Argentinos Juniors dan 3 Sosok yang Menyempurnakan Permainan Maradona

Cerita

by redaksi

Argentinos Juniors dan 3 Sosok yang Menyempurnakan Permainan Maradona

Argentinos Juniors pada musim 1976 adalah salah satu klub terburuk di divisi teratas Argentina, Kejuaraan Metropolitano. Mereka nyaris degradasi setelah tak pernah menang di babak grup degradasi yang mempertemukan 10 tim terbawah. Namun siapa yang mengira bahwa pada saat itulah Diego Armando Maradona Franco, sang legenda sepakbola, `lahir`?

Bermula pada 20 Oktober 1976. Kejuaraan Nasional, format lain divisi teratas Argentina, memasuki pekan ke-8. Argentinos menghadapi Talleres, tim yang sedang dalam performa terbaik setelah menang di tiga laga terakhir. Sebaliknya, Argentinos yang bertindak sebagai tuan rumah sedang dalam performa buruk, menelan dua kekalahan dan satu imbang di tiga laga terakhir.

Talleres lantas berhasil unggul 1-0 pada babak pertama, lewat gol sang penyerang andalan, Luis Antonio Luduena. Saat turun minum, pelatih Argentinos saat itu, Juan Carlos Montes, memutar otaknya dengan keras untuk bisa membalikkan keadaan. Diperhatikannya satu per satu pemainnya yang ada di ruang ganti. Pandangannya lantas berhenti pada Maradona.

"Hey, bocah. Kamu siap main?"

"Ya," jawab Maradona.

"Oke, bersiaplah."

Memainkan Maradona adalah perjudian besar bagi Montes. Maradona saat itu belum pernah sekalipun bermain di laga resmi. Dari segi usia, dia memang terlalu muda bagi sepakbola profesional. Saat itu usianya belum genap 16 tahun. Meski begitu, Montes tahu bahwa si rambut ikal itu punya sesuatu.

Menggunakan nomor punggung 16, Maradona lantas masuk ke lapangan untuk pertama kalinya. Dan tak butuh waktu lama, pemain kelahiran Buenos Aires ini langsung menunjukkan magisnya. Juan Domingo Cabrera, pemain yang usianya 8 tahun lebih tua dari Maradona, jadi korban pertama kehebatan Maradona setelah dia menggulirkan bola di antara dua kakinya.

"Aku ingat saat itu ada di sisi kanan lapangan," kata Cabrera menceritakan kembali momen dirinya dikolongi Maradona 30 tahun setelah kejadian. "Aku hendak menekannya. Tapi ketika aku belum melakukan apapun, dia mengolongiku, dan ketika aku berbalik badan dia sudah sangat jauh dariku."

Kehadiran Maradona sebenarnya gagal mengubah skor. Argentinos tetap kalah 0-1 di akhir pertandingan. Setidaknya, Maradona langsung mencetak sejarah di laga perdananya dengan menjadi pemain termuda yang menjalani debut (usianya saat itu 15 tahun 11 bulan 20 hari).

"Pada hari itu (debut), aku merasa telah menggenggam langit dengan tanganku," ujar Maradona.

Setelah laga itu, penampilan Maradona selalu dinantikan. Stadion yang biasanya sepi penonton mulai dipadati suporter karena penasaran dengan aksi pemuda bernama Maradona. Bahkan Juan Miguel Vicente, jurnalis yang menulis buku Myths and beliefs of Argentine football menyebut bahwa tidak hanya suporter Argentinos, suporter tim lain pun mulai menyaksikan Argentinos setelah kehebatan Maradona menyebar dari mulut ke mulut.

Di sisa musim 1976, Montes tak ragu lagi untuk memainkannya. Maradona selalu dimainkan, walau gagal mengubah nasib Argentinos. Tapi dari musim itulah Maradona mulai memamerkan kehebatannya. Kepercayaan Argentinos terhadap kemampuan Maradona-lah yang kemudian membuatnya dilirik Boca Juniors, sampai akhirnya ia bisa menancapkan nama besarnya di Eropa bersama Barcelona dan Napoli.

Learn From Best

Pemandu bakat Argentinos Juniors menemukan Maradona saat sang pemain masih berusia 8 tahun. Menariknya, saat trial para pelatih Argentinos seakan tak percaya melihat kemampuan Maradona ketika bersama bola.

"Ketika Diego datang ke Argentinos Juniors untuk menjalani trial, aku sangat kaget dengan talenta yang dimilikinya dan aku tak percaya usianya masih 8 tahun," beber Francisco Carnejo, pelatih tim muda Argentinos saat itu. "Kami sampai meminta tanda pengenalnya supaya kami bisa mengeceknya, tapi dia bilang dia tidak punya."

"Kami sempat yakin kalau dia punya tanda pengenal (bukan anak-anak) karena meski fisiknya anak-anak, dia bermain seperti orang dewasa. Tapi ketika kami tahu bahwa yang dia bilang itu benar, kami memutuskan untuk mendukung perkembangannya."

Kehebatan Maradona dalam mengolah bola sendiri terinspirasi oleh tiga legenda. Yang pertama adalah Rivellino. Rivellino adalah sosok yang membuatnya mengasah kaki kirinya. Rivellino merupakan playmaker Timnas Brasil kala menjuarai Piala Dunia 1970 bersama legenda Brasil lain seperti Pele, Jairzinho, Tostao, dan Gerson.

Dalam bukunya I am Diego of the People, Maradona menjelaskan bahwa Rivellino pernah berujar bahwa para pemain hebat adalah mereka yang memiliki kekuatan pada kaki kirinya. Di bukunya ia menulis: "Rivellino punya segala jawabannya. Pada suatu ketika, Rivellino menatap Pele, yang saat itu sudah menjadi pesepakbola terbaik dunia, dan berkata: `Jujur saja, kamu juga akan senang, kan kalau kamu kidal?`"

Sementara itu, sosok kedua yang menjadi panutan Maradona adalah gelandang asal Inggris, George Best. Dari Best ia belajar bahwa seorang pemain bisa menginspirasi rekan-rekan setimnya. Maka dari itu ia pun coba mereplikasi apa yang dilakukan oleh Best ketika di lapangan, yakni menjadi seorang pemain yang bisa menghadirkan keajaiban lewat aksi-aksi individunya.

Maradona sadar bahwa dirinya tak memiliki postur seperti Rivellino maupun Best yang sangat proporsional bagi seorang atlet sepakbola. Tapi ia menemukan sosok ketiga yang menjadi inspirasinya, yang menyempurnakan permainannya lewat tubuh mungilnya: Ricardo Bochini.

Bochini sebenarnya tidak punya karier yang begitu mentereng. Dirinya bahkan terdepak dari skuad Argentina dalam ajang Piala Dunia 1978 karena sang pelatih, Cesar Luis Menotti, lebih memilih Mario Kempes. Tapi secara permainan, Bochini adalah salah satu playmaker terbaik. Meski permainannya kurang gesit, tak bisa bertahan, kaku bahkan tak berkharisma, tapi ia tetap bisa mengatur serangan lewat umpan-umpan akuratnya.

Tapi, Maradona sangat menghormati Bochini. Bahkan pada Piala Dunia 1982, Maradona meminta sang pelatih, Carlos Bilardo, untuk menyertakan Bochini ke skuad Argentina. Meski Bilardo kesulitan memainkan Bochini dalam sistem permainannya, Maradona tetap menantikan momen bisa bermain bersama panutannya itu. Momen itu baru datang pada babak semifinal, di mana Bochini hanya bermain lima menit.

"Maestro, kami telah menantikan kehadiran Anda," kata Maradona.

Dari ketiga panutan Maradona ini, tampaknya ada satu sosok yang menjadi inspirasi kehidupannya di luar lapangan hijau: George Best. Setelah karier sepakbolanya berakhir, Best begitu akrab dengan kontroversi dan minuman beralkohol. Pun dengan Maradona. Kariernya tak panjang karena kecanduannya terhadap alkohol, bahkan Maradona lebih dari itu, karena ia pun seorang pengguna kokain.

Sebelum Maradona menghembuskan napas terakhir pada 25 November 2020 di usia 60 tahun, kesehatan Maradona sudah terganggu dan ia pun berulang kali dilarikan ke rumah sakit. Kematiannya itu pun kembali mengingatkan pada sosok Best, karena legenda Manchester United yang wafat pada 25 November 2005 di usia 59 tahun itu pun meninggal setelah serangkaian pengobatan.

Komentar