Model Kepemilikan Klub-klub Jerman: Dilema 50+1 di Tengah Pandemi

Cerita

by Redaksi 6

Redaksi 6

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Model Kepemilikan Klub-klub Jerman: Dilema 50+1 di Tengah Pandemi

Model kepemilikan klub-klub di Jerman menghadapi tantangan di tengah pandemi virus corona tahun 2020. Sebelum musim kompetisi 2019/20 liga dua divisi teratas (Bundesliga, Bundesliga 2) berhasil dirampungkan, 13 dari total 36 klub dilaporkan terancam bangkrut tanpa ada sokongan dana dari hak siar dan kewajiban membayar gaji pemain serta staf. Aturan 50+1 kembali diperdebatkan.

Peraturan 50+1 yang diterapkan pengelola Liga Sepakbola Jerman (DFL) pada 1998 silam mengartikan 51% saham klub dapat dimiliki para penggemar. Sementara peran investor eksternal dibatasi, mereka tidak boleh memiliki saham lebih dari 49%.

Meski demikian, ada pengecualian bagi Bayer Leverkusen, RB Leipzig, serta VfL Wolfsburg. Ketiga klub ini sejak awal berdiri memang lekat dengan perusahaan (Bayer, Red Bull, dan Volkswagen), berbeda dengan klub-klub lain yang merupakan paguyuban olahraga.

Sebelas tahun silam, tepatnya pada 2009, Presiden Hannover 96, Martin Kind mengajukan usul untuk mengubah kebijakan 50+1. Upaya tersebut gagal. 32 dari 36 klub dari Bundesliga dan Bundesliga 2 menentangnya.

Akan tetapi, Kind berhasil meloloskan klausul yang berpotensi menjadi celah di masa depan. Klausul tersebut menyebutkan bahwa seseorang atau sebuah perusahaan yang telah mendukung salah satu klub naungan DFL selama 20 tahun beruntun dapat ditetapkan menjadi pemilik klub.

"Kita harus melihat fakta bahwa aturan 50+1 tidak membantu banyak untuk klub tertentu. Beberapa memiliki kebutuhan modal yang lebih besar daripada yang lain," sebut Supervisory Board Chairman Bayern Munchen, Herbert Hainer, pada Mei silam.

Intensi inti dari argumen Hainer adalah, apabila klub-klub Jerman mampu menjual saham mayoritas, mereka berpotensi memiliki pemodal yang kaya dan siap turun tangan menutup celah finansial di tengah masa krisis seperti ini.

Komentar Hainer tentu menarik atensi Kind. Pria yang kini berusia 76 tahun tersebut masih kukuh dengan pendapatnya 11 tahun silam. "Secara personal saya merekomendasikan 50+1 ambruk. Klub-klub komersial dan krisis virus corona mengungkap kelemahan aturan tersebut," sebut Kind.

Namun, apakah menghapus, melonggarkan, atau menyesuaikan aturan 50+1 akan membantu secara signifikan klub-klub Jerman? Dan apa yang harus dikorbankan?

Link streaming Bundesliga 2020/21

Sepakbola untuk Suporter

Sejatinya, industri sepakbola bukan bisnis yang menguntungkan. Sebagai contoh, penghuni peringkat 998, Health Peak Properties (1.997,4 juta USD) dalam daftar 1000 perusahaan dengan pendapatan tertinggi di Amerika Serikat versi Fortune memiliki pendapatan dua kali lipat dibandingkan klub dengan pendapatan tertinggi saat ini, Barcelona (840,8 juta euro atau sekitar 981,1 juta USD).

Hal tersebut yang membuat Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam bukunya, Soccernomics, menyebut sepak bola adalah industri terburuk di dunia. Dan klub-klub Jerman sudah sadar sedari awal bahwa tujuan utama mereka adalah sepak bola untuk para suporternya.

"Tentu saja, dari sudut pandang uang, aturan 50+1 itu membatasi," kata Kieran Maguire, pakar keuangan sepak bola di sekolah manajemen Universitas Liverpool, dikutip dari DW.

"Namun, itu membatasi untuk alasan yang baik. Apakah akan mengizinkan investor masuk jika aturan itu dihapuskan? Ya. Tapi kemudian klub akan berhenti menjadi milik fans. Mereka akan menjadi milik pemodal-pemodal kaya atau siapa pun memilih untuk terlibat."

Salah satu dampak yang langsung dirasakan para suporter adalah murahnya harga tiket musiman. Mengutip Statista, musim 2019/20 rata-rata klub Bundesliga hanya mematok harga 180 euro untuk tiket kandang selama satu musim, bandingkan dengan tiket termurah musiman termurah Premier League, milik West Ham, yang mencapai 350 euro.

Alhasil, Bundesliga menjadi kompetisi sepakbola di Eropa dengan rata-rata jumlah penonton terbanyak. Pada musim 2018/19 rata-rata penonton Bundesliga mencapai 43.449 per pertandingan, berbanding 38.168 milik English Premier League.

Regulasi ini juga membuat klub-klub Jerman lebih berhati-hati dalam mengatur anggaran operasional. Pasalnya, dalam Lizenzierungsordnung, regulasi perizinan yang diterbitkan DFL, klub tidak diperbolehkan rugi di akhir kompetisi. Mayoritas klub-klub di Bundesliga dan Bundesliga 2 tidak memiliki utang.

SC Freiburg dapat dijadikan contoh. Klub papan tengah Bundesliga tersebut dilaporkan menghasilkan keuntungan sebesar 18 juta euro dari tahun 2018 sampai 2019. Dalam dua tahun terakhir, Freiburg menjadi salah satu klub percontohan pengelolaan klub sehat di Jerman.

"Aturan 50 + 1 belum bisa dinegosiasikan," kata Bendahara Federasi Sepakbola Jerman (DFB) Stephan Osnabrügge kepada DW.

"Ini tertanam kuat dalam konstitusi kita — dan dengan alasan yang bagus. Ini melindungi klub dari kasus-kasus yang terjadi di klub-klub liga lain, di mana investor besar datang dan membeli klub, memompa banyak uang dan dua tahun kemudian, meninggalkan klub ke jurang degradasi karena mereka belum mengoperasikan secara berkelanjutan," tandasnya.

Dampak positif lainnya adalah bagaimana klub-klub Bundesliga lebih fokus untuk mengembangkan pemain muda menjadi bintang yang laku mahal. Paling mutakhir tentu Kai Havertz yang dipinang Chelsea dari Leverkusen seharga 72 juta paun.

Lain itu, prestasi klub-klub Jerman juga masih sangat baik. Bundesliga mengirim dua wakilnya di Liga Champions musim lalu, kompetisi yang dijuarai Bayern Munchen.

Terlepas dari apa yang ditindak oleh pihak DFL, regulasi 50+1 memang lebih aman dan banyak didukung kalangan suporter.

Pertandingan-pertandingan Bundesliga 2020/21 dapat Anda saksikan secara live via layanan live streaming Mola TV (klik di sini)

Komentar