secara teknis akan menjadi kepentingan terbaik untuk sepakbola Jerman,” ujarnya.

Buahnya bisa dilihat dari final Liga Champions 2013. Ketika pertandingan tersebut, Bayern Munich dan Borussia Dortmund yang menjadi kontestannya. DFB menyimpulkan terdapat 26 pemain dari kedua kesebelasan yang merupakan homegrown atau hasil dari pemain lokal yang mereka didik dari hasil revolusi pembinaan mereka sejak 2003.

Investasi Pada Pemain Muda

Mengorbitkan pemain muda Jerman yang memiliki potensi adalah roh dari program ini. Di Jerman, mereka akan menekankan pada kualitas pemain lokalnya daripada harus mengeluarkan uang yang banyak untuk pemain dari luar.

Dengan senantiasa mereka mencari bibit pemain yang berkualitas untuk dimasukan ke dalam pembinaan yang telah mereka buat. Dari pembinaan itulah yang nantinya akan dinikmati oleh klub-klub di Jerman dan muaranya pada tim nasional.

Karena regenerasi pemain berkualitas menjadi patokan mereka selain menelurkan prestasi, dalam pengembangan individu pemain diperlukan kesabaran untuk melihat kemampuannya. Dilihat dari waktu ke waktu, dalam perjalannya dan menerima keberhasilan dan kegagalan.

Joachim Low pun memegang peran sentral dalam revolusi pembinaan sepakbola di Jerman. Ia menjadi pelatih Jerman dengan caranya yang sabar dan berkomitmen. Keberhasilan Jerrman harus menggambarkan setiap klub sepakbolanya dan tidak ada perbaikan yang cepat karena membutuhkan proses.

Jika melihat nama-nama beberapa alumni dari pembinaan yang dibuat oleh DFB, sudah banyak menghasilkan pemain yang berkualitas yang mampu bersaing bukan hanya di liga lokal saja tetapi merambah luas ke Eropa, seperti; Andre Schurrle, Mats Hummels, Thomas Muller, Marco Reus, Mario Gotze dan Mesut Ozil.

Nama-nama tersebut berhasil karena tata kelola pembinaan yang baik dan serius yang dilakukan oleh federasi untuk meningkatkan kualitas sepakbolanya.

Jalan Seirama Pendidikan dan Pembinaan

Stuart James dari media The Guardian wawancarai Christian Streich, pelatih Freiburg FC, terkait kunjungan sang pelatih ke Aston Villa untuk melihat perbandingan pembinaan sepakbola di sana. Streich menjelaskan pada James, jika di Freiburg sangat menekankan pekerjaan akademis, sehingga mereka mencari pelatih yang memiliki latar belakang seorang pengajar.

Inisiatif ini ditujukan untuk memberi bantuan kepada para pemain kapanpun dibutuhkan. Termasuk di dalam bus kala perjalan menuju tempat latihan, mereka akan membantu mengerjakan tugas. Streich juga menambahkan jika pihak klub memiliki kewajiban moral untuk memikirkan apa yang akan terjadi ketika tidak memiliki kemampuan selain bermain sepakbola.

“Sebagian besar pemain di akademi kamu tidak bisa menjadi pemain profesional, mereka harus mencari pekerjaan. Sekolah adalah hal yang paling penting, kemudian barulah sepakbola,” tuturnya.

Kewajiban moral di Freiburg ini menempatkan pendidikan di atas kebutuhan (latihan) pemain. Tujuannya untuk menciptakan lingkungan para pemain agar benar-benar percaya kepada pelatih dan kepentingan mereka terhadap klub. Jika pemain percaya dalam hal ini, mereka akan secara alami menyetujui semua aspek pembinaan yang diberikan dan akan mengadopsi nilai-nilai klub.

Menuntut Ilmu Hingga Ke Negeri Jerman

Dari kesuksesannya membina pemain lokal, Jerman menjadi destinasi beberapa negara untuk melakukan studi banding cara mengembangkan bakat-bakat pemain mudanya. Seperti Inggris, setelah gagal lolos ke Piala Eropa tahun 2008, mereka mendelegasikan orangnya untuk berangkat pergi ke Jerman.

Dari hasil perwakilannya yang bertandang ke Jerman, Inggris di tahun 2012 membuka komplek pelatihan St. George Park National Football Center. Di tempat itu, tidak sekadar untuk tempat latihan timnas Inggris saja tetapi juga menjadi sarana mereka untuk melahirkan pelatih, wasit juga pekerja-pekerja yang bertugas di dunia sepakbola.

Bukan hanya Inggris yang berguru ke Jerman, Indonesia juga sebetulnya pernah pergi ke Jerman untuk menghadiri workshop yang diselenggarakan DFB di kantornya pada 27-29 Maret 2018. Dalam laman resmi PSSI, dituliskan jika mereka mendatangi workshop yang bertema “Sport and Development”. Melalui Friedrich Curtius, Sekretaris Jenderal DFB, acara ini sangat berguna untuk memantau secara terus menerus, dan para ahli dari berbagai negara bekerja sama dengan tujuan mengembangkan konsep berkelanjutan.

Pembinaan yang dilakukan oleh Jerman itu, mengedepannya niat yang besar untuk melakukan perubahan yang signifikan di akhir prosesnya nanti, dalam artian tujuannya sudah jelas yaitu prestasi tim nasionalnya.

---

Sebetulnya, Tim Nasional Indonesia mengalami perubahan yang cukup baik saat ini. Dengan hadirnya Shin Tae-yong, lambat laun perbedaan mulai terlihat. Dari mulai cara bermain yang dinamis dari kaki ke kaki dalam membangun serangan hingga keakraban dengan pemain.

Shin pun melakukan terobosan baru kepada Indonesia. Ia berani mengambil langkah untuk memotong generasi untuk perubahan wajah Indonesia. Shin memanggil pemain-pemain muda untuk mengisi slot pemainnya.

Langkah ini menjadi buah bibir di masyarakat. Banyak yang mendukung keputusannya dan banyak juga yang menyayangkan hal itu karena pemain muda dirasa masih belum mempunyai pengalaman dan mental bertanding seperti para seniornya.

Proyek ini untuk menciptakan Indonesia yang berkualitas dan mampu bersaing di masa depan karena sering bermain bersama dan karakter bermainnya sudah terbentuk. Namun perlu disadari juga, jika Indonesia masih berharap pada pemain naturalisasi.

Sebenarnya juga tidak ada salahnya menggunakan pemain naturalisasi. Namun jika Indonesia ingin unggul prestasi, maka pembinaan usia mudanya pun harus dibenahi dan dilakukan secara serius. Indonesia sangat bisa belajar banyak bagaimana Jerman mampu memunculkan generasi-generasi pemain yang apik.

Jerman akan lebih bangga ketika para pemain lokalnya mampu bersaing dan “manggung” di dunia sepakbola, Di tahun 2018 datangnya perwakilan PSSI ke DFB seharusnya bisa terus berjalan dan diperbaharui hingga saat ini bagaimana perkembangan pembinaan di Jerman.

Indonesia sudah dibekali oleh Jerman dan tinggal menerapkan secara serius dan konsisten dalam pembinaan di negeri ini. Jika Indonesia ingin mencontoh Jerman sebagai cetak biru pembinaan usia muda, perlu koordinasi federasi, pemerintah dan klub-klub untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang tujuan akhirnya.

Indonesia juga perlu memperhatikan pelatih-pelatih yang ada disini, semakin banyak pelatih yang berlisensi, dan semakin banyak yang berkualitas maka nantinya juga akan menghasilkan para pemain yang berkualitas juga.

Infrastruktur juga menjadi masalah penting bagi pembinaan sepakbola usia muda di Indonesia, masih banyak dari sekolah sepakbola yang tidak memiliki lapangan sendiri.

Atau jika ingin mencontoh Jerman secara plek-plekan dan Indonesia benar-benar ingin membangun sepakbola meraih prestasi di masa depan, federasi bisa membuat pusat pembinaan sendiri seperti apa yang dilakukan oleh federasi Jerman.

Dan secara matang dalam pengelolaan pembinaannya, mencari bakat-bakat dari seluruh Indonesia untuk masuk ke dalam pembinaan. Nantinya, pola pembinaan seperti ini jika dilakukan dengan serius, sangat memungkinkan Indonesia bisa menjadi Jerman untuk menelurkan pemain berkualitas yang bisa membawa prestasi untuk Indonesia.

Komentar